Usai shalat asar berjamaah, baik santri baru maupun santri lama melenggang menuju halaman pesantren untuk persiapan menyambut bupati yang akan berkunjung ke pesantren. Mereka membentuk kelompok-kelompok perkawanan yang terlihat canggung. Namun, ada juga yang memilih menyendiri, sehingga membuat halaman pesantren yang luasnya tidak mencapai setengah lapangan bola itu menjadi terlihat ganjil.
Di antara kerumunan santri itu, seorang anak bernama Samrun berjalan sambil mengais kitab Tijan dan Safinah yang sampulnya masih berkilau dan tegas. Sarung dan baju kokonya nampak baru, tetapi songkok yang awalnya hitam itu sudah berubah menjadi buluk (songkok yang sudah kecoklatan atau kuning jika tersorot sinar matahari). Ia selalu bangga dengan songkoknya karena “para veteran ustaz” (sebutan bagi para ustaz yang lama nyantri-nya sudah lebih dari satu dekade) banyak yang menggunakan songkok seperti itu.
Farhan, kawan Samrun satu-satunya, telah menunggu di ujung halaman pesantren.
“Jangan khawatir, Han, dewan guru dan pengurus sedang sibuk. Pengamanan ustaz akan sedikit longgar,” Samrun berbisik meyakinkan agar Farhan tidak cemas.
“Bocah sableng! Memang kamu tidak kapok? Seminggu yang lalu kamu baru saja disidang sampai subuh,” tegas Farhan. “Pelipismu yang memar itu baru saja sembuh, dan aku tidak mau ikut-ikutan bonyok.”
“Sepele itu…” Ia merapikan songkoknya yang sedikit miring. “Memangnya kamu tidak mau tahu hasil pertandingan Barcelona vs Real Madrid?” lanjutnya sambil menatap Farhan. Mereka berdua memang sedang bertaruh.
Di tengah hingar-bingar kunjungan bupati, mereka akan pergi ke Pasar Wanayasa untuk mencari koran Bola.com. Jika waktu memungkinkan, Samrun dan Farhan akan bermain PS2. Namun, Samrun punya tujuan lain.
Samrun tidak memedulikan masalahnya yang masih hangat, bahkan setelah persoalan seminggu sebelumnya. Ia hampir tidak naik kelas lantaran ujian Aqoidul Iman dan Rukun Shalat-nya tidak sanggup ia selesaikan. Setiap kali ditanya oleh ustaz penguji, air mukanya nampak seperti orang yang sedang tersesat. Lantas ia dibawa ke kantor pengurus pesantren lalu disidang adzan isya sampai tengah malam, bukan saja atas ketidakmampuannya menjawab soal-soal ujian, tetapi juga soal keonaran lain yang Samrun buat pada hari yang sama.
Setiap pagi, Farhan dan Samrun mandi di walungan. Mereka berdua biasanya berendam pada aliran air yang agak dalam dan tenang sebagai penghiburan untuk kegiatan-kegiatan yang melelahkan atau sebelum itu, mereka akan pergi ke semak-semak untuk menyulut sebatang rokok lalu mengisapnya secara bergantian. Namun pagi itu, kondisi hati Samrun sedang tidak nyaman, sehingga apa yang dilakukan orang lain kepadanya akan membuatnya murka.
Benar saja, ketika Samrun sedang asyik berendam, tiba-tiba sebongkah tahi terombang-ambing tepat di hadapannya. Sontak Samrun bergeming, memaki-maki lalu mencari sumber benda laknat itu. Tidak sulit menemukannya; hanya dengan mendongak ke bagian hulu walungan, sesosok manusia sudah bisa terlihat sedang jongkok di antara dua batu yang hampir rapat.
“Modar siah ku aing!” Samrun memaki.
Samrun yang naik pitam langsung berjongkok, lalu menyambut benda lembek yang baru keluar dari duburnya dengan tangan kanannya. Masih hangat.
Lalu Samrun berlari, meloncat dari satu batu ke batu lain layaknya seekor kera tanpa memedulikan sesuatu yang bergelayut pada selangkangannya menuju anak yang masih khusyuk ngeden.
Lalu terdengar, “Pyakkk!” Samrun melemparkan benda itu ketika jaraknya tidak lebih dari dua kali loncatan orang dewasa. Benda lembek itu menjadi setengah lumer pada punggung anak yang masih menungging itu. Setelah itu, Samrun tidak bisa melewatkan perkelahian. Mereka berdua berguling-guling telanjang pada kubangan dangkal walungan. Farhan dan kawan dari bocah itu setengah ragu memisahkan perkelahian karena benda lembek itu sudah menyebar ke bagian tubuh lain kedua bocah itu.
Kasus tersebut bisa saja membuat Samrun tidak naik kelas, tetapi di pesantren tempat ia belajar, santri yang tidak naik kelas memang tidak lazim adanya. Oleh sebab itu, dengan berat hati para pengurus asrama harus melemparnya ke kelas selanjutnya, tentu dengan berbagai syarat dan ketentuan.
Setelah berhasil lolos dari pengawasan ustaz, mereka berdua berjalan mengikuti galengan sawah sampai bertemu jalan raya. Lalu, mereka lekas menyimpan kitab, sarung, dan songkok di sebuah tempat yang dirasa aman. Mereka berangkat setelah berhasil menghentikan sebuah mobil bak yang mengarah ke tempat tujuan yang sama.
Samrun segera mengaktifkan Nokia Express Music-nya yang sudah ia sembunyikan selama berbulan-bulan. Lalu ia mengirim pesan kepada seseorang. Sambil menunggu balasan, Samrun menyetel lagu “Dear God” milik band Avenged Sevenfold.
“Kamu tunggu di alun-alun,” seseorang membalas pesannya. Samrun belum sempat bertanya hendak menggunakan baju berwarna apa, tetapi pesannya malah dibalas oleh sebuah foto perempuan yang sedang menopang dagu.
Siang sedang terik-teriknya ketika mereka tiba di terminal. Mereka berdua langsung menuju penjual koran yang mangkal tidak jauh dari sana.
Farhan, yang merupakan seorang Madridista tulen pengikut jejak ayahnya, dibuat penasaran dengan apa yang terjadi selama pertandingan sehingga ia membolak-balik halaman koran dengan khusyuk. Sedangkan Samrun tidak begitu suka permainan sepak bola, bahkan nyaris tidak punya klub unggulan jika saja tidak mengenal Frank Lampard. Satu-satunya yang ia suka dari pertandingan sepak bola adalah pertaruhannya.
Barcelona menang telak dengan skor 1-3. Farhan memberikan selembar uang dua puluh ribu rupiah kepada Samrun dengan perasaan jengkel. Kemudian, sambil membaca berita yang tersisa dan tidak begitu penting, Farhan mengambil sebatang rokok lalu membakarnya. Mereka berdua duduk di alun-alun Wanayasa.
“Bagaimana jika anak perempuan itu tidak datang?” tanya Farhan.
Samrun ikut-ikutan menyulut rokoknya. Ia menunjukkan uang yang tadi Farhan berikan, “Aku kembalikan uang ini kepadamu. Tapi jika perempuan itu datang, kamu berikan sisa rokok di saku bajumu itu kepadaku.” Jarinya menunjuk bagian saku Farhan. Namun, Farhan lebih memilih koran bolanya daripada menghiraukan perkataan Samrun.
Samrun tenggelam dalam lamunan. Sebenarnya setiap kali ia melanggar peraturan, kekhawatirannya selalu hadir sama seperti apa yang ia lakukan kali ini. Samrun mengingat lagi soal raqib-atid yang diceritakan oleh pengurus pesantren sewaktu mereka sedang menyidang Samrun. Katanya, “Raqib-atid itu melekat pada diri manusia dan senantiasa mencatat tingkah baik dan tingkah buruk, bahkan sejak dalam rencana. Setiap tahun bukunya akan dikumpulkan pada bulan Sya’ban lalu dihitung untuk kemudian dijumlah lagi setelah kematian tiba. Setiap tingkah baik akan ditukar dengan pahala, sehingga yang menunggunya kelak adalah surga, dan sebaliknya, tingkah buruk akan ditukar dengan dosa, sehingga yang menunggunya kelak adalah neraka.”
“Dan hidayah,” lanjut ustaz-nya, “hidayah dapat menjauhkan kita dari dosa-dosa dan dapat mendekatkan kita kepada surga.” Ustaz itu lalu duduk di hadapan Samrun. “Nah, Samrun, tugas kamu sekarang adalah harus mencari hidayah itu. Hidayah itu dicari, bukan ditunggu!” tegasnya.
Bayangan itu berhenti saat ponselnya bergetar. Ternyata hanya pesan spam dari entah siapa. Tidak jauh dari sebelahnya, Farhan sudah memberi isyarat untuk segera pergi dari tempat yang tidak aman itu. Samrun tidak peduli. Ia hanya ingin melihat lagi bagaimana rupa perempuan yang akan ia temui pada galeri ponselnya.
Harum dari berbagai hidangan bergantian mengusap-usap hidung Samrun. Lalu Samrun berdiri memandang keadaan di sekelilingnya yang ramai oleh pedagang makanan. Tidak jauh dari hadapannya, perempuan yang akan ia temui tertangkap oleh matanya, sedang berbalik memandangnya, mendekat ke arahnya. Sekilas ia mengingat adegan film Kuch Kuch Hota Hai di mana Anjali dan Rahul bermain-main selendang diiringi musik gegap gempita.
Tetapi, “Mampus!” umpat Samrun di dalam hati, sebab di balik perempuan itu, dua pengurus pesantren sedang sama-sama memandangnya.
Samrun ingin lekas berbalik badan, tetapi perempuan itu kadung menyapanya. Perempuan itu kini berjarak sekitar lima langkah dari dirinya, sedangkan dua pengurus itu masih sedang mengintainya. Perempuan itu mengajak Samrun duduk di tempat yang telah tersedia di alun-alun.
Mereka berdua duduk berdampingan, canggung layaknya remaja yang baru beger. Si perempuan bingung akan memulai pembicaraan seperti apa, sedangkan Samrun bingung harus memberi alasan seperti apa kepada pengurus pesantren.
“Kenapa kamu mau bertemu denganku?” tanya perempuan itu membuka kehampaan.
Samrun hanya menjawabnya dengan kata, “Hah?”
“Samrun, kenapa mau bertemu denganku?” tanyanya sekali lagi. Kali ini lebih tegas.
Ingatannya kemudian kembali ke masalalu ketika seseorang berkata kepadanya tentang istilah hidayah dan menjelaskan bahwa hidayah itu bukan hanya ditunggu tetapi harus dicari.
“Karena aku sedang mencari hidayah.” jawabnya kepada perempuan itu.