Saat aku kembali ke kosanku. Langit menghujaniku dengan beberapa pertanyaan, layaknya interogasi seperti intel pada targetnya. Biasanya kami berdiskusi berjam-jam, berdebat hingga lupa esok hari adalah pemilu. Lalu kami melahap ciuman dengan gigitan-gigitan kecil imajinasi sebagai pemantik diskusi. Pelukan adalah tempat ternyaman saat argumentasimu selalu dipatahkan apalagi oleh kekasihmu.
“Hai. Lagi capek, ya?”
“Enggak biasa aja,”
Senyuman palsu Bumi sudah terbaca seperti rumus jarimatika oleh Langit. Dia selalu meneduhkan Bumi, karena dia adalah kekasih yang lumayan lama bersamanya. Bertahan dengan segala keabsurdan sikap Bumi. Kadang menyinari. Kadang memberi pertanda seperti longsor untuk menyeimbangkan lempengan-lempengan Bumi. Tak lain adalah sabda alam dalam memahami bumi. Bukan hanya sekedar singgah, lalu pergi. Untuk apa engkau mendaki gunung jika hanya untuk mencemarinya? Untuk apa mendaki gunung jika kesekretariatanmu saja penuh puntung rokok? Apakah aku yang akan membakarmu menjadi abu dan kutuangkan ke dalam asbak?
“Tiga bulan ke depan, aku bakal jarang ketemu karena ada Kuliah Kerja Nyata (KKN),” tukas Bumi.
“Iya gak apa-apa aku paham, kok. Kamu harus menyelesaikan apa yang harus diselesaikan. Kamu harus bertanggungjawab atas pilihanmu. Hanya seorang pengecut yang berani meninggalkan pilihan tanpa keputusan yang jelas, apalagi meninggalkan seorang buah hati,” ucap Langit seraya menghapus beban mata yang terjatuh basah ke lantai.
“Oh iya, bagaimana kabar Cimit, Sayang? Tumben beberapa hari ini kamu jarang video call sama dia. Cimit sehat, kan?”
“Dia sebentar lagi mau masuk Sekolah Dasar.”
***
“Jangan merusak alam, tapi manusia selalu merusaknya”.
Kata-kata itu terus menghantuiku setelah sebelum tidur berdiskusi dengan Abah Engkos dan Bu Runti. Mereka adalah dua orang sarjana mantan kekasih yang sekarang sudah menjadi suami istri sah. Mereka rela tinggal di Kuta Tandingan sebuah desa kecil di lereng Gunung Siliwangi. Orang-orang mengira mereka adalah dua orang gila yang sudah putus harapan dan putus asa dalam menjalani kehidupan. Namun aku berpikir mereka adalah dua orang yang visioner dalam memandang kehidupan untuk generasi masa depan nanti.
Katanya negera ini menjelang generasi emas. Namun emas seperti apa yang didambakan? Langkah konkret segala kebijakan dan anggaran mereka gunakan untuk biaya rapat retorika siang malam dan dana anggaran stunting untuk membeli telur dan susu. Hanya ada catatan pada laporan keungan sementara rakyat tetap tidak mendapatkan telur dan susu. Memang benar orang miskin tidak boleh sakit karena nanti birokrasi akan dipersulit. Katanya negeriku itu kaya raya. Tapi masih banyak yang teraniaya dan terjajah oleh rakyatnya sendiri.
Abah Engkos dan Ibu Runti menanam bambu guna proses perbaikan alam. Jika hanya menanam pohon sekali tebang akan hilang. Berbeda dengan bambu sudah banyak manfaatnya sekalinya ada yang nebang maka akan tumbuh lagi. Kata Ibu Runti, kalau hanya ilmu jagalah lingkungan, jagalah alam bla bla bla tanpa action itu adalah kotor. Ya, benar juga menurutku yang beragama islam, terang melarang untuk merusak lingkungan dalam surat Al-Araf ayat 56 pun dijelaskan bahwa,
“Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah diatur dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat dengan orang-orang yang berbuat baik.”
Beberapa manfaat bambu diantaranya bisa menahan air, bisa menyumbangkan oksigen buat alam, bermanfaat untuk bangunan dan juga bisa buat bangunan. Semoga kebaikan senantiasa yang dilakukan oleh Ibu Runti dan Abah Engkos akan berbalik kepadanya. Semesta layaknya magnet apa yang ditabur akan kembali suatu hari nanti entah itu kebaikan lewat relasi orang-orang baik, keluarga yang sehat, dan lingkungan yang mendukung.