Long Weekend dan Jebakan Healing buat Kita Semua

Gusta

Kulari ke pantai, kemudian kupinjol. Kulari ke hutan, kemudian digigit ular. Kita journaling, tapi sambil ngecek likes. Kita liburan, tapi berutang demi terlihat aesthetic.

Senja baru 30 hari bekerja di sebuah agensi kreatif di bilangan Jakarta Selatan. Perempuan 25 tahun itu datang dari Karawang, membawa mimpi dan harapan untuk sukses di kota besar. Setiap hari ia datang paling pagi dan berusaha tampil profesional, tangguh, dan menyenangkan.

Ia sadar betul, menjadi “anak baru” berarti harus pandai menyesuaikan diri. Terutama dengan para senior yang sudah saling mengenal seperti keluarga. Salah satunya adalah Kak Rani — stylish, popular, dan seorang Influencer ikon “healing” dan “work-life balance.” Di mata Senja, Kak Rani adalah panutan: kuat, bebas, dan selalu tampak bahagia.

Suatu Jumat sore, Kak Rani menghampiri Senja di pantry.

“Senjaaa! Healing yuk minggu depan! Kita ke pantai. Anak-anak kantor ikut semua, jangan sampai kamu doang yang enggak.”

Senja tersenyum kikuk. “Eh… healingnya ke mana, Kak?”

“Ke Bali. Tiketnya agak mahal sih. Tapi healing itu investasi diri, Beb. Jangan sampai lo kerja terus sampe lupa nyayangin diri lo sendiri.”

“Kalau duit lo belum cukup, ya pinjol dulu aja. Banyak kok yang bunga rendah. Nanti gaji bulan depan bisa nutup,” ucap Kak Rani enteng.

Malam itu Senja bengong berjam-jam di atas kasurnya, terus memikirkan kata-kata kak Rani. Investasi diri. Kalimat itu berputar-putar di kepala Senja. Tapi, yang juga berputar adalah saldo rekeningnya yang tak seberapa. Gaji pertamanya bahkan belum cukup buat melunasi cicilan Iphone 12-nya. Senja takut menolak, takut dianggap tidak bisa bergaul. Takut dicap “biasa-biasa aja.”

Sampai akhirnya Senja mengunduh aplikasi pinjaman online. Dalam lima belas menit, uang 1,8 juta sesuai ongkos buat healing ke Bali masuk ke rekeningnya. Rasanya seperti keajaiban, tanpa sadar itu adalah awal dari luka baru yang perlahan menggali lubang di dadanya.

Minggu depannya Senja sudah sampai di Bali, surga liburan apalagi untuk pecinta pantai seperti Senja. Hari itu Senja berdiri di tepi pasir, matanya menatap biru yang luas. Tapi, dadanya tetap sesak. Ia mencoba tertawa bersama yang lain, berfoto, melempar caption seperti resetting my soul atau vitamin sea.

Meski nyatanya pikirannya terus berisik:

Gimana kalau bunga pinjolnya nambah?”

Gaji bulan depan cukup nggak ya?”

Kenapa aku gak bisa bilang enggak?”

Ia pikir healing bisa jadi jalan keluar dari kepenatan mental — obat dari overthinking yang tak kunjung reda. Tapi, di sinilah ironi itu terjadi: untuk menyembuhkan pikirannya, ia menambah beban baru yang lebih nyata — ya, utang!

Alih-alih menyembuhkan, healing itu justru memicu overthinking yang lebih dalam. Kini, Senja tak hanya memikirkan beban kerja, tapi juga utang yang membengkak, citra diri yang dipertaruhkan, dan kecemasan seperti racun yang menetes tiap jam.

Healing ke Bali bukan proses penyembuhan tapi penyangkalan. Senja tidak memproses luka, ia cuma menutupnya dengan pemandangan cantik dan foto-foto buat konten medsos. Setelah kembali ke Jakarta, utang dan rasa bersalah menyambutnya tanpa kompromi.

Setiap malam, ia tidak bisa tidur. Detak jantungnya cepat. Matanya lelah tapi pikirannya tak mau berhenti. Kali ini bahkan lebih parah, ia terus mengulang-ulang kalimat dalam kepalanya:

Harusnya aku berani nolak.”
Harusnya aku bilang belum mampu.”
Kenapa aku mikirin omongan orang lain?”

Ia menghindari membuka WhatsApp karena notifikasi dari pinjol terus berdatangan. Pesan-pesan seperti:

“Segera bayar atau data Anda kami sebar!”
“Utang adalah tanggung jawab. Jangan lari!”

Membuat malam-malam Senja menjadi sangat panjang dan bermesraan dengan mimpi buruk setiap hari, hingga suatu malam, setelah notifikasi hutang ke-20 berbunyi, Senja menutup laptopnya dan mematikan lampu. Ia duduk di lantai kamar kosnya, memeluk lutut sendiri.

Untuk pertama kali dalam hidupnya, ia tidak menahan tangis. Tangisan itu bukan karena utangnya, bukan karena seniornya, tapi karena penyesalan terhadap pilihan yang dia ambil dalam ketidaksadaran yang membuatnya merasakan neraka dunia.

Kita hidup di era di mana pikiran tak pernah benar-benar bisa diam. Di tengah arus media sosial, tuntutan produktivitas, dan tekanan pencitraan diri, banyak dari kita—terutama Gen Z—terjebak dalam satu pola berulang yang tak terlihat bernama overthinking.

Dalam psikologi, overthinking sering dikaitkan dengan konsep rumination yang diperkenalkan oleh Susan Nolen-Hoeksema (2000), seorang tokoh dalam studi psikologi kognitif. Rumination adalah kebiasaan mengulang-ulang pikiran negatif atau masalah tanpa menghasilkan solusi yang nyata. Nolen-Hoeksema menyebut ini sebagai bentuk pasif dari coping mechanism yang justru melahirkan kecemasan hingga depresi.

Menurut studi dalam Journal of Abnormal Psychology (Nolen-Hoeksema, Wisco, & Lyubomirsky, 2008), overthinking berkontribusi besar terhadap munculnya gangguan suasana hati seperti depresi, serta melemahkan fungsi pengambilan keputusan. 

Banyak dari kita akhirnya terjebak dalam kontradiksi yang menyakitkan: berusaha sembuh dari overthinking dengan cara-cara yang justru memperparah kondisi. Kulari ke pantai, kemudian kupinjol. Kulari ke hutan, kemudian digigit ular. Kita journaling, tapi sambil ngecek likes. Kita liburan, tapi berutang demi terlihat aesthetic.

Overthinking gak bisa disembuhkan dengan kabur. Ia butuh keberanian untuk menghadapinya. Seperti dalam terapi Cognitive Behavioral Therapy (CBT) yang dikembangkan oleh Aaron T. Beck, salah satu prinsip dasarnya adalah mengidentifikasi pola pikir negatif dan menggantinya dengan pola pikir yang lebih rasional. Dalam pendekatan ini, penyembuhan bukan tentang pergi, tapi tentang memproses.

Banyak orang berusaha meredakannya dengan apa pun yang terlihat seperti pelarian sehat: jalan-jalan, staycation, healing. Tapi kalau dilakukan tanpa kesadaran, healing bisa berubah menjadi bentuk baru dari spiritual bypassing — ketika kita lari dari masalah dengan membungkusnya dalam aktivitas “positif” yang semu.

Entah bagaimana awalnya, sampai kata healing begitu gencar di media sosial. Konsep healing yang dulunya merupakan bagian dari proses penyembuhan psikologis kini berubah bentuk menjadi gaya hidup.

Kita melihat healing sebagai konten bukan kontemplasi, menjadikannya pelarian, bukan penyembuhan. Healing bukan lagi sebatas sesi terapi, tapi sudah meluas ke liburan, staycation, yoga, journaling, hingga skincare routine.

Dalam praktik psikoterapi, healing sebetulnya erat kaitannya dengan proses self-awareness, emotional regulation, dan acceptance—hal-hal yang dibahas dalam pendekatan terapi seperti Acceptance and Commitment Therapy (ACT) dan Mindfulness-Based Stress Reduction (MBSR) yang dikembangkan oleh Jon Kabat-Zinn (1990).

Menurut Bishop et al. (2004) dalam Clinical Psychology: Science and Practice, mindfulness dan healing hanya efektif jika dilakukan dengan kesadaran penuh—yakni mengamati pikiran tanpa menghakimi dan mengaitkannya dengan emosi secara sadar. Healing yang sesungguhnya tidak selalu berbentuk destinasi. Ia bisa berbentuk keputusan untuk memaafkan diri. Ia bisa berbentuk keberanian untuk berkata “tidak” pada ajakan yang melukai dompet dan harga diri. Ia bisa berbentuk sesi terapi atau tulisan jujur di jurnal harian.

Kita tidak harus selalu pergi untuk menemukan ketenangan. Kadang, kita hanya perlu duduk diam, mendengar, dan bertanya pelan pada diri kita sendiri:

Apa yang benar-benar aku butuhkan hari ini?”

Sebab pada akhirnya, penyembuhan bukan soal pergi dari tempat yang bising. Tapi, soal menciptakan ruang tenang di dalam kepala sendiri.

Menghadapi overthinking bukan tentang menekan pikiran hingga lenyap. Sebaliknya, ini adalah tentang mengenali suara-suara di kepala kita, memvalidasi keberadaannya, dan memutus siklusnya secara sadar.

Banyak orang berpikir bahwa overthinking bisa diatasi hanya dengan kalimat ajaib seperti,

“Udah sih, jangan dipikirin terus!”

Padahal, pikiran yang berulang-ulang itu bukan sekadar kebiasaan buruk—ia seringkali adalah bentuk coping mechanism dari rasa cemas, takut, atau trauma yang belum selesai.

Menurut pendekatan Cognitive Behavioral Therapy (CBT) yang dirintis oleh Aaron T. Beck, satu diantara langkah paling efektif untuk mengatasi overthinking adalah dengan mengidentifikasi pikiran irasional dan menggantinya dengan pola pikir yang lebih adaptif.

Nah, kamu bisa mulai itu dengan melakukan hal-hal ini:

Sadari Polanya

Langkah pertama adalah menyadari kapan kita mulai overthinking. Apakah saat malam hari sebelum tidur? Setelah bertemu orang baru? Setelah gagal dalam sesuatu? Kesadaran ini penting sebagai alarm awal. Tanpa kesadaran, overthinking akan terasa seperti arus deras yang menenggelamkan kita perlahan.

Tantang Pikiran Itu

Tanyakan pada pikiran kamu sendiri:

“Ini fakta atau cuma asumsi?”

“Apa aku melihat hal ini secara objektif atau malah larut dalam skenario terburuk?”

Pendekatan ini sering digunakan dalam CBT untuk membantu individu keluar dari thinking trap—jebakan pola pikir yang memperkeruh keadaan.

Ubah Fokus ke Tindakan Kecil

Overthinking bisa bikin kamu terjebak dalam kepala sendiri. Maka, lawannya adalah bergerak. Gak mesti langsung besar. Sesederhana mandi, nulis jurnal, atau menyapu kamar bisa menjadi titik balik kecil untuk mengalihkan perhatian dari dalam kepala ke tindakan yang real.

Latihan Mindfulness

Menurut pendekatan Mindfulness-Based Stress Reduction (MBSR) oleh Jon Kabat-Zinn, manusia bisa melatih pikiran untuk mengamati tanpa menghakimi. Teknik ini mungkin tidak langsung menghilangkan overthinking, tapi ini bisa mengurangi cengkeramannya pada pikiranmu. Dengan latihan pernapasan, meditasi, atau sekadar menyadari detak jantung sendiri, kita memberi ruang pada diri untuk mengendalikan pikiran, dan mulai menyaksikannya saja.

Berani Bicara

Kadang overthinking terjadi karena kita menumpuk segalanya sendiri. Maka, berbagi bisa menjadi bentuk penyembuhan. Entah ke sahabat, pasangan, atau profesional. Konseling adalah ruang aman untuk merapikan benang kusut di kepala.

Terima bahwa Tidak Semua Harus Diselesaikan Sekarang

Kita sering overthinking karena ingin semua tuntas hari ini. Tapi, kehidupan bukan spreadsheet yang bisa dirapikan dalam sekali duduk. Ada hal-hal yang harus dijalani dulu baru mengerti. Ada yang perlu dibiarkan tidak selesai dulu. Kadang, menerima adalah bentuk kontrol terbaik.

Mengatasi overthinking bukan tentang menjadi “selalu tenang”, ini tentang berlatih mengendalikan diri setiap badai datang. Seperti otot yang dilatih, kemampuan mengelola pikiran juga tumbuh dengan konsistensi.

Maka, jika hari ini kamu masih sering berpikir berlebihan, itu bukan kelemahan. Itu adalah sinyal: kamu manusia dan kamu sedang belajar.

“Pikiran kita seperti langit. Kadang mendung, kadang cerah. Tapi langitnya tetap ada, tak pernah hilang.”

Konselor, aktor, terapis, enterpreneurship, dan berpuisi. Sedang merakit akun jasa konseling dan terapis psikologi di temendeket.co sejak 2024, menjadi pelatih basic acting di Teater Topeng Maranatha sejak 2019 - 2023, Menjalankan bisnis es kopi dengan merk gustaandco sejak 2015, Malam Puisi Cikampek juga.

Related Post

No comments

Leave a Comment