Jika bergurau di atas jam 3 pagi dan teman saya bertanya:
“Bagaimana jika Dajjal turun di Purwakarta?”
Sontak mungkin saya akan berkelakar bahwa Dajjal akan mati bosan di sini.
Kelakar saya bukan tanpa alasan. Saya pernah menyitir kalimat di tulisan sebelumnya, “Jangan Sampai Purwakarta Menjadi Kabupaten yang Tidak Menawarkan Apa-Apa.”
Jika dibandingkan dengan kartun Upin & Ipin, Purwakarta mirip dengan karakter Devi—biasa-biasa saja, hanya sekadar ada, muncul sesekali, dan cuma menggenapi karakter lain.
Purwakarta terlalu biasa untuk diromantisasi seperti Bandung atau Yogyakarta. Namun, yang menyebalkan adalah kadang Purwakarta sok ingin mengikuti jejak Bandung atau Yogyakarta, bersembunyi di balik romantisasi semu demi menghindari masalah. Ujung-ujungnya, pembangunan hanya bertujuan mengejar citra estetis semata, menutupi keluhan warganya.
Misalnya, di tengah lampion-lampion cantik yang terang benderang di pusat kota, orang-orang yang pulang kerja dari BIC harus berjibaku dengan kegelapan saat melewati jalan alternatif Cikopak.
Saat lurah dan kepala desa Purwakarta tersenyum penuh mendapat N-Max dari Ambu, warga lainnya terpaksa cemberut melewati jalan Maracang yang berlubang, menciptakan sensasi berkendara seperti joki tong setan.
Ketika brand besar seperti Starbucks, J.Co, dan Ace Hardware hadir di Purwakarta, pedestrian belum mendapatkan trotoar yang layak untuk sekadar berjalan kaki.
Purwakarta juga terlalu membosankan untuk dijadikan tempat menghabiskan hari tua. Terasa sia-sia menghabiskan waktu bertahun-tahun di kota yang taman-tamannya bahkan tak bisa dijadikan tempat melepas penat.
Bagi mereka yang masih berada di usia produktif, rasanya Purwakarta juga bukan tempat yang cocok untuk meniti karir. Bergeser sedikit ke Karawang mungkin bisa memperbaiki peluang karir, karena dengan biaya hidup yang beda tipis, Karawang menawarkan UMK yang jauh lebih tinggi dibanding Purwakarta.
Jika kalian menunjuk hidung Ambu atas setumpuk masalah di atas dan coba menyampaikan keluhan lewat Instagram, mungkin kalian tidak akan mendapatkan jawabannya. Informasi sederhana seperti merek parfum yang Ambu pakai sehari-hari pun rasanya tidak akan kalian dapatkan. Kolom komentar Instagram-nya saja dibatasi. Hehe.
Lalu, bagaimana untuk ke depannya?
Merujuk data survei LSI Denny JA, mayoritas warga Purwakarta enggan dipimpin lagi oleh bupati yang lama. Tentunya, ini kabar buruk bagi Ambu sebagai petahana, tetapi angin segar bagi pendatang baru di kontestasi Pilbup Purwakarta kali ini.
Namun menariknya, jika berbicara soal elektabilitas, dalam survei yang sama, Ambu Anne masih menjadi yang teratas dengan persentase 31,6%, disusul oleh Saeful Bahri Binzein dengan 22,0%, dan Abang Ijo Hapidin sebesar 11,1%.
Meskipun begitu, posisi Ambu sebenarnya belum aman. Pasalnya, Saeful Bahri Binzein dan Abang Ijo Hapidin, yang elektabilitasnya membuntuti Ambu, justru membentuk poros koalisi. Dengan gabungan elektabilitas keduanya, bukan tidak mungkin duet ini dapat menumbangkan petahana.
Berbicara soal persaingan Golkar dan Gerindra di pentas politik Purwakarta, tentu akan diwarnai adu gengsi yang terasa personal bagi Ambu Anne. Pasalnya, kita tahu bahwa Saeful Bahri Binzein memiliki kedekatan dengan mantan Bupati Purwakarta sekaligus mantan suami Ambu, yaitu Dedi Mulyadi. Sehingga, menarik untuk menantikan isu-isu yang dimainkan kedua poros tersebut guna merontokkan elektabilitas satu sama lain.
Namun, data-data di atas akan terbantahkan dan tidak akan menarik lagi jika money politics yang bermain. Apalagi, Direktur Eksekutif Citra Komunikasi Denny JA, Toto Izul Fatah, berujar bahwa pragmatisme publik di Purwakarta cukup tinggi, dengan 71% mayoritas publik yang menganggap money politics sebagai hal yang wajar.
Alih-alih melakukan money politics, saran saya para calon sebaiknya lebih memperhatikan pemilih muda dengan serius, bukan hanya dengan kalimat-kalimat gimmick di baliho yang malah membuat mereka terlihat cringe. Jangan jadikan pemilih muda sebagai alat politik belaka, tetapi jalin simbiosis mutualisme dengan mereka. Sasar segmen-segmen niche dari pemilih muda yang jarang tersentuh hingar-bingar politik. Dengan cara ini, kepercayaan pemilih muda bisa meningkat.
Saya mendambakan para calon bupati dapat menggelar acara seperti yang dilakukan paslon di Pilpres kemarin, seperti “Desak Anies,” “Tabrak Prof,” “Slepet Imin,” atau apa pun namanya. Bagi saya, ini metode kampanye yang efektif dan transparan, karena publik dapat menakar sejauh mana kapabilitas calon pemimpin mereka kelak.
Terutama jika sektor-sektor yang isunya sering bergaung—seperti buruh, perempuan, petani, pedagang, guru, mahasiswa, dan masyarakat ekonomi menengah ke bawah—dilibatkan dalam acara tersebut. Maka langkah dan arah kebijakan calon akan terlihat jelas di sini.
Walaupun pak tua bijak pernah berkata, “Geus kapilih mah bakal poho.”
Setidaknya hal ini menjadi bekal dan pijakan kita untuk menentukan kepada siapa kita menyerahkan pekerjaan rumah Purwakarta di masa depan.
Jika pekerjaan rumahnya selesai dan mendapat nilai di atas KKM, saya akan merevisi kelakar saya dan menghentikan teman saya untuk berandai-andai Dajjal akan turun di Purwakarta. Suruh saja turun di Subang! Hehe.