Tahun 2023 bisa dibilang, adalah masa di mana industri webnovel di Indonesia menghadapi tantangan yang nyata. Sebuah pertanyaan pun timbul di benak para pelaku di industri ini: akankah industri webnovel bertahan di negeri ini, menemukan momen untuk kembali bangkit, atau justru pada akhirnya akan mati?
Pandemi covid-19 memang sudah usai, menandai pergeseran prioritas masyarakat dari semula membatasi beraktivitas di luar untuk bertahan hidup menjadi sebisa mungkin beraktivitas di luar, juga untuk bertahan hidup. Bekerja, bekerja, dan bekerja. Dengan sendirinya waktu dan energi untuk membaca webnovel pun berkurang. Tak heran, penjualan bab berbayarl webnovel di sejumlah platform digital mengalami penurunan. Kerugian ini dirasakan baik oleh platform maupun penulis.
Akan tetapi, itu bukan satu-satunya faktor, dan bisa jadi bukan faktor yang utama. Masih ada faktor-faktor lain yang patut diperhitungkan di balik tren negatif tersebut. Salah satunya adalah soal strategi yang dipakai oleh perusahaan-perusahaan yang mengelola platform-platform digital itu.
Di saat kebanyakan platform digital untuk webnovel menganjurkan (dan bahkan mengharuskan) buku-buku yang terbit di sana dikunci, dijadikan buku berbayar, platform digital “baru” seperti Fizzo malah sebaliknya: mengharuskan semua buku yang terbit di sana tetap gratis–bisa dinikmati oleh pembaca sampai bab terakhirnya. Langkah berani Fizzo ini bisa memberi mereka keuntungan, yakni menarik para pembaca webnovel yang tak lagi mau menggelontorkan banyak uang untuk membeli bab berbayar dari buku-buku yang mereka ikuti. Dan ketika fenomena hijrahnya pembaca ini didukung oleh tersedianya buku-buku dengan tipe cerita yang relatif serupa dengan yang ada di platform-platform asalnya, dampaknya jadi lebih terasa.
Dan pada kenyataannya, fenomena hijrahnya pembaca tersebut tidak hanya mendapat dukungan dari dalam melainkan juga dukungan dari luar. Dan ini lumayan menarik, mengingat platform-platform lain yang pembacanya ditarik oleh Fizzo itu tentu tak bermaksud memberikan dukungan itu secara sengaja.
Ambil contoh, misalnya, perubahan sistem kompetisi. Sejumlah platform digital seperti NovelMe terkenal dengan kompetisi tiga bulanannya yang menjadi magnet utama di mata para penulis. Next Top Writer, yang telah berjalan hingga belasan musim, terbukti mampu mendorong para penulis untuk menerbitkan buku mereka di NovelMe dan ini membantu NovelMe memperoleh buku-buku baru, yang berarti juga pembaca-pembaca yang, sebagian, mungkin baru. Sayangnya, semakin ke sini hadiah yang ditawarkan oleh kompetisi khasnya NovelMe ini semakin berkurang nominalnya, dan ini membuat sejumlah penulis top enggan mengikuti seri terbaru kompetisi tersebut. Dan ketika akhirnya sistem kompetisi diubah secara besar-besaran, di mana buku-buku lama bisa juga berpartisipasi di kompetisi tersebut, keengganan para penulis itu semakin kuat. Mereka lebih memilih untuk fokus pada buku lama mereka yang mampu bertahan di rank best seller selama berbulan-bulan daripada bertaruh pada buku-buku baru yang belum jelas nasibnya.
Berkurangnya buku baru berarti berkurangnya juga pembaca yang membeli bab-bab berbayar, baik itu pembaca lama maupun pembaca baru. Sementara, sebab pasar webnovel sudah kadung terbentuk, para pembaca yang sudah terbiasa mengikuti kisah-kisah ala webnovel itu membutuhkan buku-buku baru yang bisa mereka baca. Di sinilah peran platform penyedia buku-buku gratis seperti Fizzo menemukan celah. Asalkan mereka bisa menarik para penulis yang kecewa itu untuk menulis di platform mereka, mereka akan mendapatkan lebih banyak lagi pembaca, dan itu tentu sesuatu yang positif buat mereka.
Dan perihal hijrahnya pembaca ini disebabkan juga oleh kesalahan strategi lain yang berkaitan dengan pendapatan yang didapatkan penulis dari buku-buku mereka. Umumnya, penulis mengharapkan adanya transparansi soal pembagian pendapatan bab berbayar, terutama apabila mereka telah terbilang sukses dengan pendapatan bulanan puluhan hingga ratusan juta rupiah. Biasanya mereka akan mencoba menghitung-hitung sendiri, lantas membandingkan hasil hitungan mereka dengan total pendapatan buku yang muncul di backend penulis. Ketika selisihnya begitu jauh, mereka mulai bertanya-tanya apakah ada permainan atau apa. Kurangnya transparansi memperparah kecurigaan mereka ini dan pada akhirnya membuat mereka mengalamii trust issue. Bisa ditebak, mereka pun memutuskan untuk tak lagi menerbitkan buku di platform-platform yang mereka curigai melakukan kecurangan itu dan beralih ke platform-platform lain.
Di sini kita bisa mengajukan sebuah pertanyaan penting: sesulit itukah menyediakan laporan penjualan buku yang transparan, yang benar-benar bisa dipantau oleh pembaca dan memberi mereka ketenangan? Tidak mudah menjawab pertanyaan ini, sebab setiap platform memiliki kebijakannya sendiri soal transparansi, dan biasanya itu bersifat rahasia. Yang pasti, kurangnya transparansi soal pendapatan buku ini merupakan salah satu hal yang paling sering dikeluhkan oleh para penulis webnovel, terutama mereka yang telah mencapai kesuksesan.
Kesalahan-kesalahan strategi ini tentu saja tidak bisa dianggap sepele, mengingat saat ini industri start up sedang dihadapkan pada badai yang belum terlihat akan selesai. Gelombang PHK yang diberlakukan oleh perusahaan-perusahaan start up besar menjadi tanda bahwa industri ini sedang kritis-kritisnya. Platform-platform digital penyedia webnovel pun, tak mungkin tidak, akan terkena dampaknya. Kecuali masih didukung penuh oleh investor yang bersedia menggelontorkan uang dalam jumlah besar untuk terus dibakar demi keuntungan di masa depan, platfom-platform digital tersebut terancam terus mengalami penurunan pendapatan. Bagi mereka hanya ada dua pilihan: mengurangi biaya produksi demi bertahan sampai badai ini berlalu, atau mencari investor baru.
Pilihan kedua tentu saja tidak akan mudah, terlebih lagi jika platform tersebut dinilai tidak lagi menguntungkan. Maka mengurangi biaya produksi menjadi satu-satunya pilihan paling realistis. Tetapi ini pun bukan tanpa risiko. Terus dihadapkan pada iklim yang kurang kompetitif dan tak menawarkan letupan-letupan berarti, bisa saja pada akhirnya nanti para penulis webnovel akan kehilangan antusiasme mereka, begitu juga para pembaca.
Sambil berharap badai yang menghantam industri start up ini berlalu, para pelaku industri start up, terutama perusahaan-perusahaan yang mengelola platform-platform digital itu, harus cepat-cepat menemukan solusi praktis lain atau mereka akan tergerus oleh badai ini. Sebenarnya bisa saja mereka menyerah, paling tidak mengakhiri kiprah platform-platform tersebut di tanah air dan fokus pada kiprahnya di negeri asalnya–Tiongkok. Akan tetapi, melakukan itu sebenarnya bukan sesuatu yang bijak. Pasalnya pasar yang dibentuk oleh kiprah platform-platform tersebut di tanah air itu masih ada. Dan ketika kita bicara soal pasar yang masih ada, kita bicara soal potensi.
Pasar webnovel, misalnya. Kendatipun sejumlah platform sudah berhenti menerima naskah webnovel berbahasa Indonesia, sebagai tanda bahwa mereka telah menggeser fokus mereka ke pasar webnovel di pusat, para penulis webnovel berbahasa Indonesia masih ada, begitu juga para pembacanya. Dan mereka tak akan berhenti menulis dan atau membaca webnovel hanya karena satu-dua platform telah “menyerah”; mereka akan mencari platform-platform lain, bertaruh pada platform-platform tersebut. Inilah potensi yang dimaksud. Apabila platform-platform webnovel yang masih bertahan ini mampu menyerap para penulis dan pembaca webnovel berbahasa Indonesia yang “kehilangan rumah” itu, kelak nanti mereka akan memperoleh keuntungan yang mereka inginkan.
Dan ini sebenarnya merupakan angin segar bagi pihak-pihak yang, justru, baru akan bertaruh untuk mulai menawarkan platform penyedia webnovel berbahasa Indonesia yang baru. Asalkan mereka bisa menawarkan sesuatu yang dibutuhkan dan diinginkan oleh para penulis dan pembaca webnovel berbahasa Indonesia yang kehilangan rumah itu, mereka akan mampu meraup keuntungan yang besar. Tentu saja, mereka juga harus lebih dulu memahami bagaimana industri ini bekerja di tanah air selama ini, untuk kemudian memperbaiki kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh para pendahulu mereka.
Kepada platform-platform baru itu kita bisa berharap banyak, sebab sulit membayangkan realitas di tanah air tanpa adanya industri webnovel. Tidak untuk saat ini, di mana pasarnya masih jelas-jelas ada.(*)
Jakarta, 2023