Beberapa waktu lalu saya menemukan sebuah postingan dari seorang musisi yang captionnya dibuka dengan kalimat seperti ini:
“Pecinta tokbrut merapat, ada (menyebut akun IG).”
Kemudian beberapa komentar muncul seperti begini:
“Saya siap untuk bucat malam ini Abangku.”
“Mun dicabak hand ball teu?”
Saya yakin pelecehan terjadi ketika ada pihak yang merasa tidak nyaman atas perlakuan yang diterima, sekecil apapun itu. Untuk itu, anggaplah kita semua sepakat bahwa caption tersebut bukan pelecehan, karena pihak yang lain (yang di-mention) mungkin tidak keberatan. Who knows?
Lantas, saya berpikir bahwa suara seorang terkenal begitu berpengaruh pada jalan berpikir pengikutnya ternyata ya. Pantas saja tim 02 memilih untuk menggaet influencer-influencer yang memang punya banyak massa.
Semua orang bisa bilang saya lebay, saya sok-sokan SJW, gak bisa bercanda, baperan, atau si paling feminis soal sentimen saya sama caption-caption berbau misoginis itu.
Tapi seberapa krusial sih caption-nya sampai harus menjadikan tubuh perempuan sebagai objek? Lagipula, krusial atau enggaknya sesuatu itu saya rasa aneh banget kalau harus mengobjektifikasi tubuh perempuan.
Perempuan di Sekitar Saya
Beberapa perempuan yang saya tahu bertahan dari trauma-traumanya setelah mengalami pelecehan dan kekerasan seksual. Sebagian ada yang enggan keluar rumah, sebagian ada yang enggan berinteraksi dan gak mau punya media sosial lagi, sebagian selfharm, depresi, pindah ke luar kota supaya gak ketemu pelaku, sebagian lagi masih berjuang mengumpulkan biaya untuk melaporkan kasus pelecehan yang dialaminya.
Jauh ke masa yang lebih lampau ketika saya belum ngerti banyak hal, seorang teman di SMA mengatakan takut karena teman laki-lakinya secara gamblang mengatakan,
“Eh gue semalem mimpi basah sama lu. Gue mimpi mainin tok*t lu!” kata laki-laki itu sambil tertawa
Seorang perempuan yang lain pernah cerita tidak percaya diri dan merasa harus selalu memakai kaos over size karena ukuran payudaranya. Ia gak mau dilecehkan laki-laki karena tubuhnya. Ia jengah berjalan kaki disiuli, ia jengah dijadikan bahan tertawaan dan ejekan.
Lalu di sisi yang lain, seorang laki-laki mengaktivasi pikiran liar melalui caption yang ia bagikan ke pengikutnya. Tentu saja sulit untuk gak suudzon bahwa laki-laki adalah makhluk yang agresif. Sulit untuk berpikir laki-laki adalah makhluk yang bisa menahan birahinya, atau setidaknya tahu tempat lah.
Saya tahu pelecehan dan kekerasan seksual tidak hanya menimpa perempuan. Saya gak mau menutup mata saya soal itu. Ada banyak juga laki-laki yang mengalami pelecehan dan kekerasan, transgender juga ngalamin kok, jangan lupa ya.
Pada tahun 2019, saya pernah nonaktifkan media sosial saya pasca foto saya dengan baju off-shoulder dikomentari teman laki-laki saya.
“Bahu lu bikin sange.” lengkap dengan emot wajah ngiler.
Saya lantas menghapus foto-foto saya dari Instagram saya, menonaktifkan komentarnya.
Ngeri adalah satu-satunya kata yang bisa saya sebut waktu membaca komentar itu. Saya gak bisa membayangkan tubuh saya menjadi bahan masturbasi orang lain.
“Salah sendiri kenapa pakai baju blablabla!”
Kalaupun itu adalah salah saya, saya rasa saya gak harus tahu orang lain menjadikan foto saya sebagai bahan masturbasi atau enggak.
Objektifikasi dan Penormalannya
Beberapa waktu lalu, beberapa diantara kita mungkin menonton video seorang selebriti desainer dan pelaku pedofil berada di satu lingkaran yang sama. Menghabiskan waktu bersama dengan beberapa orang, dan muncullah tebak-tebakan begini,
“Siapa artis yang pernah kena kasus pencabulan?”
Beberapa riuh menjawab nama Saipul Jamil. Namun di saat bersamaan, Saipul Jamil menjawab, “Bukan pencabulan, ya. Penghisapan.”
Ngeri, kan? Di saat korban merangkak berupaya menyembuhkan diri dari trauma dan rasa sakitnya (termasuk juga malu dan perasaan rendah diri), pelaku dengan santai dan berbangga diri mengakui kejahatan yang ia lakukan dengan lantang bersama teman-temannya.
Seingat saya, Saipul Jamil juga sempat kena kasus penyuapan buat memperpendek masa tahanannya terkait kasus pencabulan itu. Selain itu, saya ingat betul pelaku dikalungi bunga saat baru keluar dari penjara, dan mendapatkan kesempatan untuk kembali muncul di TV.
Saya kemudian membayangkan apa yang terjadi pada lingkungan kita sehingga kita bisa mengelu-elukan pelaku seperti pahlawan? Bagaimana mungkin kita menyambut pelaku seperti juru selamat yang diturunkan Tuhan? Memuja-mujanya seolah ia sudah mengakui kesalahannya dan layak hidup seperti biasa sedangkan korban terus dibayangi bayang-bayang ketakutan?
Bagaimana mungkin membercandai kasus-kasus kriminal? Kenapa bisa kita menormalisasi sebutan berbau objektifikasi tubuh perempuan? Atau kenapa kita suka membayangkan dan menertawakan tipis/tebalnya badan perempuan?
Sekali lagi, saya tidak menutup mata sama bercandaan serupa yang dialami laki-laki, transgender, atau yang lainnya. Lihat saja betapa sering Lucinta Luna di-bully soal ketubuhannya di media sosial. Padahal mau transgender atau bukan, sama sekali bukan urusan kita. Kalau pun tidak suka dengan laganya mencari sensasi, ya ndak usah di cari tahu. Kan gitu.
Dalam kasus di atas bisa jadi pengucapan tobrut bukan hal yang termasuk pelecehan. Tapi lihatlah betapa menyedihkan waktu hal-hal semacam ini diwajarkan bahkan di dalam tulisan yang disebarkan seolah-olah gak papa untuk mengucapkan hal itu di khalayak ramai.
Lihatlah yang saya temukan,
Bagaimana mungkin seseorang menulis dan mewajarkan hal itu dengan “Kecuali menggunakan istilah itu sebagai candaan dengan sesama laki-laki, mungkin itu tidak masalah.” diloloskan pula oleh redaksinya! Padahal saya yakin juga gak semua laki-laki mewajarkan itu gitu loh.
Seolah menempatkan perempuan pada posisi yang lebih rendah, bisa dijadikan bahan (entah apapun itu: bahan obrolan, masturbasi, dan atau lain segala macam untuk laki-laki), seolah perempuan tidak memiliki ruang aman untuk bisa terlepas dari segala titel yang disematkan padanya berdasarkan ukuran tubuh dan anggota tubuh lainnya.
Melihat normalisasi ini, agaknya kita gak usah heran ketika mencuat satu kasus pelecehan, yang diserang adalah korbannya, sedang pelaku dipuja-puja karena dianggap menunaikan kewajibannya mengakui kesalahan dan bisa melakukan aktivitasnya kembali seperti biasa.
Jangan-jangan kita tidak benar-benar awas dalam melihat tanda-tanda ini. Jangan-jangan kita merupakan bagian dari yang menormalisasi tindakan pelecehan itu sendiri. Kita lupa bahwa sebenarnya kita adalah garda pertama yang bisa mencegah hal itu terjadi, setidaknya di lingkaran kita. Dengan tidak membiarkan candaan semacam itu masuk dan melahirkan kekerasan lainnya terhadap perempuan dan manusia pada umumnya.
Jangan sampai kesukaan kita pada tokoh membuat buta pandangan-pandangan yang tidak seharusnya muncul dan membahayakan. Jangan sampai kita membangun dunia yang melanggengkan pembatasan pada ruang gerak orang lain. Setiap manusia berhak diperlakukan dengan hormat dan bermartabat.
Source tangkapan layar: https://pop.grid.id/read/303971814/jangan-asal-nyeplos-arti-kata-tobrut-yang-viral-di-tiktok-punya-makna-negatif?page=all