Membaca Anarkisme di Indonesia

Akhir-akhir ini negara rasanya selalu cari gara-gara. Lihat aja kemarin, kelompok anarko ditangkap dengan barang bukti salah satunya buku. Kadang gue ngerasa aneh, kadang juga ya biasa aja emang gitu kan di Indonesia, buku bisa lebih ditakuti ketimbang koruptor.

Ironisnya, di tengah rendahnya literasi, buku malah dicap sebagai barang bukti kejahatan. Jujur, gue khawatir masyarakat jadi makin takut membaca. Jadi, gue tulis aja overthinking ini siapa tahu ada yang baca. Kalau pun nggak ada, setidaknya gue udah berbagi cerita lewat tulisan ini.

Nah, ngomongin “anarkis” kebanyakan orang langsung ngebayangin rusuh, lempar batu ataupun bakar ban. Stigma yang udah telanjur nempel itu susah banget dilepasin seperti stigma Upin dan Ipin. Padahal setelah baca buku Anarkisme, Perjalanan Sebuah Gerakan Perlawanan – Sean M. Sheehan dan Blok Pembangkang: Gerakan Anarkis di Indonesia 1999–2011 – Ferdhi F. Putra, gue malah dapet perspektif yang jauh berbeda. Anarkisme ternyata bukan sekadar aksi liar tanpa arah, tapi satu cara hidup gerakan moral, politik, sekaligus sosial yang bertolak dari nurani dan kebebasan mutlak. Kalau Anarkisme lebih fokus menjelaskan filosofi dasar bahwa manusia bisa hidup tanpa rantai kuasa negara dan kapitalisme, Blok Pembangkang justru nunjukin gimana ide-ide itu sempat berakar di tanah air pas reformasi pecah. Jadi, kalau kata orang, ini bukan sekadar teori impor beras yang kalau tidak ada berasnya tinggal impor aja sih, tapi juga punya jejak lokal yang nggak bisa dipandang remeh.

Yang bikin Blok Pembangkang menarik adalah kisahnya tentang masa senjakala, pada suatu hari, di jaman baheula, Orde Baru. Ketika PRD (Partai Republik Demokratis) muncul sebagai wadah prodemokrasi, kelompok-kelompok anarkis sempat nimbrung, tapi nggak bertahan lama. Kenapa? Karena anarkis itu anti banget sama orientasi kekuasaan. Buat mereka, begitu ada ambisi berkuasa, maka lahirlah dominasi dan manipulasi. PRD yang partai politik jelas nggak bisa nyatu dengan nilai-nilai itu. Alhasil, kelompok anarkis lebih milih bikin afinitas sendiri, nongol di momen-momen kritis, terus hilang lagi, kayak api kecil yang sesekali nyembul.

Ini nunjukin satu hal penting: anarkisme di Indonesia itu ibarat benih bandel yang gak gampang mati, selalu bisa tumbuh, meski tanahnya keras sekalipun.

Kalau dibaca barengan, Anarkisme ngasih fondasi teoritis, sedangkan Blok Pembangkang ngasih wajah praksisnya di Indonesia. Yang satu ngomong soal “kenapa negara itu sebenernya licik,” yang lain nunjukin “nih, di Indonesia juga terbukti.” Dan lucunya, meski anarkisme sering dicap chaos, buku-buku ini justru nunjukin kalau anarkisme lebih konsisten soal moral ketimbang banyak partai politik. Mereka bukan ngejar kursi, bukan ngejar proyek, tapi ngejar kebebasan yang bener-bener bebas. Nggak heran kalau banyak generasi muda, terutama pasca-1998, merasa anarkisme lebih jujur daripada jargon reformasi yang akhirnya juga dibajak elit.

Buat gue pribadi, kombinasi dua buku ini bikin kita bisa ngaca lebih jernih. Misalnya, pas baca Anarkisme, gue jadi paham kalau bertahan hidup sendirian itu ada susahnya ada senang juga sih, bahwa solidaritas warga, mutual aid, atau koperasi seperti Nyimpang bentuk, itu bagian dari praktik anarkis kecil-kecilan yang udah sering kita lihat. Terus pas ketemu sama buku Blok Pembangkang, gue sadar, oh iya, pola kayak gitu juga udah pernah ada di Indonesia, walaupun sering dihapus dari catatan resmi. Media lebih suka framing aksi-aksi itu sebagai “anarkis perusuh,” padahal yang dirusak justru struktur kuasa yang memang udah busuk dari awal.

Dan yang bikin makin relevan, dua buku ini kayak ngingetin kalau anarkisme itu bukan barang mati. Di era sekarang, ketika banyak orang jenuh sama janji-janji kosong elit, anarkisme bisa balik jadi opsi. Bukan dalam bentuk bakar ban di jalan, tapi sebagai energi untuk bikin ruang alternatif: ruang belajar mandiri, komunitas berbagi pangan, seni perlawanan, sampai aksi kolektif yang ngasih kita rasa berdaya tanpa nunggu izin pejabat.

Blok Pembangkang udah nunjukin bahwa di Indonesia, anarkisme selalu bisa bersemi, sementara Anarkisme ngasih alasan kenapa ia tetap relevan secara global.

Jadi, kalau lo pikir “anarkis itu perusuh,” dua buku ini bakal bikin lo mikir ulang. Anarkis itu orang-orang yang nggak sudi jadi pion di papan catur penguasa. Mereka bisa jatuh-bangun, digerus stigma, tapi tetap ada, tetap nyala. Dari sini, gue jadi makin yakin: kadang yang dituduh paling berbahaya justru yang punya niat paling tulus buat bikin dunia lebih adil.

Anarkisme bukan soal chaos, tapi soal reset tombol hidup, biar kita nggak terus-terusan jadi korban sistem yang udah basi.

Author

  • Fahrullah

    Penulis lepas, penjaga lapak Perpusjal Baca Kami, street & model photographer.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You might also like