

Jumat, 26 Desember 2025 saya mengikuti kegiatan Menginap Feminis yang secara independen diadakan di Kaliaget Organic Space, tempat main baru saya. Tulisan lain soal Kaliaget ini sudah saya tulis pada tulisan yang ini.
Acara Menginap Feminis sejatinya merupakan acara sederhana yang rundown-nya juga gak terikat. Rangkaian acaranya cukup simpel: kami berkumpul, menginap, berbagi ruang, dan berbagi cerita. Tentu saja sambil ngopi, minum teh, dan makan masakan Slebor dan Ceu Iyet (bukan Bustami) yang aduhai sedapnyo.
Berbeda dari acara-acara yang biasanya diadakan, acara yang penuh makna kali ini tidak ada panggung dan pembicaranya. Publikasinya pun sederhana saja.
Alasannya tentu saja sebab hidup ini sudah selaiknya merupakan panggung, dan setiap orang adalah pemeran dan layak berbicara dan layak juga didengar. Asyik~
Kami banyak berdiskusi feminisme sebagai laku hidup, dan pada momen bincang santai yang sebetulnya hampir setiap saat dilakukan inilah saya memiliki pandangan baru bahwa feminisme tidak hanya hadir untuk perempuan dan/atau satu gender saja.
Kegiatan ini diadakan pada 26 Desember sampai 28 Desember 2025. Meskipun saya tidak mengikuti seluruh rangkaian acara, tapi saya sudah cukup bahagia meskipun tidak memegang ponsel seharian.
Menginap Feminis dihadiri oleh saya, Adhis, Raisa, Vanka, Alvia, Mala, dan kawan-kawan Solidaritas Perempuan diantaranya Uwo, Teh Dema, dan Ni Yeni. Tak lupa Mbak Tati sebagai tuan rumah yang banyak memberikan fasilitas bermain game dan memoderatori obrolan-obrolan kami.
Hari Pertama
Karena saya datang terlambat, jadi sejujurnya saya gak tahu aktivitasnya apa saja sebelum magrib. Saya datang dari Subang setelah magrib, tepat saat teman-teman sedang menyantap masakan Slebor. Kami berkumpul di halaman rumah depan.
Setelah makan bersama di halaman, kami menyaksikan penampilan puisi dari Mala dan Hendri, ditutup dengan tarian Topeng Kelana dari Mang Hasan.
Kami duduk melingkar, menyaksikan tubuh, suara, dan penampilan setiap peserta. Barulah setelah penampilan selesai, Mang Hasan sedikit bercerita (sambil masih capek dan sedikit nyengir). Mang Hasan bilang, Topeng Kelana dalam tradisi Topeng Cirebon yang menjadi favoritnya.
Seperti namanya, Kelana mengisahkan tentang manusia yang sedang tersesat dan berkelana, seperti juga hidup yang selalu seperti menjadi sebuah perjalanan panjang yang kita sendiri gak tahu “Di mana ujungya?” “Kapan nyampenya?”
Mang Hasan juga menambahkan, dalam tradisi cerita-cerita lama, sosok Kelana kerap disandingkan dengan figur Rahwana. Tokoh laki-laki yang selama ini lebih sering dibaca sebagai simbol kejahatan dan ambisi. Padahal, Rahwana juga hadir sebagai sosok yang mampu mencintai dengan kesungguhan, seperti pada saat menculik Sinta.
Di titik ini, Mang Hasan bilang kalau Rahwana memperlihatkan bahwa bahkan maskulinitas yang paling keras pun memiliki sisi kelembutan, kerentanan, dan luka yang mungkin saja tidak terlihat dan tidak pernah selesai.
Melalui cerita Rahwana, saya seperti diingatkan bahwa bukan hanya perempuan yang dipaksa memendam emosi dan merapikan diri agar terlihat pantas berjuang, tetapi juga laki-laki yang sering kehilangan ruang untuk mengakui sisi lembutnya sendiri.
Saya rasa pembacaan ini menjadi penting. Bahwa kerja feminisme bukan sekadar mengkritik maskulinitas, melainkan membuka kemungkinan lain bagi laki-laki dan/atau gender lainnya untuk berdamai dengan dirinya. Mengingatkan juga bahwa selama kita menjadi manusia, kita akan selalu membutuhkan keseimbangan energi. Hitam-putih, biru-kuning, yin-yang, feminin-maskulin, Prabowo-Gibran 🙁
Kami lalu kembali ke rumah dan beristirahat. Tak lupa memberikan hadiah kepada kawan “aliansi” kami, para laki-laki yang turut hadir dan membantu jalannya acara.
Hari Kedua
Pagi hari, saya terbangun dengan kondisi teman-teman lain yang sudah berkumpul dan mandi. Setelah makan dan minum kopi, kami diajak bermain untuk memilih gambar yang sudah disediakan Mbak Tati. Kami diminta untuk memilih dan lalu menginterpretasikan gambar tersebut.
Ah, iya. Diskusi ini bukan diskusi terstruktur, ya. Cuma obrolan kecil yang setiap interpretasinya diucapkan dari pengalaman masing-masing. Gambar-gambar yang dipilih memunculkan banyak sekali topik, dari anak-anak kecil, perempuan, konflik, kesenjangan kelas, Sumatra, akses, ibu rumah tangga, sampai kerja-kerja domestik yang seringkali disepelekan.
Lucunya, setiap gambar yang kami pilih terasa kontinyu dan erat kaitannya. Sambil kami berbincang dan berbicara, Mbak Tati membuat catatan yang kemudian dipajang dan diulas secara runut. Aktivitasnya memang terlihat sederhana, tapi menurut saya sendiri cara ini berhasil menciptakan proses diskusi yang memberi ruang bagi pengalaman dan latar belakang kami masing-masing untuk tetap tumbuh dan berproses.
Seru, deh!
Selanjutnya, kami juga melukis piring bersama. Sebuah piring polos diletakkan di hadapan kami, lalu setiap orang bebas mengisinya dengan garis, warna, simbol, dan bentuk yang terkait. Kami bersepakat untuk memilih tema alam untuk mengisi piring tersebut.



Entah kenapa, melukis piring kali ini terasa seperti lebih dalam saja, rasaya seperti membalik fungsi benda sehari-hari. Piring kan akrab dengan dapur dan kerja domestik, ya. Tapi sekarang, untuk sementara piring itu berubah jadi medium ekspresi, dan senangnya kami karena tidak perlu memikirkan tuntutan estetika dan takut dibilang jelek. Kami melukis sambil berbincang ringan, sesekali tertawa, dan berfoto selfie.
Di tengah proses itu, ingatan kami tertuju pada korban-korban bencana di Sumatra yang saat ini masih berjuang untuk mempertahankan hidupnya, dan bahkan sampai hari ini belum juga sungguh-sungguh diakui sebagai bencana nasional. Tentu tidak hanya korban bencana di Sumatra, tapi juga perempuan-perempuan di banyak daerah yang juga masih mempertahankan ruang hidup yang dirampas negara dengan sengaja.
Piring-piring itu, semoga menyimpan ingatan kolektif tentang alam (ibu bumi) yang dieksploitasi dan mengingatkan kita pada yang dipaksa bertahan di atas puing-puingnya. Melukis di atas piring membuat kami sadar bahwa krisis ekologis bukan isu jauh yang hanya layak dibicarakan di ruang seminar yang fancy itu, tapi lebih dekat lagi, wacana ekologis justru sesuatu yang hadir dan memberi dampak di meja makan, di rumah, dan di tubuh sehari-hari, karena tentu saja tubuh perlu gizi! Dan gizi hanya akan terpenuhi apabila kita memiliki lahan yang baik. Bukan begitu?
Pun dalam konteks Menginap Feminis, aktivitas ini menjadi pengingat bahwa segala sesuatu tidak bisa dilepaskan dari kerja ekologis. Merawat diri, merawat tumbuhan, hewan, dan merawat alam adalah satu rangkaian yang saling terhubung. Sekali saja alam rusak, tubuh (terutama tubuh kelompok rentan) adalah yang paling pertama menanggung dampaknya.
Setelah itu, kami bersiap makan siang dan mempresentasikan hasil diskusi kepada kawan-kawan laki-laki.

Menunya adalah ayam ungkep, the one and only jengkol Slebor, dan sambal seuhah Slebor yang sukses membuat kami kepedesan nikmat. Juga sambal mbe Mang Hasan.
Sedikit ulasan, percakapan pagi kami menghasilkan sebuah rangkuman bahwa konflik dan kerja-kerja perjuangan akan selalu muncul dan hadir selama kita masih hidup. Topik kemudian dibagi menjadi empat yaitu masalah, harapan, strategi, dan pemaknaan baru.
Bagian strategi terasa paling jujur sekaligus provokatif (dalam makna yang positif). Strategi di sini menjawab pertanyaan
“Bagaimana caranya tetap hidup, tetap punya daya tawar, tetap punya pilihan?”
Berdasarkan pembicaraan, strateginya adalah finansial, pengetahuan, aliansi yang mencakup kekuatan bermain peran, negosiasi, branding diri, dan kapasitas personal! Uuuuuuw lengkapnya~
Perut kenyang, kepala terisi, waktunya main lagi! Yuhu!
Kegiatan yang selanjutnya kami lakukan adalah membuat pottery. Kali ini, langsung dimentori oleh Vanka. Kami berhadapan langsung dengan tanah liat. Slebor sangat serius dalam kelas kali ini. Ia banyak bertanya dan hayoh weh ngageplakan taneuh siga martabak! Seru! Rasanya seperti belajar menjadi Tuhan.
Tentu, saya sering merasa diingatkan bahwa manusia berasal dari tanah, sebagaimana tumbuhan, makanan, dan seluruh siklus kehidupan yang menopang kehidupan di muka bumi. Apa yang kita makan tumbuh dari tanah, apa yang kita bangun berdiri di atas tanah, dan pada akhirnya, segala sesuatu akan kembali ke tanah. Ah, tulisan saya tentang tanah secara lengkap juga bisa dibaca di sini.

Malam itu ditutup dengan berjoget dan bernyanyi bersama.
Hari Ketiga
Masih bercakap-cakap di pagi hari, dan bermain mandala. Mandala adalah sebuah permainan, yang mengharuskan kami mencari daun-daun kering, bunga gugur, ranting, dan semua hal yang ada di sekitar Kaliaget (yang sudah jatuh dan gugur, ya), lalu menyusunnya di lantai kayu menjadi pola-pola yang tidak ditentukan sebelumnya.


Begitu lah penampakan mandala kami.
Waktu saya menyusun mandala dari daun-daun gugur, saya belajar bahwa keindahan keseimbangan bekerja seperti cermin. Mandala itu mengajarkan saya bahwa setiap elemen hadir sebagai sesuatu yang tunggal sekaligus bagian dari kolektif. Daun yang jatuh dan terbaring di lahan pun bahkan bisa jadi indah kalau dipadu-padankan dengan yang lain di tempat yang betul.
Nah, sesuai jargon saya sebelumnya, kita akan selalu selaras dengan yang ada di sekitar kita, dan bahwa energi yang kita serap akan selalu membentuk diri kita. Sebab manusia, akan selalu mencerminkan lingkungannya dan sesuai pepatah, ulin jeung tukang minyak bakal kabagean seungitna.
So, kapan kita bikin acara selanjutnya?
seru banget mau lagi fong