Membicarakan buku ini, akan sulit jika tidak membicarakan diri sendiri. Karena itu aku harus meminta maaf lebih dulu jika tulisan ini nanti tak akan seperti ulasan buku pada umumnya.
Aku hanya akan menulis sesuatu yang sepadan dengan jawaban seseorang pas ditanya “apa kabar 2022 ini?” dengan mulut bau alkohol.
Saat proses kurasi puisi-puisi dalam As Blue As You, aku sering berpikir, betapa mahal harga yang harus dibayar seorang seniman untuk karyanya. Maksudnya bukan ongkos produksi cetak buku atau semisalnya. Tapi ongkos “proses kreatif” yang harus ia tempuh demi mewujudkan karyanya. Sebutlah seperti usaha seorang nelayan memungut mutiara dari perut laut yang gelap dan berbahaya.
Hanya itu yang kubayangkan saat membaca karya-karya Arini. Sejujurnya aku nggak sanggup menambahkan yang lain. Tapi tulisan ini harus lebih panjang lagi kan? Baiklah redaktur keparat. Kalian yang minta, jadi jangan hentikan racauan orang mabuk ini.
***
Berapa lama yang kita perlukan untuk mengerti bahwa hidup itu seperti berada di tengah laut. Kita naik sebuah kapal yang masih kita rakit sendiri. Bayangkan, betapa merepotkannya. Naik kapal yang masih kita rakit sendiri. Bahkan mengatakannya saja sudah terasa seperti scene-scene film sureal.
“…cause you are the ocean I drown my self into…” kisah aku-lirik dengan sisa-sisa tenaganya. Separuh takjub, separuh menyerah. Antara keinginan untuk tenggelam, dan harapan untuk terus menetap di atas kapal kecil (daya hidup kita), dengan sedikit alat dan sisa nyali.
Dalam hidup ini kita tidak sungguh-sungguh diombang-ambingkan kehidupan di luar diri kita; oleh naik-turun ekonomi ala pasar bebas atau carut marut politik oligarki PDI.
Ya betul, semua itu terjadi dan mempengaruhi kehidupan sehari-hari kita, tapi itu semua terjadi jauh di luar diri kita. Penting, sih, tapi tidak signifikan.
Toh tidak ada yang bunuh diri hanya karena Puan Maharani nyapres kan?
Laut atau hutan yang dibicarakan Arini dalam beberapa bagian pada buku barunya “As Blue as You” adalah alam semesta yang bergolak dalam diri. Pada malam-malam berhantu, saat semua bayang-bayang jelek dari masa silam dan ketakutan dari hari depan bertumbuk dan beraduk di mata insomnia kita menjelma amuk badai.
Setiap bunyi yang merangkak dari kosong malam, dari basah trauma, dari luka masa kecil, yang sayup-sayup menangis, dari kejauhan datang meminjam mulut kita sendiri. Lalu berteriak!
Tepat sejengkal di bawah kuping kita sendiri.
tapi malam itu, pintu terbuka
dan badai memusar laut
juga bunyi keran yang bikin takut
Tulis Arini mengeja rasa takutnya sendiri. Dalam tangkapanku, itulah yang terus bergema dalam puisi-puisi Arini. Berulang, nyaris konstan, seperti bunyi laut tenang yang membikin takjub sekaligus bergidik ngeri.
Aku pikir hal semacam trauma, rasa takut, dan kesedihan itu masalah semua orang. Yang berbeda adalah cara orang mengunyah semua pengalaman itu. Dengan mengejanya, memahami cara kerjanya, dan mengolah semua itu menjadi sesuatu yang lain. Yang indah, yang berarti, apa pun.
Mungkin dengan menulis puisi, Arini menemukan cara baru mendayung hidupnya. Paling tidak, itulah yang kulihat sebagai teman dekatnya. Aku harap berapa pun harga yang ia bayar untuk karya seninya bakal sepadan.
“Sepadan” atau worth it, kita tahu, adalah kata yang sering absen dari mulut kita belakangan ini.