Karier kesiswaan saya semasa SMA sungguh berliku dan penuh warna, juga naik-turun ibarat roller coaster. Oh ya, saya sekolah di SMA pada era 90an, tepatnya antara tahun 1995 hingga 1998. Awal masuk di kelas 1 saya tergolong sebagai murid yang culun, ndak banyak ulah. Di mata beberapa teman, saya bahkan terlihat plonga-plongo sehingga tidak terlalu terasa ‘kehadiran’nya.
Maka mereka cukup terkejut ketika saya memproklamirkan kehadiran saya melalui nilai ulangan Bahasa Inggris yang sempurna. Dari situ saya mulai bertransformasi. Mulai terlibat aktif dalam lingkar pertemanan di kelas, dan tentu saja mulai banyak tingkah, hehe … Namun secara umum kelas 1 saya lalui dengan predikat sebagai anak yang ‘baik-baik’ saja. Nilai rapor aman terkendali, selalu berada di 3 besar, dan ini bukanlah pengakuan sepihak untuk menyembunyikan belang saya.
Nah berbicara tentang belang, baru terlihat ketika naik ke kelas 2. Dengan personel yang sama persis dengan di kelas 1, membuat lingkar pertemanan kami semakin akrab. Mereka yang suka bermusik ya gaulnya dengan sesama pemusik. Mereka yang terobsesi untuk menjadi anak baik-baik ya kumpul dengan yang baik-baik. Sedangkan saya serba gak jelas. Tidak terobsesi terhadap prestasi, zonder keahlian di bidang bakat & minat, dan bahkan cita-cita pun belum sempat terpikirkan. Akhirnya ya mendirikan geng yang gak jelas juga, di mana satu-satunya kejelasan gengnya hanyalah kegemaran mangkir dari jam pelajaran.
Apesnya, justru geng gak jelas ini yang auranya paling menonjol di kelas kami. Andai saja guru BK cukup selo untuk merilis daftar kelas paling ngaco, saya yakin kelas kami akan masuk peringkat 2 besar. Beberapa ‘prestasi’ yang berhasil kami ukir ketika itu diantaranya: berhasil membuat guru PKL menangis di kelas, sukses membuat beberapa guru mapel beralih profesi menjadi penagih hutang LKS, dan yang agak fenomenal adalah mencatatkan rekor 14 siswa bolos di hari yang sama. Mengenai perbolosan ini, sampeyan bisa baca di tulisan sebelumnya di sini!
Namun seacak-adutnya saya di kelas 2 (dengan nilai rapor yang medioker banget), ketika naik ke kelas 3 kok ya masih masuk daftar prioritas untuk masuk kelas IPA, lho. Saya masih dipandang punya potensi untuk berprestasi di bidang akademik. Padahal berani sumpah demi kerang ajaib pujaan Spongebob dan Patrick, saya sungguh alergi dengan yang namanya rumus dan angka. Setiap habis ulangan Matematika, Fisika, dan Kimia, kepala langsung overheat, perutpun ikutan melilit (ancene belum sarapan).
Maka ketika harus menentukan penjurusan di kelas 3 saya mantap memilih IPS. Ini membuat saya dipanggil oleh guru BK untuk dipersuasi agar memilih kelas IPA. Alasannya karena adanya stigma negatif bahwa anak-anak IPS itu pasti ngaco dan sulit diatur, dengan gelar yang cukup menggetarkan: Kelas Sarang Penyamun. Waktu itu saya mbatin: “Lho.. bukannya itu circle gue banget, hahaha … ” Tapi ya cukup di batin saja, tidak sampai terucap keluar dari kerongkongan.
Singkat cerita, bujukan guru BK maupun Wali Kelas 2 tidak mempan. Dan baru juga di bulan pertama berstatus anak IPS, segala stigma negatif telah terbukti kebenarannya. Ini tidak bermaksud untuk mendiskreditkan teman-teman sekelas lho, ya. Lha wong pada awalnya saya mempunyai cita-cita luhur untuk turut melanggengkan citra buruk tersebut kok. Ups.. pangapunten ingkang agung nggih Pak dan Bu Guru … sungkem wolak-walik.
Namun ada satu peristiwa yang saya (berlagak) lupa detailnya, yang menjadi turning point. Intinya Bu Guru BK ketika itu menggelitik deep inside my heart untuk berupaya menghapus stigma buruk anak IPS sebagai kelas sarang penyamun. Beliau berhasil menemukan tombol pacu dalam diri saya untuk mengejar prestasi, sekaligus memberi bukti bahwa kelas IPS tidaklah seburuk itu.
Apakah selesai sampai di sini? Begitu tercerahkan langsung bisa berprestasi begitu? Ya ndak lah … tidak semudah itu, Tuan Crab. Kisah sebenarnya tidak segampang cerita-cerita teenlit atau film kartun di Bikini Bottom. Butuh pergulatan sepanjang tahun untuk bekerja, eh belajar keras. Butuh 2 semester penuh perjuangan untuk tampil sebagai anak baik-baik. Dan terutama yang paling berat, butuh tekad ekstra kuat selama 365 hari untuk menampik godaan tempat wisata Balekambang, Karangkates, Payung, dll (ngerti kan maksudku?). Intinya, Kota Roma tidak dibangun dalam semalam, Om.
Semester pertama di kelas 3 berhasil terlampaui dengan cukup baik. Urusan akademik berhasil kembali ke khittah di kisaran 3 besar. Beberapa lomba di bidang Bahasa Inggris juga sempat tersabet. Dan yang lebih asyik, di kelas IPS inilah saya berhasil menemukan passion menulis. Beberapa puisi saya berhasil naik tayang di koran lokal Malang. Ketika itu gayaku sudah macam Chairil Anwar ae je.
Beranjak ke semester 2, tantangan yang sebenarnya telah menanti. Ada ajang pembuktian bagi misi besar kami untuk tidak lagi menjadi kelas sarang penyamun. Ajang tersebut bernama EBTANAS. Bagi generasi yang mengalami ujian nasional tersebut pasti merasakan betapa stressnya menghadapi ujian akhir. Segala proses pembelajaran sejak kelas 1 seperti menemukan titik kulminasi di ajang ini. Bagi siswa pada umumnya, EBTANAS adalah penentuan antara lulus dan tidak lulus. Namun bagi saya pribadi, ini adalah pembuktian to be or not to be (penyamun).
Dan perjalanan menuju ujian akhir sungguh tidak mudah. Sekira 5 minggu minggu menjelang EBTANAS, Bapak asuh saya seda. Hingga saya harus menjalani hari pertama ujian setelah begadang untuk tahlil 40 harinya Bapak. Namun Puji Gusti, semua berhasil terlampaui. Pengumuman hasil ujian menampilkan nama yang hanya terdiri dari 4 huruf di urutan paling atas, lintas jurusan. Jelas itu nama saya, lain tidak. Dan ternyata tidak hanya di lingkup sekolah, capaian NEM saya masuk 10 besar tingkat kota. Mission accomplished, mitos kelas sarang penyamun (untuk sementara) telah patah.