Udara yang menusuk. Jiwa yang enggan berubah. Air yang terlalu tajam untuk mandi. Kupaksakan ambil air wudhu untuk membersihkan kedua lenganku. Apakah secara otomatis membersihkan hatiku? Segala macam kotoran melumuri dosa masa lalu. Kotoran yang melekat untuk menyuburkan tanaman. Tanamanku menjadi subur. Ada guna juga sebuah kotoran, jika dimanfaatkan untuk kebaikan. Tidak semua kotoran hanya berakhir di kandang kambing. Kambingku dicuri orang yang membutuhkan. Aku marah, kesal dan benci semoga yang mencuri mendapatkan takdir buruk. Kotoranku semakin melekat, dikelilingi marah, kesal dan benci. Dikelilingi sumpah serapah kepada pencuri kambing.
Kupanjatkan doa pada yang Maha Kuasa. Entah berapa kali gagal dan berhasil, aku tak peduli. Kuyakin Tuhan maha mendengar hambanya yang sedang dilanda duka lara. Walaupun aku mendekat dalam keadaan butuh bukan berdasarkan patuh. Aku adalah orang yang egois mengingat Tuhan hanya dalam keadaan duka. Di masa bahagiaku, Tuhan kukesampingkan. Aku adalah wujud kesombongan sejati, sembari mencari-cari kesalahan negara sampai berpikir “Apa lebih baik negara dibubarkan saja? tapi siapa yang akan mengurusiku membuat kartu nikah?”
Terasa indah. Sungguh indah. Jika melihat ke masa lalu. Aku dan kamu berucap janji sehidup semati. Dunia milik kita berdua yang lain hanya ngontrak. Aku putuskan merangkai masa depan. Kupilih bunga dari sekian nama bunga yang ada. Ada mawar yang selalu memesona. Ada matahari yang selalu mandiri berdikari, berdiri di atas kaki sendiri. Ada anggrek yang selalu merunutkan keindahan tanpa perlu banyak tanya dan banyak bicara.
Aku jatuhkan pilihan itu pada kamu Melati. Ya, kamu. Wujud dari kelembutan, kesederhanaan dan kesucian. Namun kesucian itu hanya milik kamu bukan milik kita. Bukankah nanti aku dan kamu menjadi. Alangkah lebih baiknya, kita bicarakan baik-baik. Segala hal yang tak berujung, segala bayang yang tak jelas. Segala resah yang berujung tenang. Segala takdir yang tak mungkin kita ubah. Bukankah masih bisa kita minimalisir dari setiap keburukan yang mungkin akan terjadi atau mungkin tidak sama persis seperti pinang dibelah dua.
“Aku pamit”, kata Melati sembari membawa beratnya tisu yang ia genggam karena kelebihan air matanya.
Suara bising peluit penjaga kereta dan announcer kereta api pun seakan sunyi, aku tak peduli. Aku hanya fokus untuk menahan kepergian Melati.
“Melati, Melati, Melati!” teriakku.
Psikologi yang paling mahal adalah berteriak di atas keramaian. Aku seakan lepas dari belenggu cinta Melati, sekaligus remuk dengan puing-puing harapan. Kupikir aku bisa membangun rumah ternyata hanya singgah.
“Kang, ini price list foto prewedding-nya.”
Handphone-ku bergetar. Kucoba membuka layar ponselku dan kubaca itu dari Ikram, fotografer sahabatku.
Perasaan dan harapan sebagai pengingat serta abadi menjadi kenangan yang mungkin tak akan bisa terulang dengan orang yang sama. Setiap petualangan menyisakan beribu persinggahan. Berjuta kenangan. Akhir cerita. Entah akan mendapatkan jawaban atau hanya menyisakan pertanyaan selamanya. Tak semua pertanyaan harus dijawab. Tak semua pertanyaan harus diselesaikan. Ada beberapa hal yang seninya justru terletak pada yang tidak pernah selesai itu. Misalnya kisah aku dan Melati.
“Ya, hidup ini kadang lucu dan tragis,”
“Buat materi stand up comedy aja,” celetuk salah seorang teman bangsat.
Bintang malam dan angin malam adalah kawan. Aku dan Awan sesekali bahkan mungkin beberapa kali menghabiskan waktu hanya untuk bercerita. Dia begitu menikmati rokoknya. Sementara aku menikmati kesepianku. Tanpa disadari ragaku bersama Awan sementara jiwaku melayang bagaikan terbang dengan pesawat Jet Tempur F-35. Kuledakkan kepalaku. Walaupun banyak anak-anak yang tak berdosa. Aku tidak peduli.
“Kalau belum punya apa-apa, lebih baik lu gak punya siapa-siapa”, celetuk Awan kawan kuliahku.