Seorang komedian Inggris, Ricky Gervais bilang: “Tak ada yang lebih mirip kematian selain kebodohan. Sebab sama-sama tak disadari yang mengalaminya.” Dan saya akan cerita sedikit soal itu.
Saya pemilih Jokowi dalam dua kali Pilpres. Bahkan di Pilpres 2014, tidak hanya memilih, saya turut turun dalam barisan pendukung fanatiknya. Saya turut mengenakan profil picture “I stand on the right side” di Facebook, mengajak orang-orang terdekat memilih mantan Gubernur Jakarta itu berbekal tautan berita di Tirto dan Tempo, plus saya juga menginisiasi diskusi di forum-forum mahasiswa sebagai pemateri.
Diri saya 10 tahun lalu jatuh—iya, ada beberapa kasus jatuh yang tidak disadari korbannya—pada satu kesimpulan bahwa bangsa ini tidak boleh dipimpin seseorang yang belum selesai dengan masa lalunya. Alsannya, Prabowo masih tersangkut kasus penghilangan aktivis dan mantan militer. Sedangkan Jokowi seorang sipil dan berjanji akan menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu.
Seakan belum insyaf, saya lagi-lagi memilih Jokowi di Pilpres 2019. Alasannya tetap sama. Asal bukan Prabowo. Andaikan ada calon alternatif ketika itu yang bukan dari militer dan tidak tersangkut kasus HAM, saya dengan senang hati akan mendukungnya.
Kamu boleh saja mendebat argumen saya. Silakan. Kesalahan masa lalu adalah udara yang menggelembungkan ban dalam diri kita, membantu kita menggelinding menyusuri jalan. Ban bisa kempis, pecah, atau ditambal berkali-kali. Kecuali untuk koruptor, pemerkosa, dan pembunuh, kita boleh dimaafkan berkali-kali.
Bedanya dengan 2014, saya di 2019 lebih kalem. Alasan tidak memilih Prabowo tetap sama, bedanya, pilihan saya pada Jokowi, saya pendam dalam hati.
Kemudian semua berjalan seperti yang kita tahu. Prabowo balik kanan dari pendukungnya, menggabungkan diri ke kabinet Jokowi. Bagi banyak orang ini mungkin seperti mimpi. Harus kita sadari, politik memang alat yang paling mungkin mewujudkan mimpi paling tidak masuk akal. Covid datang tanpa pilih-pilih menghukum pemilih Jokowi atau Prabowo, juga yang tidak memilih keduanya.
Hari-hari terus berjalan, ban dalam diri kita mengempis dan menggelembung di antara kemarin dan besok. Kita hanya dibekali spion tanpa gigi mundur. Padahal kalau bisa, saya sangat ingin kembali ke masa lalu, lalu menggetok kepala sendiri tiga kali.
Satu untuk keputusan mendukung Jokowi, satu untuk keputusan mendukung Jokowi untuk yang kedua kalinya, dan getokan terakhir saya persembahkan pada kebodohan mempercayai Tesis Agustus-nya Martin Suryajaya. Benjol boleh, bos, asal jangan tolol. Begitu kira-kira seruan diri saya masa kini ke diri saya masa lalu.
Diri saya di masa lalu—yang naifnya sebelas dua belas dengan kaum kiri yang baru menamatkan Marxisme dari artikel-artikel anti-kiri Romo Magnis tapi merasa si paling kiri—terima saja digetok kepalanya tiga kali. Saya-muda saat itu menganggap itu kerikil dalam ujian kelulusan kaum revolusioner.
Saya-kini mengangkat tangan kanan tinggi ke udara, menimbang apakah akan melipatgandakan getokan di kepala. Saya-muda mengangkat tangan kiri, bersiap menyerukan teriakan revolusi. Kami saling mengangkat tangan. Barangkali tanda siap saling melumat, barangkali tanda menyerah.
Sementara jauh di masa depan, sejarah akan mengulang dirinya sendiri. Mimpi buruk kita tetap jadi nyata. Yang menang merangkul yang kalah, sambil menyisipkan kerikil kecil namun tajam, mengempiskan ban dalam diri si kalah. Psssttt. Semua kontestan Pilpres menggelinding beriringan usai menegosiasikan kepentingan-kepentingan baru di atas jalan mulus. Meninggalkan kita.
Saya-masa-depan, kalau bisa, akan balik ke masa lalu, menggetok kepala saya-muda dan saya-sekarang masing-masing tiga kali. Lagipula tak ada yang lebih mirip dengan kebodohan selain kematian. Sama-sama tak disadari yang mengalaminya. Atau masih perlu ada yang ingatkan?