Di dunia yang patriarki abiez ini, omongan “Kemarin aku liat setan” lebih dipercaya daripada “Kemarin aku kena pelecehan.”
Masih Mau Ngeyel soal Pendidikan Seksual?

Di dunia yang patriarki abiez ini, omongan “Kemarin aku liat setan” lebih dipercaya daripada “Kemarin aku kena pelecehan.”
Minggu ini, saya menghindari berita sirkus dan gajah tertabrak truk. Alasannya tentu saja se-simple Sebuah berita kembali menggetarkan pikiran saya. Sebuah grup yang isinya predator seksual dan pedofil itu muncul ke permukaan. Minggu ini, pihak kepolisian sudah menangkap orang-orang back officenya.
Ada 6 orang: DK, MR, MS, MJ, MA, dan KA. Semuanya punya dosa masing-masing. Pembuat grup sekaligus admin, kontributor aktif yang merekam pencabulan yang dilakukan kepada anak lalu disebarkan di grup itu, ada yang mengunduh konten pornografi di situs lain dan mengunggah ulang di grup tersebut, ada juga yang menjual konten pornografi.
Melansir uraian dari https://www.youtube.com/watch?v=kPtJ6QXr6xE, tujuan tersangka itu tak lain untuk kepuasan pribadi. Kepuasan pribadi. Kepuasan pribadi, ke anak-anak?! yang di rumah?! Bagaimana kamu dapat kepuasan pribadi kalau orang lain trauma?
Di Tongkrongan
Saya sudah muak dengan kasus-kasus pelecehan yang terus dimaklumi, dan berita ini membuat saya gak nyaman. Mengingat kembali pengalaman teman-teman penyintas yang ngerasain gimana gak betahnya di rumah. Rumah, yang seharusnya jadi tujuan semua orang.
Akhir tahun 2024, saya mendapat kabar pencabulan terhadap 18 anak perempuan di Cikampek. Di Cikampek! Kepolisian tidak menindak-lanjuti sampai kasus tersebut viral. Lalu setelah viral, dimarahi dulu, lah. Dipanggil dulu semua korban, lah. Pokoknya baru diproses setelah viral! Sejak Oktober 2024, baru dilaksanakan sidang ketiga pembacaan vonis. Oktober ke Mei. 7 bulan!
Tak lama setelah itu, di Purwasari. Tepat di perumahan yang saya beli dengan cicilan 10 tahun itu, seorang anak SMP jadi korban pelecehan tetangganya. Di perumahan yang sama dengan tempat orang tua saya tinggal! Keponakan saya tinggal!
Terkait pelecehan, semenjak Jayanti ditulis sampai saat ini, sudah tentu tidak pernah sedikitpun kompromi dengan pelaku pelecehan atau koloninya. Tidak ada alasan dan kepentingan untuk itu. Lebih baik tidak punya kepentingan sama sekali.
Di balik itu, saya muak dengan orang-orang yang sok peduli padahal hanya ingin memenuhi rasa penasarannya tapi nihil dalam perbuatan. Najis!
Dunia gak butuh lebih banyak penonton yang cuma bilang “Kasian” terus scroll video selanjutnya. Dunia butuh lebih banyak orang yang berani bilang “Cukup!” lalu bergerak.
Beberapa waktu lalu saya pernah walkout menonton Stand Up Comedy. Awalnya saya pikir saya akan happy karena isinya komedi, ternyata isinya cuma menjadikan kelamin perempuan sebagai bahan. Anjay. Kalau merasa gak kreatif mah ya belajar lagi, atuh. Bukan percaya diri melucu dengan menjadikan kelamin perempuan sebagai materi stand up.
Kenapa jauh-jauh bahas pelecehan, pencabulan anak, dan pelecehan seksual sampai ke situ?Ya semuanya ngaruh! Kita adalah apa yang kita naungi, kita adalah apa yang kita ikuti, kita adalah apa yang kita lihat dan kita dengar.
Sekarang, kalau misalkan di tongkrongan aja kita gak bisa ngendaliin teman bajingan itu, siapa yang bisa jamin dia gak akan jadi (amit-amit) tersangka grup Facebook yang baru ditangkap itu?
Gini, ya. Kebiasaan dan kesalahan utama kasus-kasus serupa adalah kita terlalu nganggap biasa aja sama hal yang udah gak bisa ditolerir. Banyak orang terlalu takut gak punya teman daripada berdiri di atas kaki dan prinsipnya sendiri, dan itu goblok.
Ustaz yang setiap ceramahnya selalu menginjak-injak perempuan noh, masih tetap laku, kok. Terus-terusan diundang, terus-terusan didengarin sampai akhirnya ketumpahan es teh. No offense, sekadar bahan refleksi: kenapa dia harus ketumpahan es teh dulu? kenapa gak kena boikot sejak dia melecehkan perempuan di panggung?
Di Rumah
Sebelum membeli rumah di perumahan, dulu saya tinggal bersama orang tua saya di rumah kampung, di Kosambi. Saya tidak pernah boleh keluar gerbang selain untuk sekolah dan les. Bahkan untuk jajan gerobakan pun saya gak boleh.
Maka ketika santer dulu tukang agar (sekaligus tukang BP-BPan) mencabuli anak laki-laki di kampung saya, saya termasuk yang terlambat tahu.
Saya pernah menonton Buser. Semacam tayangan berita. Usia saya masih 7 tahun atau 8 tahun pada saat itu. Saya diasuh oleh Bibi saya. Lalu saya mendengar pembawa berita Buser menyebut kata “perkosa”.
Saya lalu bertanya, “Bibi, perkosa itu apa?”
Bibi saya menjawab, “Perkosa itu dikeramas rambutnya. Seperti pakai sampo.”
Beberapa jam kemudian, Bunda saya pulang dan saya langsung bilang “Bunda! Aku habis diperkosa!”
Betapa aneh dan sangat tidak well-educated Arini kecil waktu itu. Arini kecil membutuhkan waktu 4 tahun setelah kejadian itu untuk tahu bahwa perkosa itu “aktivitas jahat”, 2 tahun lagi untuk tahu bahwa perkosa itu aktivitas seksual non-consent.
Kemudian Arini butuh 2 tahun lagi untuk tahu bahwa perkosa itu bisa juga dilakukan perempuan kepada laki-laki, 1 tahun selanjutnya untuk Arini tahu bahwa semua orang bisa menjadi pelaku perkosaan. Butuh waktu 3 tahun kemudian untuk Arini berbicara tentang hal ini.
Maka kalau ada yang tanya,
“Arini, dulu gimana awal-awal kamu belajar hal-hal terkait aktivitas seksual?”
Untuk saya sendiri ya jawabannya video porno, komik, dan The Sims. Yang jelas saya tidak diperkenalkan dengan dasar-dasar seksual yang sehat oleh orang tua, guru, saudara, atau siapapun.
Di bangku sekolah dasar, kita semua belajar organ reproduksi dengan berbagai metode yang berbeda. Di sekolah saya, ketika masuk ke bab organ reproduksi laki-laki, perempuan harus menutup kuping. Begitupun sebaliknya. Kenapa? tidak tahu, lah.
Padahal, pendidikan seksual bukan tentang aktivitas seksual aja, tapi cakupannya bisa jauh lagi ke pembahasan soal hak-hak seksual, kesehatan reproduksi, hak kesehatan. Bakal dibahas juga apa yang boleh apa yang enggak dalam kaitannya dengan otonomi tubuh, dan bukankah itu sangat membantu pemahaman dasar mereka? Membantu juga menghindari hal-hal buruk terjadi.
Pendidikan seksual tentu za bukan pendidikan sekali ajar. Banyak orang yang merasa bahwa pendidikan seksual tuh gak layak diajarkan ke anak-anak. Banyak orang yang merasa bahwa anak-anak menyebut penis dan vagina adalah anak yang gak sopan. Padahal, ya kan namanya memang itu.
Pendidikan seks tuh gak cuma bahas soal apa yang boleh dan yang gak boleh dilakukan, gak cuma bahas aktivitas seksual tuh ngapain aja, tapi pendidikan seks tuh harusnya jadi penyadaran dan penghormatan. Penyadaran bahwa kalau ada orang yang megang anggota tubuhmu, apapun itu tapi kamu gak mau ya itu pelecehan. Penyadaran bahwa kalau pamanmu atau anggota keluargamu yang lain memegang-megang vaginamu itu cabul!
Berhenti berpikir pendidikan seksual itu gak layak! Kamu pikir jokes-jokes ustaz bayaran yang merendahkan perempuan itu layak, apa?!
Saya rasa, di tengah hiruk-pikuk berita dan kasus pelecehan yang terus berulang, penting bagi kita untuk menyadari bahwa
“Kita adalah apa yang kita naungi, kita adalah apa yang kita ikuti, kita adalah apa yang kita lihat dan kita dengar.”
Permisivitas terhadap pelecehan dan kekerasan seksual, baik dalam bentuk lelucon yang merendahkan, keterlambatan penanganan kasus, atau penghalang-halangan kasus adalah cerminan dari orang yang belum sepenuhnya memahami dan menghargai martabat manusia.
Pendidikan seksual dan penegakan hukum yang tegas, didukung kesadaran yang kuat yang gak cuma haha-hehe-asal terlihat rebel dan keren-banyak followers-mabok hayu-aja adalah kunci buat menciptakan lingkungan yang aman dan adil buat semua orang, apapun gendernya.
Berhenti berpikir bahwa pendidikan seksual itu tidak layak; sebaliknya, mari kita akui bahwa jokes ustaz bayaran yang merendahkan perempuan itu justru yang gak layak.
Kalau hari ini kita diam, besok bisa jadi giliran anak kita. Kalau hari ini kita takut kehilangan teman, besok bisa jadi kita kehilangan keberanian untuk berdiri tegak sebagai manusia.
Kalau hari ini kita terus melanggengkan budaya patriarki—dari rumah, dari sekolah, dari panggung-panggung yang katanya lucu dan seru—maka kita sendiri yang mewarisi nilai-nilai patriarki itu kepada anak-anak kita.
Berhenti menjadi permisif dan normalisasi pendidikan seksual untuk anak!
Leave a Comment