Dalam labirin hubungan manusia, pola cinta menjadi peta yang mengarahkan perjalanan emosional kita.
Anjai kata gua tèh, baru aja pembukaan. Wkwk.
Secara sederhana, pola cinta adalah serangkaian kebiasaan, tindakan, dan sikap yang menandai cara seseorang mengekspresikan dan menerima cinta dalam sebuah hubungan. Ini mencakup cara kita berkomunikasi, memberikan dukungan, menunjukkan perhatian, dan memperlakukan orang yang kita cintai baik keluarga, teman sampai pasangan. Pola cinta juga akan mencerminkan bagaimana kita menerima cinta dari orang lain.
Dari tiap jenjang pendidikan aku menjalin hubungan yang berbeda, orang yang beda dan cara yang berbeda pula. Aku menyadari bahwa beberapa pola cinta berkembang secara alami dari pengalaman masa lalu atau pengaruh budaya dan lingkungan, sementara yang lain berkembang sebagai respons terhadap kebutuhan dan keinginan dalam hubungan yang sedang dijalani.
Pola cinta yang sama-sama aku terapkan waktu di jenjang SMP dan SMA yaitu bertukar kabar setiap hari. Setiap hari. Pola cinta ini memang umum sekali, alih-alih membangun komunikasi dan perhatian terhadap pasangan, yang aku dapat malah perasaan kecanduan. Ketika hubungan dibangun dengan pola cinta tersebut maka sehari saja tidak bertukar kabar, pasti rasanya sebagian cinta ada yang hilang atau ada yang tidak baik-baik saja.
Namun tentu ini hanya satu contoh saja, sebab pola cinta bisa sangat bervariasi dari satu hubungan ke hubungan lainnya. Menurutku setiap pasangan memiliki dinamika yang unik. Jangankan dalam hubungan dengan doi, hubungan kekeluargaan juga memiliki pola cinta yang berbeda. Seperti orang tua dengan anaknya.
Perlakuan ibu kepada kakak dan ibu kepada adik pun cenderung memiliki pola cinta yang berbeda. Mungkin saja bentuk dan porsinya sama tapi pola atau cara yang pasti akan membedakannya.
Rasanya aku sudah muak sekali dengan pola cinta yang terlalu sering basa-basi. Bertukar kabar setiap hari malah membentuk hubungan yang tergantung pada komunikasi harian untuk merasa aman atau dicintai. Menurutku, hal ini dapat menciptakan ketidakseimbangan dan tekanan yang berlebihan dalam hubungan.
Ada satu lagi pola cinta gak masuk akal yang beberapa kali diterapkan. Haram bilang “iya” yaampunnnn, rasanya memang dingin sekali jika kekasih hanya bilang iya, afdol-nya “iya sayang” atau ya ada embel-embel cinta dibelakangnya. Kalau sekarang mah rasanya biasa aja, ya minimal dua harakat menjadi “iyaa” begitu saja sudah cukup untuk merasa dicintai.
Semakin aku dewasa, pola cinta yang diterapkan juga semakin halus dan kompleks. Meskipun pola cinta yang tipis-tipis gemesin ini mungkin terlihat sederhana, rasanya seringkali sangat berharga dan dapat memperkaya hubungan dengan kebahagiaan dan kepuasan yang lebih besar. Hal ini juga menunjukkan bahwa kecil bukan berarti tidak berarti, dan tindakan-tindakan kecil dapat memiliki dampak yang besar dalam memperkuat dan memelihara hubungan yang sehat dan bahagia.
Buatku perihal bertukar kabar setiap hari apalagi sistem 24/7, pola cinta genZ pada umumnya (wkwk nyalahin genZ) tapi itu termasuk pembuktian yang terlalu besar atau bahkan berlebihan untuk aku yang ingin membangun hubungan kiyowo versiku. Gini deh, dalam seminggu piraku euweuh kabar pisan mah atau dalam sebulan ya masa iya gak ada hari ketemu sama sekali. (Barisan anti LDR garis keras:v)
Pertanyaan datang dari pembaca yang di pojok sana, katanya “apakah pola cinta itu harus ada?” bukan harus tapi menurutku pasti ada (disadari maupun tidak). Maka ini perlu dicatat, bahwa setiap hubungan adalah unik dan dinamis, dan pola cinta dalam hubungan tidak harus mengikuti resep yang sama untuk semua orang. Beberapa pasangan mungkin menemukan kepuasan dan keseimbangan dalam hubungan mereka tanpa harus mengikuti pola cinta yang konvensional (udah kayak bank?). Yang terpenting adalah hubungan tersebut memenuhi kebutuhan dan keinginan masing-masing, dan kedua belah pihak merasa bahagia dan terhubung satu sama lain.
Hal yang membuat miris dan menjadi persoalan terkait pola cinta adalah ketika pola-pola cinta tersebut menjadi tidak sehat atau toxic. Beberapa masalah yang dapat timbul termasuk:
1. Ketergantungan Emosional:
Ketergantungan yang berlebihan pada pasangan dapat menghambat kemandirian dan pertumbuhan pribadi. Ini bisa membuat seseorang merasa terjebak dalam hubungan yang tidak sehat dan sulit untuk meninggalkannya.
2. Manipulasi dan Pengendalian:
Pola cinta yang melibatkan manipulasi emosional, pemaksaan kehendak, atau pengendalian atas pasangan sering kali menciptakan hilangnya kepercayaan dan harga diri, serta membuat seseorang merasa terjebak dalam situasi yang merugikan.
3. Ketidaksetaraan:
Ketidaksetaraan dalam hubungan, baik dalam hal kekuasaan, keputusan, atau pengorbanan, dapat menyebabkan ketegangan dan konflik yang berkelanjutan. Hal ini bisa merugikan salah satu atau kedua belah pihak dalam jangka panjang.
4. Kekerasan dan Penyalahgunaan:
Pola cinta yang mencakup kekerasan fisik, kekerasan emosional, atau kekerasan seksual merupakan bentuk yang paling ekstrim dari hubungan yang beracun. Ini adalah situasi yang sangat merugikan dan berbahaya bagi semua pihak yang terlibat.
5. Ketakutan akan Kehilangan Identitas:
Terlalu terikat pada pola cinta tertentu dapat membuat seseorang kehilangan identitasnya sendiri dalam hubungan. Ini bisa menghambat pertumbuhan pribadi dan merugikan kesejahteraan mental dan emosional seseorang.
Hubungan yang merusak seringkali berkembang secara perlahan dari pola cinta yang mungkin awalnya tidak terlihat berbahaya. Namun, seiring waktu, pola-pola ini dapat memperkuat diri sendiri dan menyebabkan hubungan menjadi semakin merugikan dan tidak sehat.
Setiap orang memiliki cara masing-masing untuk memberi dan menerima cinta. Bukan hal yang mudah untuk mengomunikasikan pola cinta, tapi kita semua bisa memilih cara yang membuat kita nyaman.