Hari ini Rabu pada minggu kelabu, kali pertama dalam minggu ini aku mengunjungi Ibu. Mungkin ia bangga melihat anaknya bertumbuh, atau kesal pada anaknya yang terlalu keras kepala sama dengan Ayah. Aku masuk setelah mengetuk dan mendengar suara resepsionis mempersilahkanku,
“Siang, Bu.” sapaku ramah.
Aku pun duduk dekat kursi kecil samping tangga. Sebelum mataku melirik sebuah lukisan di rumah sakit. Aku tatap terus menatap semakin dekat dan lekat. Lukisan itu menghiasi dinding. Setiap lukisan memiliki cerita tersendiri, menyiratkan harapan dan keindahan bersatu padu dalam doa membenamkan kekuatan dan ketabahan.
Aku menyimpan banyak salah di dalam diriku, tetapi aku memaafkan dan menerima. Aku mengakui banyak dosa di hadapan Tuhanku, tetapi aku tetap angkuh bersatu dengan hujan, kilat, petir, dan kenangan yang getir. Ibu akan selalu jadi jawaban untuk setiap pertanyaan yang menumpuk di kepalaku. Bukan karena tidak ada jawaban lain, tapi aku tidak pernah ingin ada jawaban lain selain dari ibu. Mungkin kita sebaiknya jadi orang asing saja. Tidak perlu melibatkan perasaan yang rumit dan justru saling menyakiti. Tidak ada doa yang sia-sia, aku mencari jalan untuk kembali kepada ibu sebagai jawaban yang terbaik.
Ingatanku melayang sambil duduk dan mampir memesan susu seharga 3.000 rupiah. Di tempat ini ada hal-hal yang menarik bukan keangkuhan, pamer jabatan, gila puji-pujian atas segala pencapaian tapi tentang obrolan politik sekelas RT/RW, tentang susahnya mengurus berkas di kelurahan, tentang bank emok yang keliling setiap hari, tentang Satpol PP yang akan merazia kupu-kupu malam dengan dalih melakukan pembinaan, tentang bapak-bapak yang mandi pagi selalu muntah-muntah karena maagnya meninggi, tentang sepinya penghasilan ojek pengkolan dan supir angkot. Seakan hidup ini hanya sekedar mampir beli kopi, susu dan di sela-sela itu hadir sedih dan bahagia.
Rintik hujan mulai turun aku terpaku depan seorang perempuan yang terbaring lemas dengan selang infurnya. Bibirku terangkat sedikit, aku diam cukup lama. Layaknya menginjak gas lalu mengerem lagi seperti itu terus sampai hari kiamat. Barangkali kita berada di fase berbeda. Barangkali kita berduka dan bergembira dengan cara masing-masing. Barangkali hasilnya juga berbeda, jika sudah takdir ya gak akan kemana.
Bumi: Bu, maafkan aku karena gak bisa bahagiakan Ibu seperti yang Ibu harapkan.
Ibu Marsinah: Sayangku, aku tahu kamu sudah melakukan yang terbaik. Aku tidak berharap banyak padamu, yang penting kamu selalu berusaha yang terbaik.
Bumi: Tapi ibuku selalu terlihat lelah dan khawatir. Aku merasa bersalah karena tidak bisa memberi mereka kebahagiaan sejati.
Ibu Marsinah: Kamu telah membawa kebahagiaan besar dalam hidupku, sayangku. Hidup bukanlah tentang hal-hal besar, ini tentang momen-momen kecil dan cinta yang kamu berikan setiap hari.
Bumi: Tapi terkadang aku merasa tidak memenuhi harapan Ibuku.
Ibu Marsinah: Anakku, kamu tidak pernah memiliki ekspektasi yang tinggi. Ibu hanya ingin kamu bahagia dan sehat. Yang paling penting adalah menjadi diri sendiri dan hidup sesuai dengan nilai-nilai yang kamu yakini.
Bumi: Terima kasih, Bu. Aku akan berusaha menjadi lebih baik.
Ibu Marsinah: Kamu luar biasa apa adanya, Sayang. Ingat, Ibu selalu mencintaimu tanpa syarat. Kita akan melalui semua ini bersama-sama.
Bumi: (tersenyum) Aku beruntung mempunyai Ibu sepertimu. Terima kasih atas dukungannya, Bu.
Ibu Marsinah: Sama-sama, Sayang. Hal terpenting saat ini adalah kami saling mendukung dan ada untuk satu sama lain. Kita akan melalui semua ini bersama-sama.
Bumi tak mengutarakan apa pun. Ketika hujan semakin syahdu mengiri malam menunggu pagi. Dudukku berpindah jalur dari arah kanan, ke arah kiri. Terlalu kiri seperti komunis. Kanan disebut kapitalis. Tengah-tengah dibilang tak ideologis. Makin hari makin bingun. Terdengar lagu Iksan Skuter menemaniku merenung.