Dear…
“It’s the emptiest and yet the fullest of all human messages: Good-bye.”—Kurt Vonnegut, Bluebeard.
Kita akhirnya mengerti, sudah sampai waktunya saling pergi. Membuka pintu, mulai berjalan meski batin kelu, demi melihat hari-hari yang baru.
Kamar sudah terlalu gelap, terlampau pengap. Kita sama-sama tak bisa terus di sini. Kau dan aku bicara dengan bahasa dari negeri yang berbeda.
Barangkali itulah sebab kita sadar kian saling terasing. Pelukan-pelukan ada cuma buat menyadari betapa kita dua ruang kosong yang bersebelahan.
Begitu kosongnya itu ruang, sehingga kita sadar, tak ada yang lain di kamar itu. Bahkan muasal suara yang ada, cuma degup dada kita saja. Sudah bukan kamar namanya jika cuma terisi tubuh yang sering disangsikan pemiliknya.
Meski begitu, manisku.
Apapun yang mengingatkanku padamu, seperti sampah makanan cepat saji, helai rambut di lantai, atau aroma parfum biasa dari minimarket waralaba, adalah serpihan dari milik kita yang sudah pecah.
Cuma sisa serpihan, tanpa penyesalan, seperti awal-awal sekali. Sudah mulai bisa tersenyum mengingat kita yang pernah asyik saling memeluk dan bertukar ciuman.
Kuharap sesuatu yang bagus terjadi dalam hidup kita, meski tidak saat ini. Sehingga kau tak perlu menanyaiku, apa aku sudah melupakanmu.
“Cinta begitu pendek, melupakan begitu panjang,” ucap Neruda.
Meski sering kutanyakan pada diri sendiri. Sedang baca buku apa kamu belakangan ini? Lagi dengar lagu apa? Lagi nonton serial apa?
Tentu tak bisa kutepiskan harapan untuk menanyakannya langsung dan bertemu denganmu. Begitu inginnya sampai sedikit putus asa dan berpikir banyak hal bodoh. Aku sering berharap pada kebetulan—untuk tidak menyebutnya keajaiban.
Kota ini tidak luas, cuma 5000 penduduk saja. Jika dihitung skala probabilitasnya, harusnya tidak perlu sampai 100 tahun agar kebetulan bisa mempertemukan kita.
Bahwa kita akan bersinggungan di pintu Indomaret, atau satu gerbong di kereta. Mungkin aku akan melihatmu sendirian dengan sweter merah kesukaanmu, jeans longgar hitam, kacamata, sepatu kets putih, dan tas rajut dengan isi botol minuman bertuliskan “Hari Perempuan Internasional 2019”, dompet, buku catatan kecil, charger, dan perangkat makeup travel-mu.
Kau tahu, aku ingin membicarakan autobiografi Susilo Bambang Yudhoyono lagi denganmu. Buku yang kebetulan kita baca saat sekolah. Kita senang cara penulisnya menggambarkan bagaimana SBY menyalami orang, SBY main bola, bahkan SBY main gitar. Kita senang kenapa penulis itu meyakinkan jiwa kanak kita untuk segera mendaftar sebagai pemilih di kotak suara.
Aku geli memikirkan bagaimana kita bisa suka SBY, meski aku lebih menyukaimu saat itu. Namun, sekarang aku merasa lebih ingin menyukai diriku sendiri.
Sudah lewat berbulan-bulan dari kebiasaanku yang aneh semisal, setiap muncul keinginan menemuimu saat itu, aku pergi ke kafe Jon’s di Cikampek, titik antara tempatmu dan aku tinggal. Memesan kopi, memakai headset, menulis atau membaca, lalu pulang lagi ketika kurasa sudah cukup.
Kini tak ada Jon’s lagi dalam delapan bulan terakhir, dan headset sudah lama lepas. Pertanda bagus. Aku sudah berjalan. Melanjutkan. Meski aku masih menulis seperti orang kesetanan.
…, meski surat ini kuharap bisa masih panjang lagi, namun kini rasanya harus diakhiri.
Artie Ahmad menulis judul buku yang menarik: Cinta yang Bodoh Harus Diakhiri. Meski aku tak tahu isinya, rasanya itulah yang cocok dikatakan saat ini.
Kau pernah bilang, kau benci orang yang meminta maaf sekaligus berterima kasih dalam satu tarikan napas. Kini biar kuganti dengan yang lebih baik: selamat tinggal.
Seperti Vonnegut bilang, “Tak ada kata yang lebih kosong sekaligus berisi dalam sejarah umat manusia selain ‘selamat tinggal.'”
Maka, selamat tinggal. Entah ada isinya, atau kosong sama sekali, surat selamat tinggal ini harus kutulis untukmu.