Sekitar tahun 2016 atau 2017, saya ke Gramed untuk beli Le Petit Prince buat ngerjain tugas Sastra Anak. Setelah itu, Le Petit Prince masuk ke dalam jajaran buku favorit saya sepanjang masa. Meskipun buat Exupery mungkin saya pembaca yang gak layak diperhitungkan, tapi saya tetap suka sama Le Petit Prince dan Courrier Sud!
Sebelumnya, asisten dosen saya (yang pada saat itu adalah pacar saya) memberikan tugas untuk membedah Dunia Adin karya Sundea yang tentu saya suka juga. Selain karya Sundea yang ramah dan vibesnya positif banget parah! (waktu itu teman saya email Sundea buat nanya langsung soal bukunya), saya kayaknya memang menyukai semua buku yang tokoh utamanya adalah anak-anak, deh. Ya walau gak semua yang tokoh utamanya anak-anak bisa disebut sastra anak, ya.
Ngomong-ngomong soal sastra anak, pernah terjadi diskusi di kelas waktu itu dengan pertanyaan begini: Sebenarnya apa itu sastra anak? Apakah sastra anak harus ditulis oleh anak? Apakah sastra anak selalu punya tokoh utama anak-anak? Atau gimana?
Iya, kalau didengar lagi, pertanyaan soal itu mungkin agak mirip dengan pertanyaan Apakah semua animasi atau kartun ditujukan buat anak-anak?
dan kami sampai pada kesimpulan bahwa sastra anak adalah sastra yang gak harus ditulis oleh anak-anak, yang jelas ia bisa dimengerti, bermanfaat baik untuk anak-anak, dan tokohnya gak selalu harus anak-anak. Sama seperti kartun, kan? gak semua animasi/kartun itu ditujukan untuk anak-anak seperti Happy Tree Friends.
Seingat saya, terakhir kali saya membaca Le Petit Prince adalah di tahun 2018, pada saat itu saya juga menggambar ilustrasinya.
Sejak saya diberikan tugas untuk matkul Sastra Anak tahun 2017 dan membaca Le Petit Prince, saya langsung jatuh cinta dengan cerita yang disuguhkan Exupery. Sebagai seorang yang juga berzodiak cancer (sama seperti Exupery, haha), saya menangis ketika halaman sudah mau selesai dan habis. Rasanya saya gak bisa membiarkan ceritanya menggantung gitu aja. Pokoknya endingnya harus happy! Padahal, pada saat itu saya sudah cukup dewasa untuk menyadari gak semua cerita harus ketahuan seperti apa endingnya dan gak semua cerita harus berakhir bahagia. Tapi untuk satu ini, gak bisa pokoknya harus happy ending!
Beruntung, untuk memuaskan hasrat serakah dan egosentris ini, saya bisa memilih alternatif lain, yaitu menonton filmnya. Film yang sejauh ini paling apik untuk sebuah ekranisasi. Meskipun tentu saja kita semua tahu bahwa saat proses ekranisasi, akan ada bagian yang hilang dan bagian yang tiba-tiba saja muncul entah dari mana. Yang jelas, mau itu bukunya atau filmnya, keduanya sama-sama menakjubkan.
Entah, yang jelas saya merasa begitu ajaib waktu membaca cerita ini. Bukunya kelewat spiritual buat saya. Begini, satu malam di 2017, Upil dalam keadaan mabuk dan masih menggunakan kaos putih bertuliskan Moses berkata kepada saya soal sastra terjemahan. Upil bilang, kalau menerjemahkan buku itu gak cuma mengonversi bahasa asing ke bahasa tujuan, tapi kita juga harus mencari padanan yang sesuai dengan idiom atau peribahasa ke “budaya tujuan”.
Misal, di sebuah buku berbahasa asing kita menemukan sebuah idiom kill two birds with one stone, yang kalau kemudian kita terjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, tentu artinya menjadi membunuh dua burung dengan satu ketapel. Tapi, apakah itu cukup? agaknya sekali mendayung dua pulau terlewati lebih pas disejajarkan dengan idiom tadi, mengingat Indonesia memiliki latar belakang negara kepulauan dan perairan yang luas.
Tapi ketika saya membaca buku ini, meskipun saya tidak pernah berada di gurun pasir dan gak pernah terjatuh dari pesawat, tapi ketika membaca buku ini, saya betul-betul di bawa ke suasana itu, suasana yang rasanya dekat dengan kehidupan saya di masa lalu padahal saya gak pernah ada di sana.
Le Petit dan Aristoteles
Ada banyak analogi yang terlampau canggih untuk ditulis pada zamannya. Sebutlah, waktu Si Pangeran berjalan dan menemukan kebun mawar. Saya seperti diajak mengenang kisah Aristoteles disuruh jalan-jalan di kebun mawar itu. Iya, yang itu.
Pada scene ini, jujur jha saya nangys. Ya gimana engak? Kita juga barangkali masih sering lupa bahwa teman kita, sahabat, atau siapa pun lah itu memang sama dengan teman-teman yang lain. Yang membedakan, gak semua orang mau temenan sama kita, gak semua orang (masih) mau bertahan dengan kita bahkan di saat-saat terendah kita. Setiap teman atau pasangan yang kita miliki saat ini, yang masih bertahan sama kita dengan tulus tuh cuma satu-satunya. Gak semua orang mampu nerima kita. Oh, kitu, Lur?
Pohon Baobab dan Toxicities
Dikisahkan dalam Le Petit Prince bahwa setiap pagi, Si Pangeran harus membersihkan planetnya dan mencabut akar pohon baobab yang tumbuh setiap hari. Saking sering tumbuhnya, cuma itu lah pekerjaan Si Pangeran sepanjang hari di planetnya. Pohon baobab, di dalam buku ini disebutkan bahwa,
“Kalau dia tidak dicabut, akar dan pohonnya akan melubangi planet kita dan menghancurkannya.“
Betapa religi sosok Si Pangeran ini memang. Lihatlah bagaimana Exupery menggunakan analogi pohon baobab untuk kedengkian yang lama-lama menghancurkan hidup kita. No offense. Sebagai manusia, selalu ada perasaan-perasaan tidak nyaman, perasaan angkuh, perasaan tinggi dan merasa euweuh nu wani ka aing da aing mah boga sagala-gala!, atau perasaan-perasaan iri dan rendah diri yang bikin kita cuma julidin orang yang sama sekali gak ganggu kita, atau perasaan yeuh aing senior sia mah naon si karak ge budak kamari sore.
Ingat, temen-temen. Sekecil ah saha sih si eta mah lain sasaha itu bisa menyebabkan penyakit hati yang lain seperti aing atuh yeuh tingali, atau sia bisa naon sih?1 keburukan cuman akan menimbulkan keburukan-keburukan yang lain dan betapa menyusahkannya penyakit hati itu. Setiap hari kita harus memastikan dan membersihkan akar pohon baobab agar gak ngerusak suatu hari nanti. Uuuu~
Ada banyak hal dari Si Pangeran yang kiranya harus saya bagikan, tapi saya lebih menginginkan kalian membacanya sendiri. Saya punya bukunya kalau mau pinjam. Pokoknya, mau filmnya atau bukunya, keduanya sama-sama bagus. Terbaik kata saya mah. Gak cuma layak dibaca anak-anak, tapi orang dewasa sangat perlu membaca Le Petit Prince, untuk mengimbangi diri yang justru masih banyak kurangnya daripada anak-anak. Dari segi imajinasi, kecerdasan, mengenali diri dan belajar ngomong jujur, kayanya kita (sebagai orang yang lebih tua secara umur) sudah harus mulai belajar dari mereka yang lebih kudus. Dan mungkin, Le Petit Prince bisa jadi gerbangnya.
Le Petit Prince buat saya adalah buku yang mewakili semua orang, siapa pun yang merasa masa kecilnya berada di balik kedipan mata. Rasanya gak jauh, tapi gak dekat juga. Usut punya usut, buku yang magis ini ternyata ditulis oleh Exupery yang konon, kekanak-kanakan. Bahkan dalam artikel yang ditemukan di sini, beberapa atasan di tempat penerbangan sempat mengeluhkan perilaku Exupery yang disebut-sebut sebagai The Boys Who Never Grow Up sebab buat Exupery, kenangan masa kecil adalah anugerah sekaligus kutukan yang rasanya lebih menyengsarakan. Semakin diingat, semakin kita sadar bahwa hidup kita telah jauh dari masa-masa itu.
Yang terbaik yang bisa kita berikan saat ini adalah memastikan anak-anak di sekitar kita bahagia, biar mereka punya sesuatu untuk dikenang nantinya<3