Aku membangun perpustakaan di hatiku. Kutata buku pada rak. Satu per satu kurapihkan. Ada yang usang, ada juga yang warnanya menguning. Buku itu bak kehabisan nafas semakin lama-semakin tua ditindas oleh waktu. Mataku nyalang memandang satu buku.
“Jika buku seperti manusia, ia akan mengarsipkan peristiwa yang telah terjadi. Seseorang yang pernah singgah, ia yang punya luka dan ia yang belum selesai dengan masa lalunya menjadi hantu di masa kini. Jika buku seperti manusia, ia melukis senja lalu mengubur malam.”
Serasa niskala tapi ini nyata, aku merenung sejenak, pikiranku limbung melihat hari kini menjadi puing-puing kenangan.
Kutinggalkan kamar yang berantakan. Kupergi ke ruang tamu. Kutemui wajah Ibuku. Dia senang menjahit air. Berulang-ulang layaknya memutar kaset yang kusut. Wajahnya berair penuh lumut. Semakin lama kerut semakin nyata. Sinar bulan memantul mengejawantahkan harapan dan cita-citaku. Sinar itu menuju pulau yang asing, hingga aku tak punya kendali. Mimpi itu megap-megap. Harapanku kusumpal pakai kaus kaki. Tubuhku kaku. Suaraku terus merintih. Maafkan Ibu.
Aku memiliki hak untuk menyuarakan rasa sakit. Aku juga bisa memilih memendamnya selama aku bisa. Jika memilih bersuara, maka anggap saja yang diam tidak ada luka di hatinya. Jika memilih diam, maka tidak berarti yang bersuara itu sakitnya remeh-temeh. Semua punya luka, hanya saja beda cara menanggungnya.
“Apa kabarmu, diriku? Surat buat diriku hari ini,” tulisku dalam hati.
Aku suka membaca zine-zine, majalah musik, desain, seni, fashion, budaya, sejarah, film, fotografi dan suka membacamu. Membaca senyum di bibirmu dan terkadang lebih banyak bercerita daripada mulutmu. Membacamu seperti membaca buku tetraloginya Pram, Arus Balik, Di Tepi Kali Bekasi ataupun Krandji dan Bekasi Djatoeh yang tidak pernah membosankan saking tebalnya. Mungkin karena kamu lebih dari itu. Aku suka caramu menggarisbawahi ucapan-ucapanku dengan bibirmu.
Aku sedang asyik membaca. Tiba-tiba handphone-ku berdering, sejenak konsentrasiku berserakan.
“Pak Bumi, saya polisi dari Polres Kota Bekasi. Kami butuh bantuan anda untuk meliput sebuah kejadian tragis,” tutur seorang polisi yang merupakan tersangka dibalik berderingnya handphone-ku.
Aku cepat mengangkat kepalaku, “Iya saya siap membantu, ada apa, Pak?”
Polisi menjelaskan bahwa terjadi pembunuhan di sebuah rumah tangga. Seorang ayah tega membunuh anaknya setelah mengetahui bahwa istrinya selingkuh. Aku merasa ngeri mendengar kisah tragis itu, namun aku menyadari pentingnya tugas jurnalistik untuk memberikan informasi yang akurat kepada masyarakat.
Aku segera menuju lokasi kejadian dengan membawa kamera kesayanganku. Perjalanan tak begitu mulus seperti jalan yang baru saja dicor. Hujan pun turun. Aku sejenak berhenti untuk memakai jas hujan. Ah, sialnya jalanan macet karena jalan yang bagus tapi tidak berbanding lurus dengan adanya saluran irigasi dan drainase untuk pembuangan air.
Sesampainya di lokasi. Hawa dingin dan beku menguap dari tubuhku menyebar melalui rongga-rongga jendela rumah duka. Suasana duka begitu kental dan getir. “Rumah yang seharusnya menjadi sebuah kehangatan kini menjadi saksi bisu sebuah tragedi keluarga,” ucapku dalam hati.
Aku mulai mewawancarai tetangga dan saksi mata yang berada di sekitar lokasi. Aku coba merangkai puzzle tentang kehidupan keluarga tersebut. Aku juga menyadari bahwa ada berbagai lapisan dalam setiap kisah dan kebenaran tidak selalu hitam atau putih. Bisa jingga, biru dan abu-abu.
Aku masuk ke dalam rumah setelah diizinkan oleh petugas forensik. Kulihat jejak-jejak pertikaian yang terlihat jelas. Aku kemudian berbicara dengan petugas kepolisian yang bertugas di lokasi. Tujuanku untuk menggali informasi lebih dalam terkait motif di balik pembunuhan ini.
“Sepertinya aku harus mencari tempat untuk menginap karena belum cukup jurnalku dalam menulis sebuah artikel,” aku sembari pamit ke petugas kepolisian untuk mencari penginapan. Walaupun sebenarnya dari pihak kepolisian menawarkan aku untuk menginap di kantornya. Tapi aku menolak karena ingin lebih dekat dengan masyarakat untuk menggali lebih dalam terkait informasi yang kubutuhkan.
“Aku adalah ketiadaan diantara ketegangan senang, pilu, bahagia dan duka. Betapa lucunya baik dan buruk dicerna tanpa mencecap rasa utopia dan distopia menyempit di kepala tanpa pengartian. Sebab selalu ada alasan dalam kegilaan.”
Kututup zine yang telah rampung aku baca. Masih merenung kenapa seorang ayah begitu tega menghabisi anaknya, percikan itu bermula dari perselingkuhan istrinya. Kenapa anak yang harus menjadi korban buruknya komunikasi kedua orang tua.
Beberapa hari telah berlalu, kopi susu pun semakin dingin. Aku memutuskan untuk menulis artikel, yang aku rasa bahan penyelidikan dan wawancara sudah mampu menyajikan fakta-fakta dengan seobjektif mungkin. Aku memberikan konteks tulisanku tentang situasi rumah tangga yang telah menjadi peristiwa tragis ini. Terlebih tentang pentingya komunikasi dalam hubungan keluarga dan tindakan yang terlalu ceroboh bagi seorang ayah tega mengakhiri masa depan anaknya.
Aku coba ingat-ingat lagi terakhir melihat kejadian tragis, saat seekor induk kucing memakan anak yang baru dilahirkannya. Aku coba mencari tahu ternyata menurut literatur yang aku baca, seekor induk kucing malu melahirkan anaknya yang cacat. Apakah bapak itu merasa malu kepada anaknya mempunyai seorang ibu yang cacat etika dengan perselingkuhannya dan kenapa bapak itu seolah menjadi Tuhan berhak menghidupkan dan mematikan manusia?
Artikelku akhirnya diterbitkan di surat kabar lokal. Meskipun mengungkapkan sisi gelap kehidupan keluarga tersebut, aku berharap kisah ini dapat memberikan pelajaran dan memantik diskusi masyarakat tentang pentingnya menjaga hubungan keluarga serta menanggapi konflik dengan lebih bijak.
Aku sadar seorang jurnalis dalam setiap berita memiliki dua sisi dan kebenaran seringkali menjadi kompleksitas. Apapun yang akan terjadi, aku akan berusaha memberikan liputan yang seobjektif dan seakurat mungkin demi memberikan pemahaman kepada masyarakat yang lebih baik