“Semoga kau menemukan yang lebih baik dari aku,” pintanya.
Kata-kata itu masih melekat di sepasang telinga. Seolah-olah ia tak mau pergi. Aku kira masih ada yang belum selesai tapi aku mencoba tuk menyelesaikannya tapi entah kenapa guneman ini masih ada di mulut dan rasanya clekit-clekit di dada. Rupanya ada sesuatu yang tanggal di benakku perihal perasaan kemarin malam. Perasaan kalut tentunya masih berselimut hangat setiap kali aku mengingatnya tapi biarkanlah waktu yang menjawab segala pertanyaan yang selama ini terpendam amat dalam di lubuk hati yang paling dalam.
Mari kita melangkah ke belakang sejenak. Aku sering ditolak oleh perempuan yang aku cintai, dan kata-kata tersebut seolah menjadi template di otakku. Kata-kata itu menjadi semacam senjata terakhir bagi si penolak untuk segera menghindar dari busur cintaku. Aku tak tahu pasti apa yang melandasinya berkata seperti itu. Kata-kata tersebut terkesan ‘memaksa’ untuk meromantisasi yang ditolaknya supaya jangan bersedih dan juga menerima kenyataan yang begitu pahit dan getir. It’s just sound soooo bullshit.
Bagaimana tidak? Ia berkata hanya semata-mata perasaannya ingin dihargai. Aku tahu arahnya kemana kata-kata yang kau katakan itu. Atau mungkin saja, ia berkata seperti itu supaya dipandang sebagai orang (baca: perempuan) yang bijak dan ia tak sembarangan didapatkan oleh laki-laki seperti yang ditolaknya itu. Itu bertendensi bahwa ia bukan perempuan ‘murahan’ atau ‘gampangan’ di mana hanya orang-orang tertentu yang bisa mendapatkannya. Fucking bitch!
Ada saatnya ia ‘meninggi’ dengan perasaan tersebut, ada pula saat ia ‘merendah’ dengan jawaban-jawabannya yang tak masuk akal itu. Hal itu berguna untuk dirinya berada di titik terendah dalam hidupnya dan kata-kata itu bisa mengobatinya dari keterpurukan yang ia alami. Ia jelas tak memikirkan lawan bicaranya yang dari awal mengungkapkan sesuatu yang mungkin sangat berarti. Akan tetapi pikirannya telah terhalau oleh sugesti dirinya yang menganggap bahwa penolakan itu adalah jalan terbaik.
*
Menulis pledoi ini, buatku bukan hanya sekadar ‘pledoi’ belaka. Ada pokok pikiran yang sekiranya mengganjal di sela-sela otak dan menghambatku berpikir ketika aku sedang asyik-asyiknya menulis atau bekerja. Semua ini bukan soal ‘menerima kenyataan’ atau alih-alih ‘menghibur diri’ agar perasaan kalut itu bisa hilang dan bisa mencintai orang lain kembali.
Tulisan ini lebih kepada mencari makna yang terkandung dari kata-kata yang menjadi kalimat pembuka di atas. Menurutku, ini perlu dibahas dari sudut pandang mana pun karena sangat menarik mengulik kata-kata yang menjadi sumber utama ketika menolak perasaan dari seorang yang telah mengungkapkan perasaanya.
Tentunya aku memandang dari sudut sinisme, karena mengandung bias logika yang amat parah dan prediksi yang begitu buruk. Pertama, ia mengatakan bahwa yang lebih baik darinya itu ada dan eksis. Bagaimana orang mengukur kebaikan satu dengan yang lainnya, coba? Hal tersebut kan memang tidak punya ukuran mutlak. Kebaikan punya spektrumnya sendiri, kan. Kedua, bagaimana ia memprediksi bahwa kedepannya aku menemukan yang lebih baik darinya? Pola pikir seperti ini agaknya perlu dibenahi kembali. Ia menunjukkan bahwa di depan sana yang tak terlihat itu banyak orang (baca: perempuan) yang menantimu. Kenapa seolah-olah jadi tukang ramal dadakan on the spot seperti itu? Aneh.
Pada mulanya, ada rasa kesal dan jengkel ketika mengingatnya kembali. Tapi justru hal itu memantikku untuk lebih bergairah lagi menulis catatan ini. Baik, aku jabarkan sedikit tentang pokok pikiran yang akan ku uraikan di dalam esai ini. Pertama, keterpaksaan. Dua, ketidakpedulian. Tiga, keterbukaan yang tidak seutuhnya terbuku. Masing-masing dari poin itu sebenarnya ada yang lebih vital tapi aku memilih tidak mencantumkannya karena sebab alasan-alasan seperti lingkar pertemanan.
Pada dasarnya, alasan ini tidak masuk akal sebab ia tak mempunyai dasar pemikiran yang membuatnya kuat. Ia gagal dalam menggali informasi yang ada pada dirinya. Bahkan disaat ia mengucapkannya terdapat keraguan yang ada pada dirinya. Hal ini membuat hatinya merasa bersalah karena ia tak bisa mengalahkan segala gundah dalam hatinya.
Tujuan dari terciptanya tulisan ini adalah bukan untuk mencari validasi dari realitas yang sudah terjadi. Tulisan ini lebih mengarah bagaimana aku menyikapi perasaan yang tak terbalas oleh orang yang aku cintai. Pastinya, beberapa orang merasakan ada hal yang beda karena dirinya telah menelan kekecewaan yang begitu telak.
Lebih daripada itu, aku tetap mendoakannya supaya ia tak salah dengan kata-kata terakhirnya. Tapi terlepas dari itu, jika doanya salah, aku juga tidak memiliki respons apa pun kecuali memutuskan untuk tidak pernah melihatnya lagi.