Seorang teman tiba-tiba bertanya di sebuah pesan Whatsapp. Kalimatnya kurang lebih seperti
“Kenapa kok jilbabnya dililit di leher? Apa nggak nyeplak BH-mu? Ciput murah, mbaak..”
Kurang lebih begitu lah, sampai-sampai saya pernah mengubah model jilbab agar tidak dikomentari terus apalagi yang dikomentari malah sesuatu yang sepele dan bukan urusan orang lain juga.
“Nah, kan enak dilihatnya jadi lebih anggun dan aura muslimahnya terlihat.”
Kenyataannya, boro-boro anggun, suara saya masih kencang saat tertawa, raut wajah saya masih jauh dari kata “ramah dan menyejukkan” alias masih terlihat datar dan nggak ada gairah hidup, tidak jarang saya pulang larut malam karena sibuk berkegiatan komunitas.
Cerita yang lain, dari salah satu teman bernama Wangi, ia berprofesi sebagai guru di SMA negeri, model kerudungnya hampir sama seperti saya, bedanya, ia jadi sasaran empuk buat jadi bahan julid rekan kerja. Katanya, dengan gaya berkerudung seperti itu malah akan mengundang nafsu para siswa. Padahal Wangi merasa bajunya tergolong sopan dan tidak ketat. Kalaupun ada yang nggak beres dengan penampilannya, ia tahu mana yang mesti dirapihkan. Apalagi kontribusinya dalam dunia pendidikan amat patut diacungi jempol. Alih-alih mengapresiasi, orang-orang malah fokus pada apa yang ia pakai.
Mungkin, orang-orang julid itu tadinya berniat untuk mengingatkan apalagi kalau sampai bawa-bawa dalil dan fafifu sejarah perintah menutup aurat, wah, pasti jiwa ukhuwah islamiyah-nya sangat kuat. Itu sih asumsiku.. ya semoga aslinya begitu.
Pengalaman saya sebagai perempuan yang berjilbab sejak berusia sepuluh tahun, awalnya ibu dan bapak tidak serta merta menyuruh langsung menutupi sampai dada karena saat itu anak- anak sekolah dasar dibebaskan untuk memilih mengenakan baju panjang dan jilbab atau baju pendek tanpa jilbab. Tentu saja, sebagai korban sinetron Bidadari yang menampilkan anak sekolah dengan rok pendek, saya memilih memamerkan rambut seperti Lala dengan rok selutut. Kalau tidak salah saat itu pemerintahan masih di bawah kepresidenan Ibu Megawati.
Lalu pada saat saya beranjak kelas tujuh, aturan berpakaian menjadi ketat, anak-anak SD diwajibkan memakai baju seragam panjang. Bahkan, sampai ada kasus siswi kristiani yang dipaksa untuk berseragam mengikuti mayoritas.
Saya pikir, sedari kecil otoritas tubuh perempuan sudah dituntut untuk sesuai dengan ekspektasi masyarakat tentang bagaimana nilai “perempuan baik-baik” atau bagaimana seharusnya “perempuan baik-baik” bersikap dan berpakaian. Singkatnya, saat itu lah identitas gender perempuan dikendalikan.
Sejak saya lahir, warna pakaian dan peralatan lain diatur sedemikian rupa berwarna pink agar terlihat lebih anggun dan lebih “perempuan”, lalu saat berusia kanak-kanak, saya melihat teman perempuan dimarahi karena merengek minta dibelikan robot mainan, katanya itu mainan untuk anak laki-laki. Dan kini ketika saya berusia dewasa, isu perempuan menjadi lebih kompleks terlihat karena benar-benar saya alami. Salah satunya soal otoritas tubuh perempuan.
Jilbab, mestinya tidak menjadi standar tunggal keimanan seseorang apalagi menjadi tolak ukur moral perempuan. Di belahan dunia lain, para muslimah berjilbab dengan beragam gaya sesuai dengan perkembangan zaman. Indonesia contohnya, para muslimah mengenakan gaya selendang yang hanya menutupi kepala. Pemakaian jilbab untuk pertama kalinya dipakai oleh bangsawan dari Makassar dan Sulawesi Selatan pada abad ke-17. Lalu diadopsi oleh organisasi perempuan islam salah satunya Aisyiyah.
Di belahan lain, sebutan untuk penutup kepala/kerudung pun beragam. Di brunei misalnya, hijab disebut sebagai Dupatta, Iran dengan chador, dan Afrika dengan turbannya yang khas, dan semua muslimah punya power dalam menunjukkan potensinya tanpa harus melihat model jilbab apa yang ia kenakan.
Sebab perempuan, dengan atau tanpa menggunakan jilbab tidak akan berubah nilainya sebagai hamba yang taat. Selembar kain tidak serta menjadi penghakiman atas keimanan seseorang. Jilbab muslimah indonesia adalah perjalanan panjang atas perjuangan para pahlawan perempuan dari ratusan tahun silam untuk merebut tafsir jilbab itu sendiri.