Tanpa merasa eksklusif, saya selalu memilah film yang sesuai sama selera saya. Ya iya, dong. Kalau udah tahu gak bakal enjoy, ngapain buang-buang waktu untuk hal yang bahkan gak ngasih kesan? lihat saja se-selektif apa saya memilah teman. Hm meni sok iye tapi angger asmara mah zonk wae gening.
Jujur saja pengalaman menonton saya sangat tandus akan film-film asal Timur Tengah. Entah karena saya yang gak nyari tahu, atau memang ya jarang disebar aja. Sebab seingat saya, saya pun hampir gak pernah menonton sinema Timur Tengah (entah itu film atau serial) di televisi, selain Children of Heaven. Iya, yang soal sepatu itu.
Padahal kalau diingat-ingat lagi, sebenarnya film-film Timur Tengah ini emang gak pernah kaleng-kaleng (ya setidaknya beberapa yang saya tonton memang selalu jempolan), dan 2 minggu lalu saya nonton Farha.
Farha ini film yang banyak dikecam pihak ‘Barat’ dan dikutuk beberapa Menteri Keuangan dan Menteri Budaya Israel. Bahkan sampai kampanye, loh:( Katanya filmnya gak sesuai fakta, dan mereka mikir “Apa-apaan sih Netflix kok nayangin film yang jelas-jelas gak bener dan salah.” Padahal, faktanya kalian bisa menyimpulkan sendiri.
Terlepas dari kontroversi yang dibuat-buat sama orang Israel, toh saya suka filmnya. Temponya lambat tapi representatif. Ya, jenis-jenis film masa peperangan, dan film-film persembunyian. Saya lupa alasan saya tiba-tiba menemukan film ini. Intinya, Farha sebetulnya dirilis tahun 2021 tapi baru muncul ke permukaan lagi setelah Israel melancarkan serangan ke Palestina.
Zaman kuliah dulu saya punya teman, namanya Kelana. Penelitiannya berfokus pada Peristiwa Genosida 1965, dan genosida lain. Dulu saya ingat Kelana pernah bilang “Jangan lupa pendatang Eropa juga pernah melakukan genosida terhadap Suku Indian!” pas lagi mata kuliah Apresiasi Film kayaknya, saya lupa. Intinya begitu.
Tanpa membenarkan sedikit pun genosida (yang dilakukan pihak mana pun), saya setuju dengan yang dibilang Kelana itu. Fakta yang terjadi, genosida Suku Indian oleh pendatang Eropa, peristiwa Nakba, dan peristiwa pembantaian lain gak akan pernah muncul di permukaan seheboh Holocaust. Coba sebutin film tentang Nakba yang pernah kamu tonton. Saya juga kalau gak nonton Farha kayaknya gak akan tahu.
Ulasan
Film diawali dengan Farha dan teman-teman mengajinya (semacam grup kecil yang belajar di masjid sama Pak Ustas, tapi termasuk sekolah formal gitu) di air terjun. Farha, hanya duduk di pinggiran air terjun sambil membaca. Farha ini seorang remaja yang punya cita-cita pingin ngelanjutin sekolah ke luar kota. Pada masa itu, anak-anak seusia Farha biasanya sudah menikah, yang penting bisa calistung sama ada lah beberapa ilmu-ilmu akidah akhlak, fiqih, atau ilmu Islam lain. Nah, kebetulan si Farha dan grupnya ini udah di ‘tingkat akhir’ lah. Lalu, si Pak Ustas ini bilang selamat ke temannya Farha untuk pernikahannya gitu.
Lewat scene ini, saya merasa ada relate-relatenya sama di Indonesia. Zaman dulu, saya pikir beberapa orang di Indonesia juga gitu. Saya ingat, Dikdik pernah bilang kalau neneknya atau buyutnya gitu nikah usia 13 tahun, dan itu usia yang sangat muda, kan? Tapi pada saat saya tanya, katanya,
“Tapi dulu usia segitu udah matang, tau.“
Iya, maksudnya zaman dulu anak usia 13 tahun itu sudah memiliki kepekaan terhadap hal di sekitarnya, tentu jha jangan dipikir kayak anak-anak zaman sekarang yang 13 tahun itu pandai main TikTok dan membuat sensasi gak jelas seperti bogem teman sampai viral dan diciduk pulisi.
Singkatnya, Farha ini memohon ke Bapaknya untuk lanjut sekolah dan keukeuh gak mau nikah. Si Bapak yang awalnya gak mau melepas Farha ke luar kota akhirnya mengiyakan Farha lanjut belajar di luar kota, dan berdasarkan scenenya, saya yakin kalau langkah Si Bapak melepas Farha sekolah ke luar kota tuh buat “menyelamatkan” Farha dari gejolak di desa itu (ada desas desus desa itu akan diserang, dan mulai banyak truk dan tank besar terlihat di desa itu).
Nahas, kebahagiaan gak berjalan lama karena keesokannya, desa digempur tentara Israel. Farha akhirnya dikunci (dari luar) di gudang makanan di halaman rumahnya gitu sama Bapaknya. Bapaknya pergi entah ke mana, gak dijelaskan sama film ini. Entah bergabung dengan para pejuang dan gugur, entah gimana.
Farha ini sama sekali gak tahu apa yang terjadi, sepanjang waktu dia cuma berharap Bapaknya balik lagi.
Ih pas kekunci ini sih yang benar-benar saya suka banget. Si Farha ini dikunciin di gudang makanan mentah dan bener-bener cuma sedikit makanan yang bisa dia makan. Tapi Farha ini diam aja, gak teriak gak apa. Dia cuma ngomong “Yaba,” “Yaba” atau “Ayah,” “Ayah,” gitu tea. Kan jadi sedih, ya.
Selama beberapa hari, Farha bertahan dan melihat kondisi sekitar cuma lewat lubang di pintu dan di dinding gitu. Itu pun kecil banget celahnya. Bahkan pas hujan, Farha nyoba buat nengadahin air hujan pakai tangan lewat lubang itu dan itu sedih banget, sih. Bayangin, kalian diam di ruangan, gak ada apa-apa yang bisa dilakukan. Saya aja ya sedetik tanpa HP kayaknya gak bisa da. Ya bisa sih kalau ada buku. Tapi ini mah buku aja gak ada:(
Beberapa hari berlalu, dan sempat ada keluarga yang singgah di rumah Farha ini. Tepat di halamannya, si istri melahirkan. Betapa senang hati Farha karena ia berhasil meminta bantuan untuk dibukakan pintunya. Tapi belum selesai itu pintu dibuka, tentara Israel tiba-tiba muncul dan membunuh semua keluarga itu kecuali si bayi yang baru lahir. (Farha gak ketauan btw)
Ahhh sinematografinya keren banget! Suaranya, semuanya tepat. Disturbingnya pas. Gak ada suara yang gak penting, dan gak ada satu pun suara yang terlewat. Suara lalat yang ada di sisa-sisa darah keluarganya aja tuh kedengar, senyap gitu, rapi.
Bayangin, kalau kamu jadi Farha. Kamu terkunci di ruangan itu, lalu ada tangisan si bayi setiap pagi siang sore. Kamu berupaya untuk ngebuka pintu itu biar si bayi diam dengan harapan kamu mungkin bisa menyelamatkannya. Tapi ah, betapa sedih pintu itu gak bisa dibuka! sampai akhirnya Farha baru sadar kalau dia mens. Wah, sedih sih saya di sini.
Udah pipis di tempat, sekarang mens juga di tempat, inget ya. Gak persiapin pembalut, dan gak ada air! Bayangkan betapa watirnya. Lihat pembunuhan pula. Bingung dengan apa yang terjadi, gak tahu siapa musuhnya dan apa yang terjadi di desanya.
Semuanya tepat, temponya lambat tapi representatif banget. Bahkan saya merasa, tokoh Farha ini merupakan simbol perjuangan perempuan, ya. Ya seperti proses si Bapak mengunci Farha di gudang yang penuh makanan mentah juga kan bisa jadi semiotik feminisme itu sendiri. Seperti yang selama ini terjadi: perempuan dikurung di sebuah tempat gelap dan hanya memiliki celah kecil, dalam upaya yang dianggap sebagai “perlindungan”. Perempuan hanya bisa melihat kebenaran melalui lubang-lubang kecil, gak bisa bersuara dan nyari tahu lebih karena daya geraknya terbatas. Edyan teu sih aing.
Kesadaran feminisme yang dihadirkan pada Farha punya lapisan yang somehow menciptakan atmosfer getir yang reflektif sama kehidupan perempuan di wilayah terjajah. Pokoknya pengalaman sinematik yang mengesankan. 9/10!