Mari Belajar Menerima Hidup yang Tidak Kita Pilih

Sekarang, rasanya seperti mencabut duri dari daging sendiri. Menyakitkan, melelahkan, tapi harus dilakukan.

Sepuluh tahun lalu, saya pernah bersumpah pada diri sendiri bahwa saya tidak akan pernah jadi orang yang duduk santai di warung kopi, ngobrol bdkehdjenskskaiakhd di kafe berjam-jam, digigiti nyamuk, dengan circle baru yang selalu bangga dengan embel-embel produktif atau aktivisnya.

Saya pun ogah menyimak bapak-bapak—yang hobi nyentil politik dalam negeri sambil menggulungkan pelepah kertas rokok bakau, ditemani kopi pait hitam yang ampasnya tidak enak bila tertelan, sambil menyudutkan generasi muda yang pada akhirnya membahas agama dari filsuf hingga dalilnya.

Singkatnya, saya tidak suka hal-hal yang mengarah pada oversharing. Ingin rasanya menyanggah opini mereka tentang hal yang terlihat dipaksa tanpa tau faktanya, sekedar meramaikan lingkaran bermanfaat atau bisa jadi tidak.

Tapi hari ini, saya dengan sadar memahami dan melakukannya. Duduk, mendengarkan, bahkan kadang ikut menyisipkan opini atau celetukan humor yang saya tahu itu tidak lucu dan terdengar absurd. Dulu saya pikir, itu hanya pemborosan waktu—hal yang sangat saya benci. Sampai saya rasa itu menjadi sebuah starter kit pentingnya seni menjaga relasi sosial yang melelahkan.

Saya pernah bilang pada diri sendiri bahwa keluar malam untuk menghadiri undangan event—apalagi yang bukan di ranah lingkaran minat saya—adalah bentuk pengkhianatan terhadap waktu tidur dan rutinitas skincare.

Tapi belakangan, saya sering berdiri di tengah kerumunan, mendengar karya musisi yang bahkan tidak saya temukan karakter musikalitasnya di mana. Senyum saya kadang palsu, tangan saya penuh stiker komunitas yang saya sendiri racau arahnya mau dibawa ke mana.

Tapi saya tetap berdiri di sana: menyumbang kehadiran sebagai bentuk dukungan, agar tidak dianggap menjauh dari riuhnya pergaulan. Sekaligus melawan rumor bahwa saya hanya menghadiri organisasi komersil.

Dulu, sekedar membalas pesan WhatsApp itu seperti memberikan berlian kepada orang-orang. Tentu saya hanya menjawab hal-hal yang penting. Atau hanya membalas dengan skala prioritas yang parameternya nihil.

Sekarang, rasanya seperti mencabut duri dari daging sendiri. Menyakitkan, melelahkan, tapi harus dilakukan. Bahkan seringnya saya yang terpaksa mengirim pesan duluan. Hal sederhana, yang butuh perjuangan jika saya lakukan. Tentunya semua orang memiliki hal-hal sederhana yang ternyata terasa berat jika dilakukan, tergantung boundaries-nya.

Bagi sebagian, mungkin sesederhana menyapa duluan. Bagi yang lain, mungkin hanya soal membalas “Y” di grup-grup WhatsApp. Tapi untuk saya, hal-hal kecil itu seperti menyeberangi jembatan rapuh di tengah kabut yang tidak tahu apakah akan berhasil sampai, tapi tetap harus dilalui.

Saya tidak menyukai hidup ini. Atau tepatnya, saya tidak menyukai versi hidup yang harus saya jalani sekarang, ucap saya sepuluh tahun lalu dengan nada angkuhnya.

Sampai saya membaca The Gifts of Imperfection karya Brene Brown. Bukan buku yang penuh kalimat-kalimat dengan energi pemenang, tapi buku yang menampar keras tapi juga dengan pelan—lalu dipuk-puk dengan sayang. Tidak mengajarkan cara menjadi kuat, tapi mengajarkan bagaimana cara tidak terus-terusan lari dari diri sendiri.

Katanya, hidup ini bukan soal jadi versi terbaik atau perfect dari diri kita. Tapi jadi versi yang paling jujur. Yang mau duduk dan ngopi bareng rasa takut, rasa malu, rasa gagal—dan bilang, “Nggak apa-apa, ada aku kok.”

Saya berhenti di satu halaman, lama. Profesor tersebut bilang:
“Owning our story and loving ourselves through that process is the bravest thing we’ll ever do.”
Dan saya pun terdiam. Karena nyatanya selama ini saya sibuk ingin jadi lebih baik, naikin value, tapi lupa dan tidak tahu apa yang sebenernya saya butuhkan.

Kadang terbesit, perlawanan terbesar bukan melawan sistem, bukan melawan orang lain melainkan melawan egosentris untuk terus jadi keren versi diri sendiri. Yang selalu memaksa senyum biar dibilang si cantik yang ramah. Yang selalu sibuk dan terus berkarya biar produktif. Yang selalu kuat biar mendapat klaim si kecil yang siap menghadapi tsunami dunia.

Tapi sekarang saya pelan-pelan belajar, bahwa menjadi lebih baik bukan soal validasi dari siapapun termasuk diri sendiri tapi berani duduk di bangku paling belakang kehidupan, dan bilang
“Ya, aku pernah takut. Pernah gagal. Pernah pura-pura. Tapi sekarang, aku menghadirinya dengan tanpa harapan apa-apa.”

Itu momen pertama saya mulai berdamai. Menerima bahwa untuk selangkah lebih maju, kita harus lebih dulu berperang dengan standar diri sendiri. Bahwa kemerdekaan jiwa bukanlah ketika semua sesuai dengan kemauan kita, atau bentuk pengakuan orang lain. Tetapi ketika kita sanggup menari dalam masam hujan akibat polusi kendaraan dan pencemaran lingkungan yang tentu bukan hujan yang sejuk nan indah seperti yang kita rasa dan bayangkan.

Hidup ini bukan panggung yang selalu menampilkan band-band dari genre favorit kita. Kadang kita harus siap mencoba mendengarkan irama yang tak dikenal, lirik yang sulit dipahami, atau genre yang dulu kita jauhi. Tapi bukankah pendengar yang baik justru diuji saat ia mampu menemukan makna, warna musik, bahkan dari lagu underrated yang awalnya ia tidak suka?

Saya tidak lagi marah pada rutinitas yang tidak saya sukai. Saya hanya menaruhnya di rak kehidupan, seperti buku-buku yang jarang dibaca tapi tetap perlu ada untuk sebuah bentuk dukungan terhadap penulisnya.

Dan malam ini, saat saya membalas pesan WhatsApp dengan isi kepala yang racau dan semangat nihil, saya tahu: saya masih punya komitmen pada diri saya sendiri. Komitmen untuk terus bertumbuh, walau tanahnya dikhawatirkan tidak subur. Komitmen untuk terus hidup, bahkan jika hidup ini bukan yang saya minta. Setidaknya keinginan belajar dan tumbuh itu ada—yang penting ada kemauan hidup, udah!

Sebab kadang sialnya, hidup terasa seperti ampas kopi yang terpaksa kita minum, dan tak sengaja tertelan—tapi tetap harus kita teguk.

Terimakasih untuk “saya” di versi lama, dengan segala keangkuhan dan fafifu idealismenya. Berkatnya membuat saya terus belajar dan pada akhirnya saya bisa berbaur dan bersinergi dengan apapun itu. Yang saya sukai ataupun tidak. Terima kasih! Hidup saya lengkap dari mari kita belajar menerima hidup yang tidak pernah kita pilih itu!

Penulis liar, membuat lirik lagu, membuat satire, membuat puisi, membaca puisi, dan sedang menulis buku pertamanya. pelajar ilmu kehidupan yang sungkan naik kelas.

Related Post

No comments

Leave a Comment