Menerima Tamu: Lebih dari Memberi Suguhan

Menerima tamu berarti menghidupi jiwa, bukan suguhan.

Sebagai orang yang sudah menginjak kepala tiga, saya mulai sadar: hal-hal yang terlihat sepele ternyata tidak sesederhana itu. Kalimat seperti, “Aku mah orangnya simple aja,” sering terdengar di mana-mana. Tapi tidak, Bung. Itu tidak simple seperti yang kau kira.

Simple menurut siapa? Menurutmu? Itu baru satu sudut pandang. Selama tidak ada konfirmasi atau kesepakatan dari orang lain, kata “simple” itu hanya berlaku secara subjektif. Jadi, selama masih sepihak, artinya belum valid. Maka dari itu, mending pastikan dulu makna “simple” ini dipahami bersama. Barulah kita bisa bilang bahwa kesederhanaan itu benar-benar dirasakan oleh kedua pihak.

Lagi dan lagi, makin dewasa saya makin sering memikirkan hal-hal yang dulu tidak terpikirkan. Salah satunya: kenapa sih orang suka bertamu? Mungkin untuk bersilaturahmi, berbagi cerita, atau sekadar duduk dan mengobrol tanpa tujuan pasti. Di sini, saya berbicara dari sudut pandang si tamu, bukan tuan rumah. Lain waktu, mungkin saya akan menulis dari sudut pandang sebaliknya.

Yang saya lihat, banyak orang tidak paham benar konsep bertamu. Maksud saya bukan soal teknis seperti “tamu harus disuguhi makanan atau minuman” — itu sih bagian yang semua orang tahu. Tapi nilai di baliknya, makna filosofisnya, itu yang sering terlewat. Dan soal suguhan ini akan saya bahas di paragraf berikutnya.

Mari kita dudukkan perkara ini bersama. Tamu, idealnya, dianggap hadir. Maksudnya, keberadaannya diakui. Ia datang dari rumah dengan harapan untuk bicara, menyambung koneksi, menyalakan sedikit kehidupan dalam dirinya. Tapi yang sering saya temui, orang malah sibuk sendiri. Tuan rumah asyik dengan dunianya, seolah tamu itu cuma angin lewat. Padahal si tamu meluangkan waktu, tenaga, kadang juga perasaan, untuk bisa hadir ke rumah tersebut.

Yang lebih menyakitkan lagi, kalau si tuan rumah cuma menyuguhi makanan atau minuman lalu selesai. Apa bedanya dengan kita duduk sendiri di rumah sambil ngemil? Jiwa tamu itu tidak dipenuhi. Ia merasa seperti bayangan: hadir tapi tak dianggap. Saya pun pernah merasakannya, dan itu sakit sekali. Rasanya seperti jadi mayat hidup — ada tapi tak dipedulikan.

Saya pernah bertanya ke seorang pemilik coffee shop di kampung saya. Saya penasaran: sejauh apa ia memahami arti menjamu tamu? Apakah kedai kopi hanya menjual minuman, atau juga service? Jawabannya menarik: “Saya menjual diri!” katanya dengan yakin.

Tentu kalimat ini bisa disalahpahami. Tapi bagi yang paham konteks, ini sangat masuk akal. Ia sadar bahwa menjual kopi saja tidak cukup. Tanpa pelayanan yang tulus dan menyenangkan, pembeli mungkin kenyang atau puas secara fisik, tapi jiwanya tetap kosong. Tidak ada kesan yang tertinggal. Tidak ada cerita yang bisa dibawa pulang.

Sebaliknya, jika kedai itu menawarkan suasana yang menyenangkan, service yang hangat, dan percakapan yang hidup, maka pelanggan akan merasa lengkap — perut kenyang, hati tenang. Kemungkinan besar, ia akan kembali. Bukan hanya karena rasa kopinya, tapi karena rasa diterimanya.

Saya pun sempat bertanya lagi pada teman saya itu, “Apakah kamu bertanggung jawab atas kalimatmu kepada pelanggan, seperti saat bilang ‘Besok ke sini lagi ya!’?” Ini penting. Saya ingin tahu apakah kalimat itu cuma basa-basi atau memang lahir dari kesadaran.

Ternyata ia menjawab, “Saya bertanggung jawab penuh.” Ia tahu konsekuensinya. Kata-kata itu bukan sekadar formalitas. Saya jadi teringat ucapan Bang Gori, seorang streamer TikTok dan YouTube favorit saya, “Embrace the consequences.” Setiap tindakan, sekecil apapun, akan berdampak ke depan. Termasuk dalam hal melayani orang lain.

Maka dari itu, saat pemilik kedai mengatakan, “Besok kembali lagi ya,” itu bukan kalimat kosong. Itu bukan basa-basi busuk. Itu seharusnya jadi janji tak tertulis yang mesti ditepati: bahwa saat si pelanggan datang lagi, ia akan disambut dan dijamu sebaik mungkin, lagi dan lagi.

Memberikan layanan yang memuaskan itu bukan tambahan, tapi keahlian wajib yang harus dimiliki owner. Kalau tidak, tempat itu mungkin ramai, tapi jiwanya kosong. Raganya ada, tapi jiwanya entah di mana.

Mungkin bagi sebagian orang, tulisan ini terlalu jauh hanya untuk membahas “basa-basi.” Tapi buat saya, keresahan ini nyata dan terus mengganggu kepala. Saya harap, para owner bisa menangkap keresahan ini, lalu mengevaluasi kembali bagaimana mereka melayani pelanggan.

Kalau masih bingung seperti apa maksud saya, ya balik aja ke paragraf pertama. Selamat membaca ulang.

Syamsul Bahri seorang guru bahasa inggris di Yogyakarta. Selain kesibukannya menjadi guru, ia juga kadang-kadang menulis, esai, cerpen, puisi resensi dan hal lainnya yang sia-sia. Bisa disapa lewat Instagram: @dandelion_1922

Related Post

No comments

Leave a Comment