Seminggu setelah kejadian nahas itu, sehabis shalat magrib berkumandang, Martini melihat sosoknya lagi. Ia sedang meringkuk di sofa ruang tamu.
“Sudah seminggu berlalu, Martini, apakah kamu rindu suamimu ini?” katanya sambil tersenyum melirik ke arah Martini.
“Aku rasa begitu, tapi sialnya kepergianmu meninggalkan banyak masalah, dan itu membuatku jengkel,” kata Martini melenguh.
Selama satu minggu acara tahlil diselenggarakan untuk kepergian Toni, suami Martini. Acara berkabung yang sederhana itu hanya dihadiri oleh beberapa tetangga dan kerabat dekat. Pada beberapa kesempatan ketika tahlil sedang berlangsung Martini melihat Toni ikut bersila dengan bapak-bapak yang datang. Terkadang Martini memergoki suaminya di dapur sedang menyedu kopi, terkadang di ruang tamu sedang meringkuk, atau di kamar anaknya sedang duduk di ranjang sambil mendekap lutut.
Tetapi Toni tidak berkata apa-apa, hanya sesekali menatap wajah Martini dengan air muka yang datar.
Namun hari itu berbeda, Toni berbicara pada Martini. Baju yang dipakai Toni masih sama ketika ia meninggal dunia: kaos putih berkerah dengan garis hitam horizontal pada dadanya serta celana panjang kargo berwarna hitam kumal melewati mata kaki. Rambutnya sedikit kusut karena Toni membenci keramas. Tahi lalat sebesar biji kacang hijau masih nampak pada bawah bibirnya sehingga ada kesan manis bagi Martini yang melihatnya.
Martini tahu itu memang Toni yang ia kenal, sesosok wajah yang jarang sekali tersenyum beberapa tahun terakhir. Martini merasa Toni tidak bahagia hidup dengannya, tetapi nyatanya, pilihan Tonilah yang sebenarnya membuat hidup mereka tidak bahagia. Mungkin jika Toni tidak mengenal permainan jahanam itu kehidupannya pasti akan lebih baik, pikir Martini.
Sebelum pandemi tiba-tiba menghantam keluarga kecil Martini yang baru berusia sewindu, Toni adalah seorang karyawan di salah satu pabrik baru di Karawang. Ekonomi keluarga kecilnya berangsur membaik. Ditambah dengan kelahiran anak perempuannya yang membuat keluarga Martini semakin hangat.
“Tenang, semua masalah pasti ada jalan keluarnya. Kamu hanya perlu tenang dan berusaha untuk hidup lebih lama,” kata Toni berusaha menenangkan Martini yang sedang mengeluh.
Martini mendengarnya, tetapi tidak peduli. Martini kembali ke kamarnya. “Kalau kamu datang cuma untuk menggangguku, lebih baik kamu pergi saja,” kata Martini, suaranya terdengar sampai ke ruang tamu.
“Ah, Martini, jangan jutek begitulah! Seminggu kemarin sengaja aku tidak berbicara apa-apa padamu supaya tidak membuat kaget orang-orang!” kata Toni suaranya sekeras Martini.
“Kamu memang tidak perlu berbicara apa-apa, Mas,” kata Martini menimpali perkataan Toni. Kemudian hening, Martini tahu Toni sudah beranjak dari sofa.
Martini masih mengingat hari itu, hari di mana suaminya pulang dari kerjanya membawa surat PHK yang dilayangkan kepada suaminya tanpa adanya pesangon dari perusahaan sehingga Toni dan Martini harus bertahan hidup dengan uang tabungan.
Pada hari berikutnya Toni irit bicara meski lebih sering terlihat oleh Martini di rumahnya, meski hanya sekedar untuk memamerkan dirinya dapat melenggang dari satu ruangan ke ruangan lain menembus dinding sehingga garis gelap pada lehernya nampak jelas. Terkadang hanya sekedar untuk membuka-tutup pintu lemari, bermain dengan gorden, menjatuhkan gelas yang ada di meja makan atau mengacak-acak kain seprai di kamar anaknya.
“Aduh, jangan diacak-acak, dong, Mas!” kata Martini kesal. Toni bergeser menjauh dari Martini.
“Kalau masih hidup, anak kita sebesar apa ya?” tanya Toni. Suaranya kembali terdengar setelah berhari-hari menutup mulutnya.
“Marsella mungkin sekarang umurnya enam tahun. Baru mau masuk SD,” kata Martini, tangannya merapikan seprai.
“Aku benci tahun 2020,” Toni melenguh.
“Tidak ada yang tidak membenci tahun 2020, kecuali bandar judi,” Matanya mendelik kepada Toni.
Toni tidak menyangkal apa yang dikatakan Martini. Kemudian tubuh Toni lenyap menembus dinding. Martini tahu perkataannya telah menyinggung suaminya. Tetapi amarah yang dipendam oleh Martini tidak dapat ditahan. Pada hari berikutnya, Toni tidak nampak lagi.
Waktu itu ketika pandemi menyerang, hari-hari Martini semakin tidak terarah apalagi ketika putrinya meninggal di usianya yang masih belia. Dagangan kecil-kecilannya tidak terurus sedangkan Toni hanya bisa menuding kepada pemerintah karena tidak becus menyelesaikan kasus pandemi.
Di saat seperti itu Martini hanya menunggu sampai dunia benar-benar pulih sepenuhnya dengan harapan akan ada banyak keberuntungan yang Martini peroleh jika waktunya sudah tiba.
Namun, sayangnya ketika dunia sedikit membaik Toni malah tidak dapat menampung kesedihan Martini mengingat hutangnya semakin membumbung dari waktu ke waktu serta kerjanya semakin tidak menentu. Pada masa berkabung atas kematian putrinya, Toni yang saat itu bekerja serabutan memilih bermain judi online untuk penghasilan sampingan. Kemenangan demi kemenangan, kekalahan demi kekalahan, kerugian demi kerugiannya tidak dihiraukan oleh Martini yang saat itu sedang jatuh dalam kesedihan.
Martini tahu harapannya pada saat itu tidak akan tercapai. Terkadang caci-maki dan sumpah-serapah keluar dari mulut mereka ketika pertengkaran pecah. Tetapi, Toni tetaplah Toni. Sebesar apapun amarah Martini tidak membuat kegilaannya berhenti.
Hari ini, ketika Martini sedang mengemas pakaian dan barang-barangnya, Toni datang kembali.
“Kamu mau kemana Martini?”
“Aku sudah tidak sanggup, Mas.” Jawab Martini.
“Apakah kematianku tidak mengubah apa-apa, Martini?”
“Kematinmu justru membuat hidupku semakin sulit, Toni!” Martini membelalak.
“Jika saja kamu tidak melakukan hal gila, aku tidak akan diteror oleh para rentenir itu. Kalau saja kamu masih hidup, Toni, kamu bisa bekerja lalu berhenti main judi. Pelan-pelan kita bayar utang yang kamu tumpuk itu. Aku selalu berpikir kita masih punya harapan,” kata Martini nadanya keras.
“Kamu sendiri yang bilang hidupku sudah tidak ada gunanya,” Toni menunduk.
“Kamu goblok, Toni, bahkan setelah kau mati!”
Martini duduk mendekap lutut. Tangisnya pecah beberapa saat. Martini menatap lekat-lekat tali tambang yang masih menggantung pada palang pintu kamar anaknya. Ada bayangan Toni yang tergantung di sana.
Toni lenyap menembus dinding.