Meminjam Kereta Kencana Pemda Purwakarta

Ya Tuhan, mau naik kereta kencana yang di Alun-Alun Purwakarta aja!

Sudah hampir 2 bulan saya mondar-mandir tanpa memakai kendaraan pribadi dan terus terang saja, tinggal di Purwakarta dan tidak punya kendaraan merupakan kombinasi pemicu stres paling mujarab.

Kalau kalian tinggal di Purwakarta, masih dalam usia produktif serta punya mobilitas tinggi, tapi gak punya – seminimalnya motor, kayaknya umur kalian akan 4 tahun lebih pendek.

Saya sendiri bukan tanpa alasan – atau secara sengaja berkegiatan tanpa kendaraan pribadi.

Musibah pertama menimpa ketika motor saya dicuri orang. Saat keadaan motornya tidak ada bensin sama sekali. Bahkan tidak bisa hidup. Konyol, memang!

Dengan mengetahui kalau si maling akan mendorong motornya, beberapa saat setelah kejadian saya langsung lapor ke RT/RW setempat, koordinasi ke setiap pom mini, pom bensin terdekat, serta tukang parkir yang ada di setiap gang menuju akses ke jalan raya. Agar menghubungi saya bilamana menemukan orang yang mendorong motor dengan ciri-ciri motor yang sudah saya berikan.

Tak lupa saya juga berkunjung ke Polsek Purwakarta, tentu dengan harapan mereka dapat menemukan motor saya dengan segala akses dan perangkat yang mereka miliki.

Karena kejadiannya malam hari, saya pun disarankan untuk melapor esok pagi.

“Karena pelayanannya sudah tutup,” katanya.

Saya sebenarnya tidak tahu pasti bagaimana prosedur polisi menangani kasus pencurian.

Apakah memang harus menunggu administrasi selesai untuk melacak si pencuri? (Bertanya dengan nada lembut).

Sedangkan masalahnya, jika layanan administrasinya saja tidak buka 24 jam, bagi saya yang orang awam, bukankah kejadiannya terjadi di malam hari justru memberi peluang pencuri melarikan diri lebih jauh? Sehingga lebih sulit melakukan penyelidikan? (Lagi-lagi bertanya dengan nada lembut).

Tapi setelah menempuh proses administrasi pun, keesokannya penyidiknya cuma bilang,

Engke dikabaran, lamun kapanggih syukur, lamun henteu berarti lain milik.”

Sebenarnya sih, saya agak kaget. Karena berharap sebagai polisi, seharusnya dapat lebih memberi rasa optimis. Lebih kaget lagi, setelah itu tidak ada tindak lanjut apa-apa, minimalnya olah TKP sesuai surat yang ia berikan kepada saya. Itu pun tidak ada. Malah polisinya menyuruh saya yang mencari tahu dan minta rekaman CCTV ke warga.

Padahal soal CCTV, dalam benak saya, polisi pastinya punya akses ke CCTV ATCS. Saya juga sudah cek lewat akses publiknya, di lalu lintas dekat rumah saya terdapat CCTV tersebut. Kan bisa tuh, melakukan tracking di jam terjadinya pencurian untuk rute-rute yang berpeluang dilalui pencurinya, lalu dikasih tahu ke saya hasilnya. Intinya, saya bisa lihat usahanya. Jadi ketika memang tidak ketemu pun, saya bisa terima kalau itu memang bukan milik.

Tapi, itu cuma pemikiran saya yang awam dan tidak tahu prosedur kerja polisi.

Hanya saja, sudah hampir setengah tahun berlalu belum ada follow-up. Jika dipikir lagi, seingat saya, bahkan dari awal penyidiknya saja tidak pernah minta atau lihat foto motor saya yang dicuri. Memang, saya yang salah terlalu berekspektasi.

Musibah kedua datang ketika motornya Fredel yang akhirnya dipakai sehari-hari, olinya kering hingga mesinnya mati. Sialnya, hal itu terjadi di tempat saya kerja yang jauh dari peradaban. Dan baru bisa diangkut ke bengkel setelah Lebaran kemarin.

Alhasil, selama itu saya dan Fredel kemana-mana harus menggunakan transportasi umum.

Wajah Transportasi Umum di Purwakarta

Selama menggunakan transportasi umum, saya jadi melek betapa pentingnya memiliki motor di Purwakarta.

Bayangkan saja, untuk berangkat kerja naik ojek online, saya perlu merogoh kocek sebesar 40 ribu rupiah. Jadi, saya perlu menyiapkan uang 80 ribu untuk pulang-pergi. Itu juga kalau driver-nya ada yang mau ambil order dari Iming sampai Cikopo, atau sebaliknya.

Agar pengeluaran tidak lebih membengkak, saya pun berganti transportasi ke tempat kerja dengan naik angkot. Tapi tak jarang saya telat masuk kerja karena hal-hal tak terduga, dan berujung potong upah.

Setiap berangkat kerja, saya harus menghabiskan 10 sampai 15 menit untuk menunggu angkot 43 yang lewat. Mungkin bukan karena angkotnya ngetem lama di satu tempat, tapi memang armadanya yang mungkin kini cuma sedikit.

Oke, belajar dari kesalahan. Saya pun coba berangkat kerja lebih pagi. Namun, ada saja yang bikin ngelus dada setiap harinya. Dari mulai angkotnya yang kadang tidak sampai ke tujuan dan menyuruh saya naik angkot lain, penumpang lain yang tiba-tiba minta angkot masuk ke gang, angkot mogok kehabisan bensin, hingga yang paling epic: supir berantem sama orang lain karena nerobos lampu merah. Pokoknya ada saja hal ajaib yang bikin saya terlambat masuk kerja.

Lama-lama kesel memang. Cuma masalahnya, tidak ada transportasi lain menuju ke tempat kerja. Transportasi publik di Purwakarta bisa dihitung jari. Saya sadar diri, sih. Tinggal di kabupaten, transportasi publik macam apa yang bisa diharapkan.

Bandingkan dengan Jakarta, yang bahkan kita bisa muter-muter Jabodetabek pakai KRL, dengan tarif 3 ribu per 25 km pertama. Jarak dari rumah saya ke tempat kerja saja cuma 16 km. Artinya jika ada transportasi publik semacam itu di Purwakarta, saya cuma menghabiskan 6 ribu rupiah untuk pulang-pergi naik transportasi publik.

Ya, memang sih, risikonya mesti berdempet-dempetan dan berebut tempat duduk. Tapi setidaknya jam berangkat dan datangnya tidak seperti ramalan cuaca yang sering meleset. Ditambah tidak ada kemungkinan kehabisan bensin, atau masinis berantem karena nerobos lampu merah, kan.

Atau kalau pun tidak ingin pakai KRL, masih banyak alternatif transportasi publik lain yang mudah diakses. Ada TransJakarta, JakLingko, MRT, hingga LRT. Atau yang lebih personal seperti bajaj maupun taksi. Beberapa transportasi bahkan sudah terintegrasi satu sama lain. Jadi, tinggal pilih saja.

Membayangkan jika Purwakarta punya fasilitas transportasi yang disubsidi pemerintah, yang bikin waktu tempuh dari Wanayasa ke pusat kota jadi lebih sebentar, atau dapat menjangkau rute-rute yang tidak tersentuh seperti kawasan pabrik. Dan tentunya punya jam keberangkatan dan kedatangan yang pasti. Bisa mereuuun…

Trotoar yang Belum Ramah Pejalan Kaki

Memakai transportasi publik artinya lebih banyak berjalan kaki. Saya tidak ada masalah dengan berjalan kaki, selama trotoarnya memang layak. Tapi, masalahnya trotoar di Purwakarta itu sempit. Harus berbagi dengan pohon, pedagang, serta lahan parkir. Belum lagi banyak bagian trotoar yang hancur, berlubang, hingga terputus-putus. Akhirnya bikin saya harus naik-turun trotoar yang mana bikin betis cenat-cenut dan membengkak mirip betis Balotelli.

Terlalu muluk kalau saya minta ada jembatan penyeberangan. Karena zebra cross yang ada saja sudah mulai pudar.

Jadi, saya ulangi sekali lagi. Tinggal di Purwakarta minimalnya harus punya motor. Kalau tidak ingin duit menipis, dan kewarasan sedikit terkikis. Pasalnya tidak banyak pilihan transportasi publik, sedangkan lingkungannya pun belum memadai untuk digunakan berjalan kaki.

Sekilas terbayang untuk membuat surat pinjaman yang dilayangkan ke Pemda Purwakarta. Isinya permintaan untuk menggunakan kereta kencana. Kemudian berlenggang keren di jalanan seperti Angling Dharma, sehingga masyarakat Purwakarta yang melihat saya merasa seperti kalangan proletar Perancis abad ke-19. Terbayang bukan?


Merayakan film, mengolok Liverpool. Pengagum permanen FredelidaGM.

Related Post

No comments

Leave a Comment