Hai kenalkan namaku Bumi. Aku anak pertama dari dua bersaudara. Adikku bernama Mega. Ayahku seorang penjudi togel kelas berat yaitu Pak Matari. Sementara ibuku adalah Marsinah, disaat gerakan feminisme berteriak-teriak tentang kesetaraan. Ibuku sudah mengaktualisasikannya dengan menjadi tulang punggung keluarga. Di saat para istri hanya bekerja mengurus rumah tangga, ibu menjadi super power dalam keuangan keluarga. Dia sanggup membiayai sekolah anak-anaknya tanpa tergantung dari Pak Matari seorang suami yang katanya kepala rumah tangga ternyata kepala tanpa muka. Aduh, terlalu panjang dan lengkap perkenalanku seperti sensus penduduk yang dibutuhkan saat capres, caleg dan calon-calon lainnya bersiap-siap orasi janji dan harapan. “Jika saya terpilih, jika tidak ditepati saya janji lagi.” Begitu seterusnya sampai negara bubar. Aku bersiap-siap naik KRL.
Orang-orang dengan idealisnya menjaga penghijauan Bumi. Alam jaga kita, kita jaga alam. Terlintas kata-kata itu muncul di kepalaku saat diskusi bersama Forum Jaga Alam (Forjaga). Pikiranku melayang. Tubuhku duduk sambil memandang ke luar kereta. Di sana kulihat Gunung Cupumanik yang semakin hari-semakin tak berisi. Dulu padat kini keriput. Layaknya hisapan yang dilakukan lelaki jalang. Entah siapa yang menghisap batu, kapur, dan pohon yang hijau. Bumi menangis tanpa air mata, tanpa darah.
Banjir di mana-mana. Longsor di mana-mana. Layaknya korupsi sudah menjadi hal yang lumrah. Sabda alam akan terus berjalan. Tapi manusia akan terus merusak alam tanpa pernah sadar mereka tak akan bisa mengembalikan alam seperti semula.
“Boleh saya duduk?” ucap seorang perempuan.
“Oh iya boleh, Teh. silahkan.” aku sambil beranjak berdiri.
Kesetaraan bagaimana bisa setara sementara beberapa KRL yang mengkhususkan untuk perempuan. Apakah ini yang dinamakan setara? pikiran liarku memulai lagi.
Bukankah kesetaraan itu membiarkan perlombaan antara laki-laki dan perempuan? tanyaku dalam hati
“Ah, sudahlah nanti dilanjut lagi,” gumamku.
Stasiun yang ditunggu sudah sampai. Aku pun turun menuju pintu keluar stasiun.
Dari jauh kulihat seorang perempuan dengan kepulan asap rokok terlihat. Semakin dekat semakin aku kenal bau rokok Marlboro Filter Black. Yah, tak salah lagi itu Langit kekasihku. Entah dari mana datangnya cinta dari mata turun ke hati ah, itu klise sekali kawan. Entah dari mana juga aku yang bukan perokok bisa jatuh hati pada gadis perokok kelas berat. Bagiku, bukan hanya tempat bertukar ludah tapi juga bertukar pikiran. Gadis ini kadang kritis konservatif kadang juga kritis transformatif. Aku selalu menjadi pendengar yang baik untuknya,
“Woy, bangke! Minum air putih dululah jangan dulu merokok.” sambil kuelus kepalanya.
Bukankah di setiap bungkus rokok selalu ada narasi merokok itu membunuhmu. Lalu siapa yang membunuh perokok pasif?
“Cepetan mana uangnya, gue butuh banget nih,” ucap Langit sambil merengek
Iya nanti sayang aku mampir ke ATM dulu ya.