Apa yang kamu ingat dari bulan Ramadhan? Apakah buka bersama yang berisi ajang pamer kesukesan? Teman kamu yang diam-diam sering pergi ke warteg pada siang hari? Atau pencarian terhadap bidadari-bidadari komplek pada saat salat tarawih?
Kiranya akan ada banyak momen yang hanya terjadi pada bulan Ramadhan, yang tadi aku sebutkan mungkin hanya beberapa di antaranya.
Karena saking berbedanya dengan bulan yang lain, kita mungkin bisa mengingat apa yang terjadi di bulan tersebut pada tahun-tahun sebelumnya. Semisal aku, tahun kemarin sedang tekun mendalami desain grafis untuk kebutuhan pamflet, yang sampai sekarang ternyata masih tetap kelewat payah.
Adapula dua tahun kemarin, aku dan teman-teman sedang menyelenggarakan deklamasi puisi bernama Senandika, yang ternyata hanya berlangsung beberapa kali saja. Kedua hal yang berjalan singkat, tapi aku masih bisa mengingatnya dengan jelas.
Bagi diriku sendiri, pengalaman Ramadhan kiranya selalu berbeda dari tahun ke tahun, tapi ada juga yang tetap sama, yaitu ceramah-ceramah yang aku dengar di setiap tahunnya.
Ada satu hadist yang sering kali digunakan oleh para penceramah di bulan Ramadhan, yang mana itu adalah perihal dibukakan pintu surga dan ditutupnya pintu neraka.
Hal ini bukan berarti aku sudah bosan mendengar hadist tersebut, melainkan dari interpretasi, pemaknaan, dan cara pendekatan yang mereka lakukan. Repetitif. Para penceramah ini melakukannya seperti menyalin apa yang sudah mereka sampaikan di tahun-tahun lalu.
Adapula hadist tersebut lengkapnya adalah “Apabila datang bulan Ramadan, maka dibukalah pintu-pintu surga dan ditutup pintu-pintu neraka serta semua setan dibelenggu.” (HR. Muslim).
Anehnya, ketimbang melakukan pemaknaan yang membuat orang lain dapat menerimanya dengan masuk akal, para penceramah biasanya menggunakan pendekatan-pendekatan ghaib untuk menjelaskannya.
Dampaknya, tak jarang dari kita akan menemukan pernyataan mengenai rasa aman ketika malam hari, karena tidak ada kemungkinan bagi mereka untuk bertemu setan di tengah perjalanan.
Tapi di satu sisi, ada juga yang berujar melihat setan di rumah kosong atau di tempat-tempat gelap yang lain. Sangat berlawanan, bukan? Lebih lanjut lagi, ada juga yang bertanya jika memang setan dibelenggu, mengapa kejahatan masih tetap terjadi?
Melalui pernyataan dan pertanyaan tadi, dapat disimpulkan bahwa dengan pendekatan ghaib, hadist tersebut menemukan kontradiksinya dan menandakan bahwa memang ada kekeliruan dari penyampaian dan dalam interpretasinya.
Sejauh ini, hanya ada satu penceramah yang aku tahu cakap dalam memaknainya. Hadist tersebut diinterpretasikan, bahwa sebenarnya dibukalah pintu-pintu surga dan ditutup pintu-pintu neraka adalah kesempatan kita untuk melakukan pahala dan dosa.
Beliau menyatakan bahwa karena kesibukan kita dalam beribadah di bulan Ramadhan, akan mempersempit jalan (menutup pintu) bagi kita untuk melakukan dosa.
Sedangkan setan yang dibelenggu adalah perumpamaan atas hasrat kita untuk melakukan perbuatan-perbuatan terlarang, yang dihubungkan dengan puasa sebagai ajang pengendalian diri.
Melalui interpretasi tersebut, tidak akan ada lagi yang menghubungkan Ramadhan dengan ada dan tiadanya setan, ataupun pertanyaan mengenai kejahatan.
Semuanya terfokus ke diri kita sendiri. Apa yang kita lakukan dan perbuatlah yang menentukan pintu mana yang terbuka lebar dan mempersempit jalan ke pintu yang lain.
Lagipula bukankah puasa teruntuk orang-orang yang beriman? Orang yang bisa membelenggu setan, yang mana itu berarti adalah orang yang dapat mengendalikan nafsunya. Ketika orang-orang bisa mengendalikan nafsunya, maka tidak akan terjadi tindak kejahatan.
Melalui pendekatan yang sesuai, kita akan dengan mudah mengerti maksud dari hadist tersebut dan menerimanya tanpa melalui bantahan-bantahan yang seringnya hanya dapat kita simpan di kepala.
Jika saja mungkin pemaknaan menggunakan unsur ghaib dapat diterima bagi sebagian orang di masa lalu, tetapi kita tidak bisa menampik bahwa zaman sudahlah berkembang dan kita perlu adanya kebaruan dalam hal pemaknaan dan gaya penyampaiannya.
Bukan berarti para penceramah membuat hadist yang baru, tapi pemaknaan yang lebih relevan tanpa mengubah nilai-nilai pada ayat atau hadist yang disampaikan. Toh pada dasarnya tafsiran itu bersifat manusiawi, dan dengan begitu seharusnya pemaknaan atas suatu hadist dapat disesuaikan dengan perkembangan zaman.
Setidaknya dengan begitu, tidak akan ada lagi pernyataan tentang setan maupun pertanyaan mengenai kejahatan, yang mana hal tersebut akan membuat umat merasa bingung atau bahkan agama terkesan sebagai sebuah keyakinan yang kuno.