Di suatu malam keparat, pikiranku bertanya kepada sang empunya pikiran. Denting jam terus berdetak seirama jantung dan hembusan napasku. Kubuka satu per satu halaman, menamatkan buku yang entah sudah berapa bulan belum kurampungkan. Bagiku, membaca adalah lebih dari sekedar mengisi waktu luang, melainkan mengisi waktu agar kesepianku tak sia-sia.
“Cinta adalah membebaskan, termasuk aku membebaskanmu untuk tidak mencintaiku.“
Perempuan itu menari-nari di alam pikiranku, semakin ramai, membuncah berteriak menyelinap membuat sebuah tempat-tempat kecil ke alam pikiranku. Aku sudah coba mencari apa yang kumampu tapi ternyata hampa. Begitulah kesepian dalam tubuhku tapi ramai dalam pikiran, Walaupun aku kini, sudah punya Langit. Andai ia tahu, aku sedang di ujung krisis kepercayaan diri. Melihat keluarga Langit, seperti terlalu tinggi butuh waktu naik pesawat terbang maupun pakai jasa burung Rajawali, agar aku menyamakan kedudukan.
“Sudah mau pergi lagi”? kalimat pertama keluar dari perempuan itu. “Bisa gak sih kamu selesaikan dulu apa yang kamu mulai?! Ini kamu kok malah menghindar terus-terusan!” celotehnya sembari tangannya memegang erat coklat hangat. Coklat itu meresap seperti pertanyaan yang telah diutarakan.
“Menurut Jalaludin Rumi, cinta itu tak bisa didefinisikan dengan cara apapun. Cinta tak dapat diungkapken begini, begitu dan seterusnya, meski kita mengatakannya dengan seratus lidah. Namun ungkapan tersebut tidak dapat dicerna secara mentah-mentah oleh orang awan sepertiku,” kataku sambil duduk bersandar.
“Sementara Erich Fromm melalui pendekatan versinya. Cinta adalah seni. Jika kita ingin belajar mencintai sama seperti seni. Kita harus mempelajari seni itu sendiri. Aku sepakat dengan Sujiwo Tejo, bahwa cinta itu gak pake hitung-hitungan kalau udah mulai mikir pengorbanan itu namanya kalkulasi.” aku berhenti sejenak menarik napas,
“Menurutku cinta adalah rumit. Mungkin dulu aku pernah bilang ke kamu ya, kalau gak salah. Menurut orang mudah belum tentu menurut aku juga mudah. Begitu pun menurut orang bagus belum tentu menurutku juga begitu. Kita hidup selalu dalam kerelatifan. Di mana kebanyakan orang yang berpendapat itu bagus maka mau gak mau itu harus kita anggap bagus walaupun mungkin kebagusan tersebut belum tentu sesuai dengan kemampuan kita.”
“Bisa gak sih kita berpendapat sendiri tanpa ada intervensi dari pendapat-pendapat lain?”
Suasana seketika saja menjadi hening.
“Jika meninggalkanku adalah bagian dari rasa nyamanmu maka lakukanlah, mampu tidaknya aku tanpamu biarlah jadi urusanku,” aku lalu mengutip kalimat dalam buku Kahlil Gibran,
“Semua orang akan pergi belajarlah buat bertahan sendirian. Ingat kata-kata ini kita akan belajar jadi kuat dalam menghadapi hidup ini. Aku tidak menuntut apa pun tak ingin apa pun dari kamu Langit, yang aku inginkan kebahagiaanmu, dan kesenanganmu. Kalau pun kamu mencintaiku di level yang sama maka kita akan saling melengkapi satu sama lain.” aku menarik napas dan membenahi posisi dudukku dengan santai
“Membahagiakan orang yang dicintai termasuk jika harus menikah, termasuk pula jika harus berpisah, yang dipikirkan hanya kebahagiaanmu saja karena dalam cinta egoku musnah.”