Ketika Balia Ompol baru masuk Minggu kedua sejak mimpi basah pertamanya, ia mengalami malam Minggu paling membara dalam hidupnya. Pasar Rebo merah oleh penjarahan, bibir Balia berdarah, untuk pertama kalinya oleh cipokan.
Itu adalah tahun 1998, saat Purwakarta masih punya Pesta Pelajar, ajang tawuran paling edan dan parade anak-anak band lokal yang memainkan Oasis, Cake, Guns N’ Roses, Radiohead, dan Nirvana. Sesekali ada yang memainkan Sheila on 7, Slank, Plastik, Cokelat, dan Iwan Fals.
Semua orang datang berdesakan. Ada yang datang demi musik, ada juga yang menunggu momen untuk membenturkan kepala anak punk ke aspal, kemudian menyeret wajah anak sial itu seperti sapu ijuk yang dipaksa menguras lantai penuh air.
Balia pernah melihat Om Iwan memanggul samurai di tengah kerumunan yang kacau. Om Iwan berputar seperti gasing gila. Samurainya menggores empat wajah anak yang malang.
“Itu malam Minggu yang menyenangkan,” kenangnya. Meski Pesta Pelajar sudah lama tak ada lagi, melihat Pasar Rebo terbakar, terutama Swalayan Nusantara, seberapapun mencekamnya, akan jadi pengalaman sekali seumur hidupnya.
“Kalau gitu, sekarang umurmu 38, bukan?”
“Sial, ketahuan.”
“Ngomong-ngomong, bagaimana bisa bibirmu berdarah?”
“Namanya Siti.”
“Tipikal amat, apa itu nama aslinya?”
“Baiklah, namanya Mariam Nikola.”
“Nama yang bagus untuk pengalaman pertama.”
“Dia kakak kelasku. Kami berciuman karena penasaran.”
“Apakah enak?”
“Buruk sekali. Gigi kelincinya membentur bibir atasku dan membuatnya berdarah.”
“Bukankah kau bilang tadi itu seru?”
“Ya, kau tahulah.”
Harusnya pagi besok jadi momen besar buat Balia Ompol di sekolah. Ia akan bercerita tentang pergumulannya dengan Mariam di belakang warung Bakso Mang Ahmad. Tapi apa boleh buat, sejak hari itu cerita ia berciuman tenggelam oleh cerita kerusuhan selama berhari-hari.
“Kau tahu, aku lelah setiap hari berkelahi karena sebutan Balia Ompol. Harusnya itu momen aku diingat sebagai Balia yang merogoh ke dalam rok Siti, eh, Mariam.”
“Bagaimana kau bisa disebut Balia Ompol sampai setua ini?”
“Itu lain kali saja. Apa kau masih mau tahu yang sebenarnya terjadi di balik kerusuhan Nusantara?”