Agus Apriandi alias Abuuna masih bisa merasakan bulu kuduknya meremang, meski pengalaman pertamanya mendengar suara Malaikat Jibril sudah berlalu berbulan-bulan silam.
“Lihat bulu-bulu tanganku,” katanya padaku. Aku tak melihat ada yang khusus di lengannya selain jam tangan Swiss Army bajakan.
Mulanya suara itu terdengar seperti saat radio mencari-cari stasiun penyiaran terdekat, “Zzzzzt,” yang panjang dan konstan. Awalnya, itu tidak mengganggu sampai ia menyadari tidak ada radio, kamar gelap, dan seberkas cahaya sekonyong-konyong ambruk dari atap mengguyurnya. Saat cahaya itu baru menyentuh ubun-ubunnya, tubuhnya langsung berguncang. Bukan menggigil, tapi berguncang. Ber-gun-cang.
“Kau wartawan, kau tahu apa bedanya, kan?”
Aku mengangguk.
“Dengarlah,” suara itu berbisik di telinganya, tepat sebelum ia tertidur.
Suara itu begitu lembut, namun pesannya terasa tegas, dan pada nadanya seperti sosok yang lembut sekaligus tak suka dibantah.
“Kau pernah bertemu orang seperti itu?” tanyanya.
Aku menggeleng. Semua orang bisa dibantah. Hanya caranya saja yang berbeda, batinku.
“Maaf, apa kau sudah berkeluarga?”
Aku menggeleng lagi.
“Pantas saja,” sambungnya lagi.
Empat orang karibnya memanggil dia dengan sebutan “Abuuna” atau “Ayah kami,” meski mereka semua rata-rata berusia sama, sekitar 25–30 tahun.
“Ayat pertamanya, apa, Abuuna?” Aku bertanya dan memanggilnya seperti para karibnya.
“Dengarlah, dengan nama Tuhanmu yang menciptakanmu.”
“Persis seperti Al-Alaq, Abuuna?”
Dia tersenyum dan menggeleng. “Ini beda.”
“Dan ingatlah tatkala Bambang mengucap, ‘Aku ini umatmu.’ Janganlah kau ucap ‘Aku ini umatmu,’ melainkan ucapkan ‘Aku ini karibmu.'”
Ayat seterusnya sudah tak menarik perhatianku, karena ia hanya memelintir terjemahan Qur’an dan mencampurnya dengan Injil, serta sedikit pepatah-pepatah Cina macam Lou Zhu. Jadi, kuputuskan untuk pamit karena sudah azan Magrib.
“Salatlah di sini,” katanya mengajak.
“Bukankah ayat salat belum turun padamu?” tanyaku mengingatkannya.
Apa kami tampak seperti pengikut Abraham yang pemberang?
Aku tersenyum dan tetap menolak ajakannya. Almarhum ibuku Islam Ahmadiyah, bapakku entah siapa, dan aku hanya anak yang dipungut paman-bibiku dari reruntuhan kebakaran permukiman Ahmadiyah dan dipesantrenkan di Pondok Tahfidz Al-Qur’an 10 tahun lalu, dan kabur dari sana untuk menggelandang di jalan. Sisanya cuma sejarah.