‎Mendengar “Putih” Setelah Ibu Berpulang

Dulu “Sebelah Mata” adalah lagu Efek Rumah Kaca yang paling sering saya dengarkan. Hingga akhirnya, Maret 2024 ibu saya berpulang.

Beberapa bulan setelah itu, ketika saya memutar lagu Efek Rumah Kaca lagi di Spotify, sebuah lagu yang belum pernah saya dengarkan sebelumnya terputar secara acak: “Putih” judulnya.

‎Larik-larik awalnya berbunyi /saat kematian datang/ /aku berbaring dalam mobil ambulance/

Kalimat pembuka yang tanpa basa basi langsung membuat saya membayangkan suasana dan perasaan mati, ya meskipun saya belum pernah mati. Bait-bait awal lagu ini, barangkali dirancang oleh Cholil Mahmud sang vokalis sekaligus penulis lagi ini untuk menerapkan konsep show don’t tell alias mendeskripsikan secara konkret alih-alih hanya bercerita.

Misalnya pada larik /sirene berlarian sahut-sahutan tegang/, sang aku sebagai orang mati bisa mendengar dan merasakan ketegangan ketika ia menyaksikan dirinya terbaring tak berdaya dalam mobil ambulance.

‎Lalu bait awal ini ditutup dengan larik /akhirnya aku usai juga/. Menegaskan kesedihan dan seolah mengajak saya berbicara empat mata: “Aku sudah selesai, selamat tinggal!”.

‎Bait kedua juga masih deskriptif. Sang aku datang ke rumah dan melihat kamarnya, mencium bau masakan kesukaannya, menyaksikan orang-orang mulai menggelar tahlilan dan mendoakannya, diselingi tangis yang membuat sang aku ikut tersedu sedan. Ketika saya mendengarkan bait ini pertama kali beberapa bulan setelah ibu berpulang, saya juga merasakan kesedihan mendalam. Dalam Islam kita meyakini bahwa orang yang sudah berpulang pada jangka waktu tertentu masih berada di sekitar rumah dan keluarganya. Saya membayangkan ibu juga datang ke rumah dan menyaksikan hal-hal seperti yang dideskripsikan pada bait kedua “Putih”.

‎Barulah pada bait ketiga dan seterusnya, gagasan-gagasan besar dibalut metafora mulai dimunculkan, tak lagi gamblang bercerita seperti pada bait pertama dan kedua. “Putih” secara garis besar menyajikan dua sudut pandang tentang tiada dan ada, sebab setelah narasi tentang kematian selesai diceritakan, lirik berubah cakupannya menjadi narasi tentang kelahiran. Perubahan sudut pandang ini ditandai dengan larik pertama pada bait kelima /lalu pecah tangis bayi/.

‎Perubahan sudut pandang ini tidak hanya memberikan pengalaman lain ketika saya mendengarkan “Putih”, tetapi juga secara tersirat ini menjadi semacam konklusi bahwa hidup selalu terbagi ke dalam dua sisi, yang dalam konteks ini ada-tiada, hidup-mati, dan hitam-putih.

Dua bait awal terasa begitu gelap membahas kematian beralih kepada bahasan tentang kehidupan baru atau kelahiran. Ini juga menjadi titik saya merasa bahwa saya harus bangkit dari kesedihan, hidup harus tetap berjalan meskipun Ibu sudah berpulang dan saya tidak sempat bertemu pada saat-saat terakhirnya.

‎Ketika saya menonton video Efek Rumah Kaca membedah lirik lagu “Putih” ini, ternyata alasan pemilihan judulnya adalah karena ketika Adrian, mantan personel Efek Rumah Kaca mendengar melodi lagu ini ia seperti melihat atau terbayang cahaya putih, sesederhana itu.

Tetapi bagi saya, “Putih” tidak sesederhana itu sebagai judul. Warna ini bisa mengasosiasikan kehidupan dan kematian: manusia lahir dan mati adalah putih. Lahir seperti kertas putih kosong, mati dibalut kain kafan.

‎Pengalaman pertama mendengar “Putih” yang begitu melekat membuat saya menyukai lagu ini sampai sekarang. Saya selalu mendengarkan “Putih” ketika saya merindukan Ibu. Bagi saya, lagu ini tidak hanya indah dari segi penulisan lirik, tapi sampai detail nya pun begitu. Misalnya, jika kamu mendengarkan lagu ini dengan saksama, kamu akan mendengar backing vocal samar mengucap Laa Ilaha Illallah, seperti seseorang berbisik di telinga orang yang sedang sekarat. Lagu ini begitu indah dari judul hingga isinya.

Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You might also like