Saya tidak ikut solat ied dan foto-foto keluarga di rumah untuk ied tahun ini. Tidak ikut ke rumah Syaikhuna Abun Bunyamin, sebagaimana tradisi lebaran kami 10 tahun terakhir. Besok juga saya tak yakin akan pergi ke acara keluarga besar jalur ayah saya di Sumedang, atau di rumah menemani nenek saya yang dalam proses penyembuhan.
Lebaran ini memang berbeda dari lebaran 2 tahun terakhir. Dalam artian terbaiknya, bahkan terburuknya. Namun secara keseluruhan saya bersyukur masih hidup sampai detik ini, meski tindakan saya rasanya tidak mencirikan orang yang mensyukuri lebaran ini. Lucu.
Saya cuma pulang saat malam lebaran untuk bakar-bakar daging dengan adik-adik, kemudian balik lagi ke kontrakan. Lalu balik ke rumah lagi setelah dzuhur. Ibu mengomeli kelakuan saya ini. Ia tak menggubris alasan saya yang ketiduran. Ia tetap mengomeli saya ssmbil memindahkan cucian di mesin pengering, menanak nasi, berganti-ganti. Lebaran belum sampai 12 jam, ia sudah mengurus cucian dan hidangan.
Sebenarnyalah alasan saya yang seperti tak niat merayakan lebaran adalah karena tidak tahan lama-lama di rumah. Ketiduran hanyalah alasan sampingan. Rumah kami ramai belakangan ini. Total ada 7 sampai 9 orang di sana. Dari adik saya yang sudah berkeluarga dengan satu anak, cucu yang sejak 6 tahun terakhir di rumah, adik-adik saya yang berlibur dari kuliahan dan pesantrennya, ditambah nenek saya yang di Sumedang dibawa ke sini untuk jalani pengobatan.
Apa hal utama yang bikin kurang betah di rumah? Saya tak tahan melihat ibu melakukan kerja rumah tangga dua kali lipat dari tahun-tahun sebelumnya. Selain itu belakangan ibu jadi lebih mudah mengomel dan lebih panjang gerutuan dan ceramahnya.
Saya kadang tak habis pikir, kenapa ibu melakukan semua pekerjaan berat itu meski tiap jam 8 malam matanya menyipit menahan kantuk, badannya nyaris remuk, dan wajahnya meringis menahan nyeri asam lambung dan migrain. Saya yakin itu semua simptom tertekan dan kelelahan. Ia merawat semua orang di rumah sampai detik ini. Anak-anak kecil di rumah itu mulai dewasa, tapi itu tidak menghentikan keharusannya merawat anak-anak kecil baru: cucu-cucunya. Sejak kapan itu menjadi keharusan? Saya tidak mengerti.
Membayangkan bakal melakukan ini terus-terusan, kenapa dia tidak berteriak: ibu capek! Lalu memutuskan tidur seminggu dan membiarkan rumah itu porak poranda. Cucian menggunung 3 meter, piring kotor menumpuk sampai ke atas kompor, sampah menggunung di pojokan, dan baju bersih berserakan di jemuran dan area setrikaan. Saya yakin kami semua akan kelimpungan dan menyadari sesuatu pada akhirnya.
Saya memproses semua itu di kepala sebulan terakhir. Dan cuma bisa menyimpulkan: satu orang tidak di sini, seharusnya lebih meringankannya. Jadi saya memutuskan tinggal di kontrakan. Entahlah, ini tindakan tepat atau tidak. Semua bisa saja serba salah jika cuma mengira-ngira, alih-alih saling bicara. Tapi siapa yang sanggup melewati pembicaraan pelik dengan keluarganya di hari ini?
Ibuku, ibuku, ibuku, lalu kamu. Begitu saya menulis persembahan untuk buku pertama saya, Ibrahim dan Matahari. Meski sampai detik ini ibu saya tak pernah membacanya… karena ya buku itu bukan untuk seseorang yang siap membela saya saat seluruh dunia mungkin akan menganggap saya dan buku itu bahan tertawaan.
Buku itu mungkin saja akan membuatnya kecewa. Entah kenapa saya berpikir begitu. Pokoknya, jujur saja, saya bisa tahan jika semua orang bilang betapa mengecewakannya saya, tapi tak sanggup membayangkan ibu saya sendiri yang mengucapkannya.
Ironis agaknya, semalam saya bilang agar kawan-kawan se-whatsapp tak perlu takut dengan apa pun di hari raya ini. Tak usah takut dengan pertanyaan kapan kawin atau masih kerja di situ-situ saja, dengan menyarankan mereka agar mengasah candaan yang lebih baru. Sekarang, eh saya sendiri malah yang tidur dan tak ikut “merayakan” lebaran sebagaimana umumnya orang. Hidup memang punya selera humornya sendiri.
Sampai di sini sebetulnya saya tak yakin sedang membicarakan ibu saya atau lebaran. Kini saya duduk sendirian di gerai kopi waralaba yang rasa kopinya teruk minta ampun. Dengan kaos warna sage pemberian Arini minggu lalu saya menyesal habis menertawakan betapa konyolnya orang-orang berbarengan pakai outfit warna hijau sage. Arini bajingan. Jangan-jangan dia sengaja milih warna ini supaya saya lebih sering tahu diri alih-alih menjulidi. Tahu begini, saya tak perlu meledeki mereka sejak awal.
Meski begitu, yang bisa saya pikirkan untuk menutup tulisan ini hanyalah hal berikut. Barangkali begitulah anak laki-laki pada umumnya, mereka tidak mengerti bagaimana cara yang patut mengekspresikan cinta mereka pada ibunya.
Kita, para lelaki tak pernah memperlakukan perempuan di sekitar kita dengan baik. Kalau bukan menyiksa diri atas nama cinta, kita menyandera orang dengan alasan yang sama. Sementara lebaran adalah kaca pembesar untuk melihat itu lebih dekat, dan lebih dekat, dan lebih dekat. Persis seperti melihat ibu yang mencuci baju habis pulang keliling lebaran, seperti pegawai yang terpaksa bekerja di hari raya.
Saya mengirim whatsapp “Bu, kimia farma semuanya tutup. Apa obatnya mau beli di apotek lain aja?” Ibu saya membalas: tunggu kimia farma buka aja besok. Obat ini untuk nenek saya. Ibu khawatir apotek lain hanya akan menjual obat berbeda, meski merk obatnya sama. Ia mengkhawatirkan ibunya. Sedang saya mulai mengkhawatirkannya.
Lebaran, jangan-jangan memang seperti kata lirik lagu “Idul Fitri” gubahan Ismail marzuki yang jarang didendangkan orang. Minal aidin wal faizin, Maafkan lahir dan batin, ‘lang taon idoep prihatin.
Ulang tahun hidup prihatin, katanya. Saya gak tahu harus ketawa atau menangis membacanya.