- Fokus pada satu tuntutan. Yaitu #kawalputusanMK. Hal-hal lain di luar itu–termasuk ajakan revolusi atau reformasi–hanya omong kosong. Revolusi, bahkan reformasi tidak terjadi dalam semalam. Butuh persiapan panjang. Satu diantaranya yaitu mengonsolidasikan akar rumput dengan kelas menengah. Satu-satunya jalan menuju konsolidasi itu hanya apabila rakyat tercekik (karena susah makan dan harga kebutuhan pokok tidak terjangkau) dan pemimpin negeri ini sudah tidak lagi bisa dipercaya karena kebijakannya menyengsarakan rakyat. Kemenangan Prabowo (baca: Jokowi) adalah bukti dua syarat itu belum tercapai.
- Semua orang harus terlibat. Turun. Lakukan apa saja yang kita bisa. Aksi tidak selalu berdemonstrasi, sebagaimana dalam perang tidak semua orang jadi prajurit. Perang juga butuh petani bahkan tukang parkir. Semua orang harus ambil bagian. Kita tahu akan ada banyak pihak yang menunggangi aksi ini. Biarkan. Kata Taufiq Ismail, setiap perjuangan selalu melahirkan sejumlah pengkhianat dan para penjilat. Akan selalu mendatangkan pahlawan jadi-jadian dan para jagoan kesiangan.
- Aksi ini kurang lebih akan menguntungkan PDIP dan Anies Baswedan. Tidak apa. “Tangan-tangan tidak terlihat” pernah mengacak-acak putusan MK saat Pilpres lalu. Semuanya gusar. Tapi kenapa tidak melahirkan gerakan organik? Karena kita kehilangan momentum. Saat ini, momentumnya ada. Besar. Influencer berbaris rapat satu suara, kelas menengah siap turun. Kita akan maksimalkan momentum ini.
- Berkaitan dengan poin nomor 2. Aksi tidak harus demonstrasi ke Jakarta. Ramaikan juga daerah. Kosongkan kampus, tutup semua pintu kantor, matikan mesin-mesin pabrik. Buat apa pun agar aksi ini ramai dibicarakan. Makin banyak orang tahu, makin banyak orang terlibat. Bakar ban, perbanyak orasi, suplai logistik untuk demonstran, saling bantu.
- Jika kita berhasil mengawal putusan MK, Kaesang gagal nyagub, PDIP bisa mengusung calon tanpa koalisi partai lain, Anies bisa maju. Itu realitanya. Dunia ini bukan kertas hitam putih yang antara kejahatan dan kebaikan terpisah jelas. Dunia ini abu-abu. Saat ini, Anies Baswedan (dan PDIP)–suka tidak suka–merupakan politisi yang sejalan dengan aksi kita. Jadikan mereka kawan taktis. Taktis dalam arti mereka bisa kapan saja kita tempatkan dalam posisi yang sama dengan Jokowi dan koalisinya. Anies dijegal untuk menghilangkan momentumnya maju di Pilpres selanjutnya. Elektabilitasnya yang masih tinggi adalah ancaman serius bagi Prabowo atau Gibran di Pilpres selanjutnya. Satu-satunya cara menghapus elektabilitasnya adalah dengan cara menghapus eksistensinya dari jabatan politis. Jangan sampai kita kecolongan lagi sama seperti saat Rizieq Shihab dan FPI “dihilangkan” eksistensinya. Padahal kita tahu, Rizieq Shihab dan Aksi 212 merupakan oposisi organik penguasa saat itu.
- Dari kacamata ideal, apa yang terjadi saat ini merupakan rangkaian rusaknya demokrasi. Dimulai dari Pilpres, aturan main ambang batas usia diakali untuk meloloskan satu orang. Putusan MK yang mengubah ambang batas kursi untuk pencalonan di Pilkada merupakan pengubah permainan dari persekongkolan jahat para elit politik. Para elit ingin menghapus oposisi dengan cara menarik semua partai ke dalam satu barisan. Partai yang ketinggalan masuk gerbong (PDIP) dihabisi agar tidak bisa mencalonkan kepala daerah. Bayangkan koalisi yang dibangun dari persekongkolan jahat ini turun sampai ke level daerah. Kita akan memilih bupati/walikota dari kandidat yang sudah ditentukan para elit.
- Saya tahu apa-apa yang saya tulis ini hanya omong kosong pengecut yang bersembunyi di balik anonimitas. Tapi, sebagaimana yang saya katakan di awal, saya juga akan melakukan segala cara yang memungkinan, dan saya bisa. Tidak perlu memusingkan omongan orang yang menyinyiri gerakan ini. Mengutip puisi yang sama dari Taufiq Ismail: Setiap perjuangan selalu menghadapkan kita pada kaum yang bimbang menghadapi gelombang.
- Kalau kita kalah, tidak apa-apa. Balik kanan. Usahakan tidak boleh jatuh korban jiwa.