
Sore: Istri dari Masa Depan bisa dibilang menjadi salah satu film Indonesia paling hangat di tahun 2025, itu pun karena demonstrasi tak boleh ditayangkan sebetulnya. Film ini berangkat dari adaptasi web series tahun 2017 karya Yandy Laurens yang dulu cukup populer di YouTube melalui brand Tropicana Slim. Delapan tahun kemudian, film ini naik kelas ke layar lebar dengan kualitas produksi yang lebih matang berkat sokongan dari Rumah Produksi Cerita Film.
Ceritanya berpusat pada Jonathan, seorang fotografer asal Indonesia yang sedang tinggal di Kroasia. Hidupnya berantakan, gak peduli kesehatan, dan cuek sama masa depan. Saya membayangkan betapa indahnya hidup menjadi Jonathan yang tak harus pusing dengan mahalnya biaya hidup di Indonesia. Buat saya, seorang WNI, cuek adalah bunuh diri.
Di tengah kehidupannya yang seperti itu, tiba-tiba muncullah Sore, seorang perempuan misterius yang mengaku sebagai istrinya dari masa depan. Kehadiran Sore bukan cuma gimik fiksi ilmiah atau hantu-hantuan, tapi semacam alarm hidup buat Jonathan supaya mulai sadar sama kebiasaan kecilnya yang kalau dibiarkan bisa ngerusak masa depan seperti menyukai video capres menangis waktu debat presiden 2024.
Jonathan tetap diperankan Dion Wiyoko yang cocok banget dengan karakter cowok polos tapi lovable. Sedangkan Sore, yang dulu dimainkan Tika Bravani, sekarang dihidupkan oleh Sheila Dara Aisha. Jujur aja, Sheila Dara berhasil banget bikin sosok Sore terasa hangat tapi tegas, kayak pasangan idaman yang gak cuma bisa bikin jatuh cinta tapi juga bisa bikin lo sadar diri. Chemistry mereka berdua natural banget, gak keliatan kayak acting, lebih kayak beneran pasangan yang lagi jalanin kisah aneh bin ajaib ini.
Ceritanya sendiri sebenernya simpel dan cenderung receh: cowok ketemu cewek misterius yang ngaku istri masa depan. Tapi cara Yandy Laurens ngeramu cerita bikin kesan receh itu jadi punya lapisan makna. Sore hadir bukan buat pamer kemampuan time travel, tapi lebih kayak simbol bahwa masa depan itu tergantung pilihan kecil hari ini. Dari cara makan, tidur, kerja, sampai cara lo memperlakukan orang lain, semua bakal berbekas di masa depan.
Pesan ini diselipin dengan halus lewat obrolan mereka berdua yang kadang ringan, kadang membosankan, kadang malah bikin ketawa dikit. Jadi meskipun temanya ngomongin waktu, hidup, dan takdir, penyampaiannya tetap relatable. Bikin penonton ngerasa,
“Eh iya ya, gue juga sering kayak gitu.”
Nah, yang bikin film ini makin enak ditonton adalah visualnya. Gila! Yandy kayak lagi pamer album postcard dunia. Syuting di Kroasia, Jakarta, sama Finlandia bikin tiap adegan terasa kayak lukisan hidup. Mau ikut~
Lo bakal disuguhi senja yang indah, kota tua Eropa yang romantis, sampai aurora yang jarang banget bisa dilihat, apalagi di zaman mendekati kiamat seperti sekarang enih~ Warna-warna hangat dipadu sama sinematografi yang rapi bikin mata betah nonton dari awal sampai akhir. Ah iya! Jangan lupa soal musik. Film ini kayak pesta kecil buat kuping. Ada Adhitia Sofyan dengan lagu-lagu melow yang bikin hati meleleh, ada Barasuara dengan energi khasnya, sampai SO7 yang jadi nostalgia sekaligus bikin suasana makin kena. Musiknya beneran jadi bagian dari cerita. Kadang malah terasa kayak tiap adegan punya playlist khusus yang bikin pesan emosinya lebih nempel.
Yang paling asik dari film ini adalah keberaniannya untuk nggak jatuh ke jebakan film romantis kebanyakan. Biasanya film cinta tuh penuh drama (yang menurut gue) lebay: ada selingkuh, nangis, berantem gak jelas. Sore: Istri dari Masa Depan justru main di level sehari-hari. Percakapan kecil tentang kesehatan, sehat mana Indomi sama Lemonilo, atau sponge cuci piring bagusnya ganti berapa bulan sekali. Di situlah film ini terasa jujur. Lo bisa aja nonton sambil mikir,
“Eh ini kayak gue banget deh.”
Salah satu adegan yang menurut gue paling manis sekaligus nyentuh adalah ketika Sore nanya ke Jonathan,
“Tahu enggak kenapa senja itu menyenangkan? Kadang ia merah merekah bahagia, kadang ia hitam gelap berduka. Tapi langit selalu menerima senja apa adanya. Kita nggak akan berubah hanya karena kita takut kan? Tapi karena kita dicintai.”
Pertanyaan yang kelihatannya receh tapi ternyata dalam banget, karena di situ keliatan gimana film ini mainnya di obrolan sederhana yang bikin kita berhenti sejenak dan mikir. Jonathan yang biasanya cuek awalnya bingung jawab, sampai akhirnya dia nyeletuk,
“Emang aku segombal itu ya ngomongin Senja?”
Sore senyum tipis lalu balik nanya, “Tadi kamu nungguin aku?”
Jonathan nyengir sambil jawab, “Gak juga sih.”
Sore pun jujur, “Aku gak tau mau ke mana lagi.”
Lalu Jonathan dengan nada tulus bilang, “Makasih ya udah nungguin aku.”
Dari percakapan ringan itu, justru muncul makna dalam bahwa kadang hal-hal kecil kayak nungguin seseorang atau sekadar ngobrol tentang senja bisa jadi pengingat betapa pentingnya kebersamaan dan rasa dicintai dalam hidup, dan menurut gue, itu nilai plusnya. Film ini berhasil jadi tamparan ringan buat penontonnya. Gak cuma terhibur sama pemandangan cantik atau senyum manis Sheila Dara, tapi juga pulang dengan pertanyaan kecil di kepala:
“Gue udah bener belum sih jalanin hidup sekarang? Kalau masa depan gue ketemu versi istri dari masa depan kayak Jonathan, kira-kira dia bakal ngomel panjang atau malah nyengir lega?”
Yang sialnya, pertanyaan itu masih muncul di kepala gue sampai sekarang. Woy tolong ini masih overthinking 🙁
Tapi, mungkinkah RI1 akan kedatangan Sore-nya? Entahlah.