
Setelah menjabat sebagai menteri keuangan sekitar 17 tahun (ya gak berturut-turut sih) Sri Mulyani Indrawati akhirnya turun juga dari tahtanya, lewat perombakan kabinet Merah Putih yang dilakukan oleh Presiden Prabowo Subianto. Penggantinya adalah Purbaya Yudhi Sadewa, yang sebelumnya menjabat sebagai Kepala Lembaga Penjamin Simpanan periode 2020-2025.
Yang pertama kali naik ke permukaan tentang Menteri Keuangan baru ini adalah sikap sederhananya yang masih bersedia makan pecel di pinggir jalan dan sikap koboinya. Untuk yang pertama Minpang merasa trauma aja sih, sebab dulu juga pernah ada politisi yang branding-nya merakyat tapi ketika menjabat malah merusak tatanan demokrasi. Anjay~
Untuk sikap koboinya, yang kalau bicara agak frontal, justru Minpang tunggu-tunggu.
Tapi ternyata, statement pertama yang meluncur dari mulut Purbaya Yudhi Sadewa adalah mengatakan bahwa tuntutan demonstrasi 17+8 yang ramai saat itu adalah suara dari sebagian kecil masyarakat Indonesia. Kalau ekonomi kita maju masyarakat akan sibuk cari kerja dan makan enak.
Mengecewakan sekali! Statement tersebut menggambarkan bahwa Purbaya Yudhi Sadewa tidak mengikuti gejolak yang sedang terjadi di tengah masyarakat. Purbaya juga harusnya berkaca dari Revolusi Chile bahwa pertumbuhan ekonomi yang pesat saja tidak bisa menyelesaikan masalah jika distribusinya timpang.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia saat Sri Mulyani menjabat menteri keuangan mengalami kemandekan di angka 5 persen tiap tahunnya. Maka masuknya Purbaya sebagai menteri keuangan yang baru menjadi momen yang pas untuk merombak langkah-langkah yang ditempuh untuk peningkatan ekonomi.
Lalu apa saja gebrakan yang telah diambil Purbaya sebagai menteri keuangan?
Pertama, Purbaya menggelontorkan uang sebesar 200 triliun rupiah dari Bank Indonesia ke lima bank badan usaha milik negara (BUMN). Kelima bank tersebut adalah Bank Mandiri, Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Tabungan Negara (BTN), Bank Negara Indonesia (BNI), dan Bank Syariah Indonesi (BSI).
Purbaya menekankan agar uang itu digunakan untuk menyenyalurkan kredit dan sudah mewanti-wanti agar bank tidak membeli Surat Berharga Negara (SBN). Artinya uang ini harus sampai ke masyarakat, harus sampai ke peminjam modal untuk usaha-usaha warga. Artinya lagi, dalam beberapa waktu ini bank sedang dalam masa mudah memberikan pinjaman sebab jika uang itu dibiarkan mengendap, bank bakal merugi karena mesti menanggung beban bunga dari rekening pemerintah.
Dari cara penyaluran dana 200 triliun rupiah ini, kita bisa melihat perbedaan madzhab ekonomi antara Sri Mulyani dan Purbaya Yudhi Sadewa. Sri Mulyani yang lebih ketat mengeluarkan uang, dalam artian defensif sementara Purbaya lebih agresif agar ekonomi berputar dari bawah ke atas.
Keduanya tentu memiliki sisi positif dan resiko masing-masing. Namun yang lebih diharapkan dari Purbaya tentu saja mengeliminasi hal-hal buruk yang sering dilakukan Sri Mulyani, terutama urusan utang pemerintah.
Kegagaalan menahan utang pemerintah ini tentu saja membebani APBN secara signifikan. APBN jadi kekurangaan daya untuk menstimulus perekonomian dan melindungi rakyat miskin. Beban utang jatuh tempo negara pertahun 2005 mencapai 800,33 T dan pembayaran bunga utangnya 552,1 T. Angka yang sangat tingi tentunya dibanding utang pinjol Minpang.
Di sisi lain, narasi yang keluar dari keputusan yang diambil Purbaya Yudhi Sadewa mulai membaik. Senang rasanya melihat pejabat publik yang bisa belajar dari kesalahan pertamanya. Ia menolak kebijakan Tax Amnesty karena baginya Tax Amnesty hanya akan buat wajib pajak enggan membayar dan malah terus menerus mengharap ampunan. Keputusan lainnya adalah mengambil kembali dana yang tidak terserap oleh instansi negara, keputusan yang langsung ditentang oleh Ketuaa Badan Anggaran DPR, Said Abdullah.
Ini belum sebulan Menteri Keuangan yang baru ini bekerja, belum banyak yang bisa dinilai darinya. Tapi kami berharap semoga keputusan yang diambil ke depannya selalu mengutamakan rakyat, meskipun anaknya ngehek juga.