

Sulit rasanya memahami para penyelenggara negara yang tampaknya masih abai terhadap konsekuensi dari setiap kalimat yang mereka ucapkan seperti yang terjadi terakhir kali.
Padahal, beliau-beliau ini punya citra yang (seolah-olah) dibekali pendidikan tinggi, kewenangan publik, dan digaji negara, tapi apa gunanya kalau berbicara saja gak bisa hati-hati?
Siapa lagi kalau bukan Cucun Ahmad Wakil DPR RI dari fraksi PKB. Dalam sebuah rapat konsolidasi program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Kabupaten Bandung,
Pernyataan yang tentu za, sulit dipahami secara nalar, atau Minpang dan Bung Cucun punya kadar nalar yang berbeda entahlah.
Tapi tentu tak harus jadi Wakil DPR untuk menjadi pintar, kan? Wong Wakil DPRnya aja tidak kelihatan pintar, kok.
Bung Cucun ini gimana, ya? Kok seperti sedang mau bangun rumah tapi bilang “Gak usah pakai tukang buat bangun rumah,”
Atau, seperti sedang berbicara pada dirinya sendiri dan gengannya,
“Gak usah peduli rakyat buat jadi wakil rakyat.”
Pernyataan itu seolah menyiratkan bahwa “bergizi” cuma label paket makan siang massal saja, kecuali, kalau program ini memang dirancang menjadi Makan Tidak Bergizi Gratis (MTBG) yang jelas-jelas ndak perlu ahli gizi samsek.
Tanpa ahli gizi, program MBG ini bisa jadi berubah jadi program katering nasional saja, dengan HPP fantastis dan margin 0 tentu saja. Sebab bukannya gizi, rakyat malah cuma kebagian racunnya.
Ah, FYI, proyek wadah MBG 1 Triliun untuk 1 kabupaten loh. Xixixi.
Padahal tujuan Prabowo mengadakan MBG yang sering disebut-sebut kan untuk memperbaiki gizi anak-anak Indonesia, bukan cuma keceletot pas kampanye. Iya, kan?
MBG kan dibuat Prabowo sebagai strategi nasional untuk memperbaiki status gizi anak Indonesia, menurunkan stunting, mencegah anak minum asam sulfat juga. dan membentuk kebiasaan makan empat sehat Prabowo sempurna sejak dini.
Dengan tujuan se-spesifik itu tentu saja peran ahli gizi sangat penting sekali. Bukan begitu?
Cucun Ahmad juga mengatakan bahwa mereka kekurangan tenaga ahli gizi maka sebab itu mereka pun mengadakan pelatihan kepada lulusan SMA selama tiga bulan untuk menggantikan peran ahli gizi.
Pertanyaannya penting di sini adalah apakah benar kita kekurangan ahli gizi? Dan apakah lulusan SMA yang dilatih selama tiga bulan bisa benar-benar menggantikan peran ahli gizi yang mempunyai keahlian di bidang gizi yang sudah digembleng di masa kuliahnya?
Jawaban yang pertama adalah mungkin benar bahwa kita kekurangan ahli gizi tapi kekurangan bukan berarti tidak ada sama sekali. Jika dilihat dari komposisi bahwa tidak ada satupun petinggi BGN yang merupakan ahli gizi mencerminkan bahwa ahli gizi memang tidak diprioritaskan.
Lalu soal ahli gizi digantikan dengan lulusan SMA yang dilatih selama tiga bulan? Like, pardon?
Wah, gimana ya?
Tentu Minpang setuju bahwa pendidikan tidak membuat seseorang menjadi pintar, tapi menggantikan keahlian empat tahun studi ilmiah dengan pelatihan tiga bulan?
Ahli gizi mempelajari anatomi, fisiologi, biokimia, metabolisme energi, epidemiologi gizi, keamanan pangan, hingga penyusunan menu berbasis kondisi kesehatan dan fase kehidupan. Itu baru sebagian. Menyamakan kompetensi tersebut dengan pelatihan singkat adalah bentuk underestimating yang istuning dan juga berbahaya bagi jutaan penerima program.
Apakah lulusan SMA yang dilatih selama tiga bulan bisa menyamai atau setidaknya mendekati kemampuan ahli gizi?
Silah jawab sendiri.
Lagi pula MBG yang skala programnya nasional terlalu besar untuk diurus tanpa ahli gizi. Bayangkan mengurusi ribuan tenaga kerja yang menyiapkan makanan untuk jutaan anak tanpa pengetahuan gizi yang memadai.
Tanpa pengawasan standar keamanan pangan yang benar, potensi kontaminasi bakteri, jamur, atau cara penyimpanan yang keliru dapat berujung pada keracunan massal sebagimana yang kerap terjadi.
Masa gak kapok juga, sih? Harus berapa banyakk lagi korbannya?
Risikonya tentu menu yang disajikan tidak memiliki gizi yang seimbang juga menyertai apabila ahli gizi tidak dilibatkan dalam MBG. Seperti yang dikhawatirkan di awal tulisan.
Kalau menurut para pemangku program MBG peran ahli gizi gak dibutuhkan, ya sederhananya penyelenggara MBG tak mengerti soal gizi target jangka panjang yang ingin dicapai.
Kalau kurang ahli gizi seharusnya pemerintah mencetak lagi ahli gizi. Kasih beasiswa. Dalam empat lima tahun kita bakal langsung kebanjiran ahli gizi, dan program pun makin lancar. Di negara-negara yang mengadakan program serupa MBG mereka memakai jasa ahli gizi.
Menihilkan peran ahli gizi dalam MBG sama saja dengan mengabaikan masa depan bangsa. Gizi kan gak se-simple pilih menu, ya. Tentu harus ada ilmunya, perhitungannya, ini-nya, itu-nya.
Sediakan dong ahlinya, Ganteng. Jangan improve-improve gak jelas gitu, ah.