Men in West: Menafsir Kota Bukittinggi dalam Hip-Hop Minang

Dua minggu yang lalu, akhirnya aku meninggalkan kota Padang sejenak. Aku pulang ke kampung halamanku. Aku sudah rindu rumah.

Rasa rinduku sudah seperti rasa rindu seorang perantau yang tak kunjung pulang 10 tahun. Ah, mungkin terdengar lebay ya? Biarlah~

Tujuan keduaku adalah untuk menonton menonton pacu jalur. Sampai di sini kalian sudah tahu kampungku di mana, kan? Pasti sudah tahu dong! Setelah pacu jalur viral di internet, aku tidak pusing lagi menjelaskan letak kampung halamanku di mana, heu. 

Niat awalnya, aku akan menonton pacu jalur dari hari pertama hingga hari terakhir. Tapi sayangnya, di hari ketiga aku tumbang. Demam. Bagaimana tidak, sebab hari pertama dan kedua aku paksakan menonton dari pagi hingga ke sore.

Panas dan sesak oleh ramenya pengunjung bikin tubuh menyerah. Lama di kampung membuatku rindu dengan ranah Minang: suasananya, orang-orangnya (termasuk kekasihku, uwuwu), dan semuanya.

Di tengah panas demamku yang tidak kunjung turun, aku mencari lagu yang bisa mengobati rinduku terhadap ranah Minang. Bukan lagu-lagu Elly Kasim ataupun Boy Sandi yang aku cari, tetapi mencari lagu hip-hop yang terlahir di ranah Minang, anjay si paling hip-hop. Seketika terlintas satu rapper di otakku, yaitu Zato.

Rapper berdarah Minang yang aku tahu dari 5 tahun lalu setelah mendengarkan track yang berjudul Real Eyes, dan beliau yang saat itu tergabung dalam duo Speak Potatoes. Track tersebut sempat diulas oleh FAT Wan, youtuber yang aktif me-react dan mengulas rap Indonesia.

Kini, Zato menggandeng Fed Barber dan MF dalam track yang berjudul Men in West. Men in West? lelaki di Barat? mereka ngapain?

Setelah mendengarkan track ini, aku harus berulang kali dengar karena jujur aku agak kesulitan memahami yang mau mereka sampaikan.

Track ini mengandung pernyataan perihal perjuangan mereka di Bukittinggi. Jika ditinjau lebih dalam lagi, ada beberapa pernyataan yang aku temukan di track ini:

Lokalitas

Di mana pun kotanya, kita tidak akan terhindar dari ke-keos-annya. Kita harus berjuang untuk menghadapinya. Untuk menghadapi ke-keos-an tersebut kita butuh asupan. Ibarat kalau kita lapar kita butuh nasi, kita butuh menyimpan padi di lumbung.

Perjuangan itu terdengar jelas pada verse pertama track Men in West oleh Fed Barber dengan kisah beliau di dunia barber. Gak cuma identitas diri, identitas kota juga menjadi kebanggan yang secara gamblang terdengar pada verse pembuka ini.

Selayaknya mamak menasehati kemenakan: bahwa hidup memanglah berat sekaligus keos tetapi semuanya harus dihadapi dengan rasa gembira.

Bagiku, ini merupakan pembuka yang membakar semangat para pendengar.

Kegigihan adalah kunci verse berikutnya dilanjutkan oleh Zato dengan gocekan selincah kancil, halus namun vokal menceritakan kegigihan dirinya.

Aku bisa merasakan kegigihan Zato pada track ini: kegigihan yang membuahkan hasil. Zato juga sangat nakal dengan membandingan perjuangan dirinya dengan artis lokal lain. Apakah rapper juga? Aku jadi penasaran. Haha. Apakah ini merujuk ke seseorang? seru nih.

Daging-daging. Ayo kita masak steak Uda Zato! yang jelas, kegigih harus dicontoh oleh para pendengar.

Rasa Syukur

Cuaca semakin sejuk di verse terakhir ini, aku butuh selimut sekarang. Kul abis, aku kecipratan rasa syukur yang dilontarkan sangat gaul oleh MF. Nasihat perihal syukur itu perlu lem perekat yang sangat kuat. Verse ini juga mencanangkan segala usaha yang dilakukannya murni tanpa campur tangan orang lain. Gimana, ya? Selayaknya tabib nan swag, verse ini penyembuh bagi hati-hati yang beku. Asik.

Men in West mengingatkanku pada salah satu lagu Tuan Tiga Belas yang berjudul Westside yang bagiku senada dengan track ini. Tapi jika kita dengar dan bandingkan, Westside tanpa bertele-tele menjelaskan bagaimana kondisi Jakarta Barat dan bagaimana sosok Tuan Tiga Belas menghadapi keadaan sosial di tempat tinggalnya.

Ketika mendengarkan track Westside, aku tidak terlalu pusing untuk memahami apa yang Tuan Tiga Belas sampaikan jelas ke tujuan, tidak bertele-tele.

Sedangkan Men in West seakan mengaburkan apa yang ingin mereka sampaikan, hanya beberapa persen dari keseluruhan lirik yang membahas bagaimana posisi mereka di barat (Sumatra Barat tepatnya di Bukittinggi).

Track ini jika dianalogikan sama seperti lembeknya kerupuk kuah yang ada di sekitar jam gadang yang dibiarkan di piring, kerupuk itu masih tetap saja enak untuk dimakan beberapa saat kemudian dan malahan wajib dicoba jika berkunjung ke sana. Untuk kamu yang membaca ulasan ini, jangan lupa ramaikan track ini yak! Apalagi buat kalian anak gaul Sumatra Barat, aku wajibkan kalian mendengarkan track ini!

Lamak bana, Da!

Author

Mahasiswa akhir Sastra Indonesia di satu universitas swasta di Kota Padang.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You might also like