Bagi kita yang sering mengamati lalu lintas Tiktok sendiri pasti sudah akrab banget nih dengan tren yang satu ini: “Marriage is scary,” yang berarti, “Pernikahan itu menyeramkan.” Tren ini sendiri berbentuk video singkat yang dilakukan anak-anak muda di kisaran usia 18-27 tahun disertai kutipan yang berisi alasan kenapa pernikahan itu menakutkan. Ada yang takut karena maraknya kasus KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga), maraknya isu perselingkuhan, dan tentang sebagian kebebasan diri yang dikorbankan.
Ketakutan-ketakutan tersebut dapat diterima. KDRT sendiri seringkali menyisakan luka fisik dan psikologis yang besar yang perlu waktu bertahun-tahun untuk pulih ditopang dengan biaya pemulihan mental dan tubuh yang besar supaya bisa berfungsi optimal seperti sedia kala. Perselingkuhan sendiri melahirkan trust issue: sulit bagi korban untuk memulai semuanya kembali karena trauma masa lalu. Kebebasan diri bisa dikorbankan karena adanya tiga urusan yang seringkali saling melawan satu sama lain: keluarga, karir, dan diri sendiri.
Apa yang menjadi kekhawatiran mereka ini nyata terjadi dan berpeluang untuk menghampiri kita semua Gen-Z yang punya rencana untuk menikah. Apa yang menjadi kekhawatiran Gen-Z ini perlu diterima secara reflektif bukan defensif.
Ini semua juga adalah topik yang tabu untuk dibicarakan karena amat personal dan kadangkala menyakitkan. Tapi membuka percakapan pelik adalah jalan menuju pembebasan. Dengan mengulik hal ini maka orang bisa menikah tanpa ada perasaan takut.
Di sini kami akan menguraikan mengenai berbagai permasalahan yang memicu ketakutan akan lembaga pernikahan dan solusinya.
Patriarki sebagai Akar Keberadaan KDRT
Pertama mengenai KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) sendiri secara umum kerap dilakukan oleh suami kepada istrinya. Istri menanggung penderitaan lahir dan batin: badan memar dan nyeri, merasa terteror dan insecure karena suaminya merasa memiliki hak untuk melampiaskan rasa kesal pada istrinya dalam berbagai bentuk hantaman fisik dan mental. Ini tentu ada kaitannya dengan patriarki. Patriarki berangkat dari sebuah pandangan bahwa lelaki itu superior dan memiliki justifikasi atau alasan pembenar untuk mendominasi, memonopoli kendali, dan menindas perempuan.
Patriarki lahir setelah revolusi Agrikultur ketika cara makan manusia berubah dari berburu, meramu serta berpindah-pindah tempat ke bertani dan mendomestikasi hewan di satu wilayah tertentu. Nah, di sini muncullah konsep kepemilikan pribadi dan konsep keluarga tradisional yang mereduksi posisi perempuan hanya di lingkup domestik saja. Di sini kemudian paradigma bahwa perempuan lebih inferior atau lebih rendah dari lelaki lahir.
Apa yang dilakukan seorang suami yang menjadi pelaku KDRT karena ia mengadopsi nilai-nilai yang dibawa oleh patriarki: dominasi dan mereduksi posisi perempuan.
Jadi keberadaan patriarki ini mesti disingkirkan dalam ruang rumah tangga supaya pernikahan bisa menjadi tenang dan menyenangkan.
Perselingkuhan itu Pola Perilaku
Kedua mengenai perselingkuhan. Perselingkuhan adalah pelanggaran komitmen seseorang kepada pasangannya dengan lebih memilih memberikan cinta, perhatian, tenaga, pikiran, dan waktunya kepada orang lain. Kegiatan selingkuh itu susah dihilangkan karena hal itu sudah menjadi habit atau kebiasaan. Sederhananya ketika selingkuh, si pelaku mendapatkan dopamine atau hormon kesenangan di otaknya yang mengirim sinyal bahwa tindakan tersebut pantas untuk dilakukan secara terus-menerus. Otaknya sudah terprogram untuk hal itu.
Jadi ketika di masa pacaran dan pacarmu itu lancang selingkuh, iya langsung tinggalkan saja orang toxic itu. Mencari-cari alasan untuk bertahan itu upaya desperate atau putus asa untuk menghibur dan menipu diri sendiri. Perselingkuhan itu pola perilaku. Bukan tindakan sesaat yang lahir dari ketidaksengajaan.
Berdamai dengan Kehilangan Sebagian Kebebasan Diri
Setelah menikah seseorang memiliki pasangan sah, anak-anak, dan rumah/atau tempat tinggal sendiri. Ada pasangan yang perlu diperhatikan. Ada anak-anak yang perlu diberi makanan, minuman, standar kebersihan, dan pendidikan yang layak. Ada biaya-biaya yang nggak pernah absen nongol: tagihan listrik, air, wifi, pajak kendaraan, bensin sehari-hari, dll.
Menikah berarti menanggung banyak tanggungjawab. Menikah berarti kehilangan sebagian kebebasan diri yang kamu nikmati selama masih pacaran atau bahkan menjomblo. Tapi hey, kamu bisa berdamai dengan hal ini! Sebagian kebebasan yang kamu lepaskan bisa memberimu makna hidup. Mengabdikan diri pada segala sesuatu yang lebih besar dari diri kita seperti tumbuh kembang anak membuat kita berorientasi pada masa depan, mempunyai harapan, dan menghasilkan nilai dalam diri kita.
Banyak orang tua yang walaupun punya sedikit waktu untuk dirinya sendiri sumringah melihat anaknya jadi cukup berhasil: unggul dalam hal akademik misalnya.
Lagi pula nggak ada yang namanya kebebasan yang absolut. Manusia mempunyai insting, dan kebutuhan untuk bertahan hidup yang memaksa kita berkompetisi atau berkolaborasi dengan pihak lain. Belum lagi ada norma sosial dan norma hukum yang bersifat mengikat. Ouh kalau mau jujur kita nggak pernah punya kebebasan 100%.