“Yah, kayaknya liburan Imlek minggu depan aku nggak bisa ikut deh. Sekolahku nggak ikut cuti bersama di tanggal 28,” ucap Sekar lirih, wajahnya tampak kecewa.
“Lah, sekolahmu itu gimana sih? Wong jelas-jelas sudah ada surat keputusan dari kementerian.”
“Ya nggak tahu, Yah. Jangan protes ke aku, percuma. Kalau mau protes, ya besok Ayah ke sekolahku aja. Langsung ke kepala sekolah.”
“Iya, Yah, protes langsung ke sekolahnya Kakak aja. Pokoknya liburan kita must go on lah!” si kecil Bhre ikut mengompori.
“Woke, siapa takut? Besok Ayah ke sana. Sekolahan macam gini memang mesti diprotes tanpa tedeng aling-aling. Biar nggak bikin kebijakan seenak udelnya sendiri!” pungkas Kang Turah tegas.
Ia berniat melabrak sekolah Sekar, sebuah madrasah sanawiah swasta di pinggiran kota. Tekadnya sudah bulat untuk menuntut sekolah agar mengembalikan jatah cuti bersama. Bukan hanya demi liburan keluarganya sendiri, tetapi juga untuk menegaskan bahwa institusi pendidikan harus tunduk pada keputusan pemerintah.
Kang Turah sudah membayangkan sejak jauh-jauh hari bahwa minggu terakhir Januari bakal seru. Sejak Desember tahun lalu, ia telah menandai kalender di ruang tamunya dengan board marker merah. Ada lima hari libur berturut-turut, dari tanggal 25 hingga 29, termasuk cuti bersama di tanggal 28.
Sebagai ayah dan suami yang baik—setidaknya menurut keyakinannya sendiri—ia telah menyiapkan liburan spesial untuk keluarga. Baginya, ini penting karena jarang-jarang ia bisa meluangkan quality time. Sebagian besar waktunya habis untuk kerja, kerja, dan kerja.
Ia memang tipe pegawai negeri yang penurut dan rajin, selalu manut pada kata presidennya. Meskipun sadar bahwa unen-unen sang patron bisa jadi cuma jargon belaka, tak lebih dari lip service untuk ngapusi rakyat.
Kembali ke soal liburan, Kang Turah sudah memesan paket perjalanan ke Cappadocia untuk empat orang. Iya, Cappadocia di Turki sana. Ini demi mewujudkan keinginan Yu Sumeleh, istrinya, yang kepengin liburan ke negeri Erdogan gegara sinetron Layangan Putus. Perkara tiket yang mahal tak jadi soal. Yang penting, istri dan anak-anaknya senang.
Namun laporan Sekar barusan membuatnya emosi. Sebenarnya, ia bisa saja mengambil jalan senyap—tetap membawa Sekar liburan tanpa izin sekolah. Paling banter cuma dicatat bolos dua hari. Tapi secara prinsip, ia ingin mengajarkan anak-anaknya untuk memperjuangkan hak mereka secara legal. Hak untuk libur, tanpa dihitung bolos.
Esoknya, pukul tujuh pagi, Kang Turah sudah duduk manis di lobi depan ruang kepala sekolah. Ia menunggu Pak Lantip, sang kepala sekolah, yang masih memimpin apel guru di lapangan. Sebenarnya, ia cukup mengenal Pak Lantip karena sering bertemu di lapangan badminton. Jadi, untuk sekadar protes, ia tidak canggung.
“Assalamualaikum, Kang Turah,” terdengar suara Pak Lantip sepuluh menit kemudian. “Kok njanur gunung, pagi-pagi sudah berkunjung. Ada perlu apa ini?”
“Waalaikumsalam. To the point aja, saya mau protes.”
Pak Lantip sudah cukup memahami adat orang yang ada di hadapannya. Blakblakan, tingkahnya sludar-sludur macam orang ngawur. Tapi entah bagaimana, jalan pikirannya selalu masuk akal.
“Mari masuk ke ruangan saya dulu, Kang. Duduk yang jenak dulu,” ucap Pak Lantip sambil membuka pintu ruangannya. “Bagaimana kabarnya, Kang? Sehat?”
“Alhamdulillah, puji Gusti, saya sehat walafiat. Pikiran juga masih jernih dan waras. Nggak pakai basa-basi, Pak, tolong njenengan jelaskan, kenapa sekolah ini tidak ikut cuti bersama di hari Imlek lusa?”
“Begini, ini kan madrasah sanawiah, Kang. Artinya sekolah Islam, yang tentu saja sampeyan sudah paham. Sedangkan Imlek itu hari besarnya agama lain. Jadi ya lumrah dong kalau kami memutuskan tidak ikut libur.”
Pak Lantip haqul yakin jawabannya akan diterima Kang Turah karena ia merasa berlandaskan nalar.
“Oh, jadi begitu nalar sampeyan… Paham.”
Pak Lantip mesam-mesem, merasa puas bisa meladeni protes Kang Turah yang terkenal ngeyel. Namun ternyata, si tukang ngeyel itu masih melanjutkan omongannya.
“Eh, Anda ini nggak sungkan sama almarhum Gus Dur?”
“Lho, kenapa sampeyan bawa-bawa nama Gus Dur segala, Kang? Apa hubungannya cuti bersama dengan rasa sungkan kepada beliau? Saya kok nggak mudheng.”
“Lha iya. Yang menjadikan Imlek sebagai hari libur nasional itu Gus Dur, pas beliau jadi presiden. Tujuannya untuk menghormati dulur-dulur etnis Tionghoa supaya mereka bisa melestarikan warisan budayanya. Ini bukan soal agama. Wong saudara-saudara Tionghoa itu agamanya macam-macam—ada yang Kristen, Katolik, Buddha, Konghucu, bahkan Islam. Tapi terlepas dari perbedaan itu, mereka semua tetap merayakan Imlek.”
Pak Lantip mulai ciut. Tingkahnya jadi serba salah. Sementara Kang Turah masih terus nyerocos.
“Lha, njenengan kok berani-beraninya nggak menaati keputusan yang diwariskan Gus Dur? Sekolahan ini mengajarkan nilai-nilai Islam, lho. Dan salah satu value yang wajib diajarkan dalam Islam adalah taat kepada ulama dan umara. Terus, Gus Dur itu kurang apa, sih, Pak? Beliau itu ya pemimpin, ya ulama. Anda yang cuma kepala sekolah kok berani-beraninya nyulayani?”
Pak Lantip mulai gemetar. Keringatnya gobyos, seperti habis lari mengitari lapangan dua puluh tujuh kali. Namun, ia masih berusaha mencari alasan lain.
“Ini bukan perkara sungkan atau tidak, Kang. Bukan pula soal taat atau tidak. Tapi waktunya ini sudah mendekati ujian. Jadi anak-anak biar bisa belajar lebih intensif, nggak kebanyakan libur.”
“Oh, begitu? Ya masuk akal sih. Memang nyata-nyata sampeyan itu lebih pandai daripada para ulama dan pemimpin negara. Tapi begini… Kalau nanti tahun baru Muharam sekolah-sekolah lain nggak libur, sampeyan jangan baper, ya? Jangan sampai protes, apalagi sampai demo berjilid-jilid ke Monas.
“Pokoknya begini, Pak, kembalikan jatah cuti bersama. Kalau tidak, saya tulis di media. Biar sampeyan terkenal!” ancam Kang Turah sambil ngeloyor pergi. “Dah, wassalamu’alaikum.”
Catatan
1. Tanpa tedeng aling-aling = tanpa basa-basi.
2. Manut = penurut.
3. Unen-unen = kata-kata.
4. Ngapusi = menipu.
5. Njanur gunung = tumben.
6. Sludar-sludur = suka nyelonong.
7. Mesam-mesem = senyum-senyum.
8. Mudheng = mengerti, paham.
9. Nulayani = mengingkari.
10. Dulur-dulur = saudara-saudara.
11. Panjenengan, sampeyan = Anda, kamu.