Setelah sekian lama kamu melupa, akhirnya malam ini memberi jumpa. Namun rasanya sungguh tak biasa, seolah kamu hanyalah sebuah asa. Alih-alih mengobati rindu, kamu justru mengakhiri temu.
“Aku mau kita putus.” Ucapmu dengan tenang.
Sekian detik kemudian jantungku berdetak kencang, tawaku terdengar sumbang. Dengan raut wajah yang kubuat sebiasa mungkin, aku berkata “Apa sih Rey, bercanda kamu garing”. Namun, lagi-lagi kamu berucap “Vi, aku mau kita putus”.
Tak kuasa untuk ku tahan lagi, air mata kini luruh membasahi pipi. Dengan segenap kepedihan hati, ku tinggalkan kamu di sudut cafe ini. Tanpa sepatah kata, ini akhirnya kita.
Aku Olivia, mahasiswi semester akhir jurusan akuntansi di salah satu perguruan tinggi swasta di kota serang. Dikenal dengan paras yang indah, serta senyum yang ramah. Aku gemar bernyanyi dan menari. Sangat menyukai coklat dingin serta bolu dengan lapisan krim tiramisu di atasnya.
Beberapa waktu lalu aku mengalami kejadian yang menghilangkan sebagian dari kewarasan jiwaku. Kejadian di seperkian detik itu melenyapkanku dalam waktu yang lama. Namun sampai saat ini, aku harus terus menampakkan diri pada dunia bahwa semua baik-baik saja. Lukaku, dukaku, hanya milikku.
“Bagaimana keadaanmu sekarang?” Tanya Kiya dengan raut wajah yang sedikit khawatir. Dengan senyum yang merekah, kubalas “Aku baik-baik saja, bahkan selalu dalam keadaan baik.”
“Cih, selalu saja sok kuat. Lihat kantung mata mu itu, serupa dengan mata panda.” Balas Kiya sengit namun tak ku jawab lagi, hanya tersenyum tipis untuk menanggapi.
Suasana kelas tampak sepi pagi ini, seakan paham dengan keinginanku untuk menyendiri setelah kamu pergi. Yang mana tak dapat kupungkiri, hilang mu menyayat hati, menyisakan luka yang tak mampu kuobati, sendiri.
Kali kesekian mentari lagi-lagi enggan memberikan kehangatannya, membiarkan udara menyeruak masuk menusuk kulit pucat ini. Terbaring tak berdaya dan mungkin aku memang terpedaya oleh keadaan. Masih saja lemas, masih saja cemas.
Cemas akan segala hal yang sampai detik ini belum mampu untuk aku terima. Keterikatan sebelumnya dalam sekian detik seketika sirna. Sudah bulan ketiga sejak kamu beranjak, tapi aku masih sering saja terisak. Kepingan-kepingan memori tentang aku dan kamu dulu terus memenuhi pikiran, seakan semua tak pantas untuk dijadikan sebagai kenangan.
“Vi, tidak kah kamu lelah dengan semua ini?” Kali kesekian Kiya bertanya padaku. Aku tak tau sampai kapan ia akan terus mengatakan hal itu, yang pasti sampai detik ini aku masih enggan untuk membalas perkataannya. Bukan karena malas, bukan karena tak perlu di balas, bukan pula karena Kiya tak pantas tau tentang semua ini. Keadaannya sekarang adalah aku pun merasa bingung tentang kapan ini akan berakhir.
“Kiya, boleh bantu aku untuk ijin kepada dospem nanti?” Tanyaku pada kiya dengan nada yang sedikit manja.
“Loh, kenapa ijin? kamu mau kemana? ga usah aneh-aneh ya.” Balasnya dengan sedikit bingung.
“Engga aneh-aneh kok, aku cuma mau meringankan sedikit beban pikiran saat sore nanti. Ku dengar dari teman-teman sekelas, senja dari atas bukit tampak indah dan menawan, jadi aku penasaran.” Balasku lagi dengan ekspresi yang dapat meyakinkan Kiya bahwa aku tidak akan melakukan hal-hal yang dianggapnya aneh. Dengan enggan kiya membalas ucapan ku “Yaudah deh, tapi kamu hati-hati ya, jalan di bukit itu sedikit terjal. Ponsel mu harus dalam mode dering serta volume yang keras. Kalau ada apa-apa langsung hubungi aku.”
“Oke bos, ponselku sudah dalam mode dering dan bervolume keras. Terimakasih kiya.” Dengan senang hati ku peluk tubuh mungilnya.
Kini waktu menunjukan pukul 14:45 WIB, dan aku segera bersiap untuk menuju bukit pendakian. Tak banyak barang yang kubawa, hanya sebotol minum dan telepon genggam di kedua tanganku. Setelah merasa siap, aku pun berangkat menuju bukit itu. Dengan menempuh jarak sekitar 3 KM dari kamar kost-ku, akhirnya aku tiba.
Suasana di kaki bukit sangat menyejukkan, walau mentari di atas sana teriknya tak terelakkan. Pohon-pohon rindang bak payung yang disediakan langsung oleh alam. Ilalang menari kesana kemari karena diterpa hembusan angin. Kicauan burung seakan menjadi alunan musik tanpa melodi yang mengisi kesunyian sore ini, sangat memanjakan. Tak mau berlama-lama lagi, aku pun memulai pendakian, sendirian.
hufft
Helaan nafas keluar begitu saja dari kedua bibirku ini, “Capek banget, mana baru separuh jalan.” Batinku sambil membersihkan keringat yang mungucur di dahiku.
“Hai, ternyata aku ga sendiri kesini. Di bawah sepi banget.” Ucap seorang pria yang tak kuketahui identitasnya. Dengan sedikit keterkejutan, aku pun membalas ucapannya dengan malas “Oh, hai. Padahal aku lagi mau sendiri disini.”
“Buat apa cewe sendirian di atas bukit ini? kamu ga lagi berencana untuk bunuh diri kan?” Balasnya dengan ekspresi yang sangat menyebalkan.
“Kamu ga perlu tau.” Balas ku sengit.
“Hahahaha, oke-oke aku juga ga mau tau.”
Tanpa sepatah kata aku pun berencana pergi meninggalkannya sendiri disini.
“Oy, tunggu dong.” Ucap pria itu dengan lantang, namun sedikit pun tak ku tanggapi.
“Yaelah, buru-buru amat sih. Bareng aku aja, bahaya kalo kamu sendirian ke atas sana.” Ucapnya sambil memegang pergelangan tanganku. Namun, tanpa sengaja ku hempaskan genggamannya dengan kasar.
Melihat raut wajahnya yang terkejut, sedikit perasaan bersalah menjalar dalam tubuhku. Ahh, apa aku keterlaluan? Tentu saja tidak bukan. Ia pria yang tak ku ketahui identitasnya, tapi berani sekali menyentuh pergelangan tangan ku ini.
“Aku buru-buru, kalo mau bareng cepetan. Takut senjaku hilang.” Ucapku tegas tanpa melihatnya.
Seperkian detik kemudian, kami pun berjalan bersama menuju puncak bukit. Keheningan menyelimuti perjalanan ini dan di antara kami seakan enggan untuk mengeluarkan suara barang sedikit pun.
Beberapa saat kemudian puncak bukit pun telah terjamah, keadaannya tak jauh berbeda dengan suasana di kaki bukit tadi. Pohon-pohon rindang, ilalang tumbuh memanjang. Di sertai dengan pemandangan laut dan kota di bawah sana, kami terbuai akan keindahan alam yang Tuhan ciptakan.
“Apa yang membuat kamu datang ke puncak bukit ini? apa hanya karena cerita mereka mengenai senja nan indah disini? atau mungkin ada hal lain?” Ucap pria di sebelah ku dengan tenang.
“Aku hanya ingin menikmati keindahan langit jingga dari atas sini.” Jawab ku seadanya.
“Ohhh.” ucapnya sembari menganggukan kepala.
“Lalu, apa yang membuat kamu datang ke puncak bukit ini?” tanya ku untuk memecahkan kecanggungan di antara kami.
“Aku hanya ingin melepaskan kepergian segala kepedihan bersama senja, dari atas bukit ini.” Ucapnya tanpa ragu namun sedikit lesu.
“Ohhh, begitu.” Balasku singkat.
“Apa kamu pernah merasakan jatuh cinta yang teramat dalam? dimana hilangnya membuat mu kecewa, ingatan tentangnya membuat mu terluka.” Ucap pria itu lagi dengan tatapan sayu.
“Ohhh, belum pernah. Memangnya apa yang terjadi pada kisah cinta mu?” Jawabku dengan sedikit berbohong dan penasaran.
“Bagiku ini sangat memilukan. Ia di rebut paksa oleh Tuhan untuk kembali pada pangkuan-Nya.” Ucapnya dengan nada yang pilu.
Dengan segala kebingungan aku memilih untuk diam. Ucapannya tak mampu ku balas kembali, karena pilu yang ia derita begitu nyata dan terasa.
“Oh iya, namamu siapa? aku Panji.” ucapnya sambil mengulurkan tangan.
“Aku Olivia.” ucapku sambil membalas uluran tangannya. Sekian detik kemudian kami tak lagi saling bicara.
Beberapa waktu berlalu, dengan suara lantang panji berucap “Hai, coba lihat warna jingga itu, indah sekali bukan?” Tunjuknya di sertai senyum yang merekah.
“Hahaha iya. Lelah ku terbalas dengan keindahannya” jawab ku sambil melihat ke arah senja yang ia tunjuk. Ahh, Tuhanku maha sempurna.
Laik senja diujung sana, keindahan yang tercipta hanyalah sementara. Bila waktunya tiba, bagaimana pun usaha yang di lakukan untuk mempertahankannya, maka akan menjadi sia-sia. Di atas bukit ini, di temani langit jingga dan seorang pria yang baru ku temui. Aku rasa, aku akan melepas mu pergi. Benar-benar membiarkan semua bayang mu lenyap bersama senja di ujung sana.