Dalam banyak kesempatan bincang santai dengan sesama baby boomers generation, saya sering mendapati topik Budi Pekerti Anak Muda sebagai bahan omongan yang paling seru. Begitu juga di grup online bapak-bapak paruh baya, topik itu puaasti selalu menjadi trending topic. Entah kenapa. Mungkin karena begitu berbedanya pola asuh antara generasi kami dengan gen Z tersebut. Mungkin juga karena zamannya yang telah jauh berubah.
Yang paling sering jadi contoh dalam perbincangan tersebut adalah hal-hal sederhana dalam pergaulan sehari-hari. Misalnya bagaimana perilaku anak muda jaman sekarang ketika lewat di depan orang tua. Mereka seringkali bablas aja. Ndak sopan banget, kan? Kami jadi mikir, mungkinkah perkara sopan santun ini mereka tempatkan di nomor ke-sekian?
Contoh lain adalah cara mereka berbicara dengan sesamanya. Jika sampeyan cukup kurang kerjaan, coba tengok bagaimana perilaku arek nom-noman ketika ngobrol dengan orang lain. Mereka kerapkali ngomong sambil tetap mantengin gawainya, tak peduli jika lawan bicaranya orang yang jauh lebih tua sekalipun. Andai saya yang diperlakukan seperti itu, rasanya ingin nyampluk gawainya aja.
Beberapa contoh tersebut terasa annoying banget bagi generasi baby boomers seperti saya. Belum lagi kalau mendengar mereka ngobrol dengan circlenya yang seumuran. Byuh ... bahasanya itu, lho, mengandung banyak sekali penghuni kebun binatang. Dalam pembicaraan berdurasi 5 menit saja bisa terucap nama-nama binatang hingga ratusan kali. Telinga saya yang gak sengaja mendengar jadi ikutan gatal.
Ujung-ujungnya kami, generasi yang lebih berumur ini, menjudge mereka sebagai anak yang kurang mengerti unggah-ungguh. Dus, kurang baik budi pekertinya. Iya, perkara memberi stigma ini kami para baby boomers memang ahlinya kok, hahah. Eh, jangan keburu baper ya. Saya juga sadar kok kalau judgement dari generasi baheula ini kadangkala ngasal dan tidak selamanya benar.
Dari pemberian stigma asal-asalan tersebut ndilalah muncul sebuah hipotesa (yang tentunya yang ngasal juga), bahwa urusan budi pekerti ini bisa diperbaiki, satu diantaranya melalui pendekatan bahasa.
Bukankah bahasa adalah produk budaya yang juga menentukan pola komunikasi antar warga. Menurut Triyanto dalam jurnal “Bahasa sebagai Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa” (2019), Bahasa adalah salah satu unsur budaya yang merupakan cerminan budaya. Maka, bahasa secara de facto tidak dapat dipisahkan dari budaya dan konteks budaya tertentu.
Dari pendapat Triyanto tersebut, saya berasumsi bahwa penggunaan bahasa dengan tone tinggi dan volume yang keras akan menciptakan perilaku yang keras juga. Demikian juga sebaliknya, bahasa yang halus akan menumbuhkan perilaku yang lebih lembut.
Lalu terbitlah ide iseng untuk mengajak generasi Z ini agar berbicara menggunakan bahasa daerah leluhurnya, yang dalam scope lingkungan saya adalah bahasa jawa krama. Biar apa? Ya biar pola komunikasi antar mereka bisa lebih halus, yang ujung-ujungnya bisa memperhalus budi pekerti mereka. Memang ide yang terkesan nganeh-anehi sih, but it sounds so nice.
Coba sampeyan bayangkan, betapa asiknya jika ada sekelompok anak muda yang sedang nge-band, lalu ngobrolnya pakai Bahasa Jawa Krama. “Eh, segawon saestu kok panjenengan menika! Sampun manjing wancinipun latihan kok ndadak telat ngantos setunggal jam langkung“
Lalu disahut dengan tak kalah anggun “Nyuwun agunging samudra pangaksama nggih ra, wanara.. menika wau kula kasep anggenipun wungu“.
Terdengar lebih civilized bukan? Sila bandingkan dengan template percakapan ala anak muda semacam “Woi anj*ng!!! gak ngotak bener lu ya, telat sampai sejam setengah gini“, dengan template jawaban yang senada “Sory nyet, gue ketiduran. Gak usah ngegas ngapa sih?”
Contoh lain, bayangkan alangkah indahnya jika kita bisa mendengar percakapan anak muda di cafe seperti “Pripun pawartanipun kisanak?“
Alih-alih sapaan semacam “Janc*k!!! sik urip a koen dhus? Nandi ae raimu kok gak tau ketok?“
Kemudian dijawab dengan tak kalah beradabnya “Puji Gusti, sae kangmas, bagas waras datan kirang setunggal punapa-punapa.“
Jika dalam percakapan sehari-hari tersebut anak muda sudah terbiasa berbahasa jawa krama, yakinlah bahwa itu akan berimbas pada budi pekerti mereka. Perilakunya akan lebih sopan, budi pekertinya juga akan lebih halus. Dan percaya deh, anak muda yang berbudi seperti ini akan menjadi calon menantu idaman semua mertua. Emangnya mana ada baby boomers yang sudi punya mantu dengan gaya bicara jonc*k-janc*k dan onjang-anj*ng?