

“And so it is, just like you said it would be…”
(Damien Rice, “The Blower’s Daughter”)
Prolog
Ada satu kebohongan besar yang dijual dengan sangat mahal di zaman ini: bahwa patah hati dapat disembuhkan. Industri pemulihan kesehatan mental memperlakukan luka jiwa seperti jerawat sialan, ada dosisnya, ada jadwalnya, ada janji kesembuhannya. Bahkan, Spotify menawarkan playlist bertajuk “healing journey”, Instagram dipenuhi kutipan Mario Teguh berlatar matahari terbit, semua orang mendadak menjadi Merry Riana yang menjanjikan “Kau pantas mendapat yang lebih baik!” Semuanya menawarkan hal yang sama: rasa sakit dapat dihapus seperti bekas jerawat dengan skincare murahan yang dijual di Shopee.
Lalu “The Blower’s Daughter” datang. Tidak dengan janji. Tidak dengan harapan. Hanya dengan satu proposisi yang brutal sekaligus jujur: tidak ada yang akan membaik. Dan di sudut paling gelap hatimu, di tempat yang tidak pernah kau bersihkan, kau sudah mengetahui itu sejak lama.
Damien Rice tidak berpura-pura menjadi tabib. Dia bukan dukun pijat di pinggir jalan dengan minyak urut ajaib dalam botol bekas kratingdaeng. Sejak detik pertama, suaranya yang retak memberikan peringatan. Ini bukan musik untuk pelarian. Ini musik untuk eksekusi yang dilakukan dengan sangat pelan. Gitarnya telanjang, minim sampai terasa tidak sopan. Tidak ada tempat sembunyi. Tidak ada reverb untuk menyembunyikan getaran keputusasaan yang merayap dari setiap nada minor.
Theodor W. Adorno pernah berbicara tentang negative aesthetics, keindahan yang lahir justru dari yang patah. Yang tidak utuh. Yang menolak memberikan kenyamanan. The Blower’s Daughter adalah perwujudan sempurna dari ide itu. Keindahan yang tidak menghibur, malah menyobek perut dan menunjukkan isinya yang sedang membusuk. Musik yang menolak menjadi terapis murahan dan kembali menjadi cermin brutal: wajahmu penuh air mata kering dan kebohongan pada diri sendiri.
Rice menulis lagu ini bukan dari tempat yang sudah sembuh. Bukan dari ketinggian puncak Semeru setelah mendaki dengan semangat Dilan. Dia menulis dari dasar jurang. Dari tempat di mana orang sudah berhenti berharap naik. Dari tempat di mana seseorang akhirnya mulai menata furnitur, menaruh foto di dinding, menamai sudut-sudut gelap seolah tempat itu rumah.
Cinta dalam lagu ini sudah mati sejak lama. Tetapi mayatnya masih dipanggul ke mana-mana seperti tas Eiger palsu yang tidak pernah diturunkan dari punggung. Melepaskannya berarti mengakui kekosongan. Lubang hitam di tempat hatimu dulu berada. Dan kekosongan itu, ternyata, jauh lebih menakutkan daripada membawa mayat.
Inilah yang membuat lagu ini bekerja dengan brutalitas yang luar biasa. Dia tidak menikammu sekali lalu selesai. Dia membiarkanmu berdarah. Perlahan. Sambil menonton dengan wajah datar. Sambil sesekali bertanya dengan nada tanpa empati: “Masih sakit? Sekali lagi ya”
Pembahasan
Mari kita mulai dari struktur. “The Blower’s Daughter” tampak sederhana. gitar akustik, nada minor, vokal yang bergetar seperti orang kedinginan naik motor di Puncak Bogor. Tapi di balik kesederhanaan itu, ada kekejaman yang dirancang dengan ketelitian ahli bedah forensik di seperti seri Drama Korea.
Rice menggunakan minimalisme bukan karena keterbatasan. Bukan karena tidak ada anggaran untuk orkestra. Ini minimalisme sebagai senjata. Tidak ada ornamen yang dapat mengalihkan perhatian. Tidak ada tempat sembunyi dari kehampaan di tengahnya. Kehampaan yang menganga seperti lubang di jalan Tuparev yang tidak pernah diperbaiki, yang sudah kau hafal lokasinya, tetapi tetap kau injak setiap hari.
Lalu ada pengulangan. “And so it is” dan “I can’t take my eyes off you” diulang sampai kehilangan makna sebagai kalimat. Sampai menjadi bunyi. Mantra. Ritus obsesif seseorang yang menolak lepas dari mayat yang sudah mulai berbau busuk seperti sampah di Bantar Gebang.
Julia Kristeva menulis tentang konsep abjection. Kondisi ketika subjek terus menatap traumanya sendiri karena kalau tidak, identitasnya akan menguap. Seperti air di aspal Pantura siang hari. Tidak tersisa apa-apa. Rice melakukan persis itu, tetapi dengan kesadaran penuh. Ini bukan orang yang terjebak trauma tanpa sadar. Ini orang yang memilih tinggal di sana. Menyewa kosan. Memasang wifi IndiHome. Menaruh tanaman monstera di kamar. Membuat trauma itu menjadi alamat.
Karena alternatifnya adalah kekosongan total tanpa bentuk. Dan manusia, ternyata, lebih mampu bertahan dengan penderitaan yang memiliki nama daripada kehampaan yang tidak dapat diraba.
Kesedihan dalam lagu ini bukan tangisan spontan. Bukan amukan emosional seperti sinetron Indosiar jam tujuh malam. Ini kesedihan yang sudah menjadi arsitektur. Sistem yang terencana seperti jadwal Kereta Karawang-Purwakarta yang tidak pernah tepat waktu tetapi tetap dapat diprediksi keterlambatannya.
Rice tidak menangis. Dia mengautopsi. Membedah kesedihannya sendiri dengan dinginnya dokter forensik yang sudah tidak memiliki empati setelah dua puluh tahun bekerja. Membedah tiap lapisan rasa sakit. Sementara pasien masih sadar penuh. Masih dapat merasakan pisau masuk ke daging. Masih dapat menghitung berapa sayatan yang sudah dibuat.
Friedrich Nietzsche mengatakan keindahan tragis muncul ketika seseorang berani menatap kehancuran tanpa ilusi. Rice tidak sekadar menatap. Dia mengundang kita ikut membedah mayat. Memberikan kita sarung tangan lateks. Memaksa kita memegang organ dalam yang sudah dingin dan lengket. “Rasakan,” katanya dengan wajah tanpa ekspresi. “Inilah tekstur dari sesuatu yang dulu kau sebut cinta.”
Dan kita merasakannya. Kita semua merasakannya. Karena lagu ini tidak berbicara kepada telinga. Dia berbicara kepada luka yang sudah lama kita kubur di bawah kesibukan, di bawah tawa palsu, di bawah foto-foto bahagia di Instagram.
Pertama kali saya mendengar lagu ini melalui film Closer (2004). Film tentang empat orang dewasa yang saling melukai dengan cara yang sangat beradab. Seperti budak korporat yang sedang rapat kantor di mana semua orang sebenarnya saling membenci tetapi tetap tersenyum dan mengangguk. Mike Nichols membongkar mitos romantis bahwa cinta itu indah dan menyatukan. Dia memperlihatkan wajah aslinya: medan perang tempat orang saling menikam dengan pisau karatan sambil berbicara dengan sopan.
Kehadiran “The Blower’s Daughter” di akhir film bukan menjadi penutup yang melegakan. Itu eksekusi massal yang ditonton dalam diam. Semua karakter sudah mati secara emosional. Tetapi jasadnya masih harus bangun pagi. Menyikat gigi. Menunggu Gojek. Berangkat kerja. Berpura-pura hidup. Lagu Rice menjadi soundtrack untuk kehidupan zombi yang sadar dia zombi. Yang setiap hari menatap cermin dan mengenali mayat yang menatap balik.
Albert Camus mengatakan hidup itu absurd. Tidak ada makna, tetapi kita tetap harus bangun pagi dan pergi bekerja. Rice mengambil premis ini lalu mendorongnya ke jurang yang lebih dalam. Dia tidak hanya sadar tentang absurditas. Dia menjadikan absurditas itu struktur lagu. Tidak ada klimaks. Tidak ada resolusi. Seperti kasus korupsi di negara ini yang tidak pernah selesai, hanya berganti nama dan wajah.
Yang ada hanya pengulangan. Ritual hampa yang dilakukan karena berhenti berarti mengakui bahwa semua ini tidak memiliki gunanya sejak detik pertama kau memutuskan jatuh cinta.
Jean-Paul Sartre menulis bahwa eksistensi itu pilihan terus-menerus untuk tidak menyerah pada kekosongan. Tetapi bagaimana kalau pilihannya bukan lagi tentang melawan? Bagaimana kalau pilihannya hanya tentang memilih kekosongan mana yang lebih dapat ditinggali?
Rice memilih rasa sakit. Karena rasa sakit itu setidaknya ada. Memiliki bentuk. Dapat dipegang seperti pegangan tangga yang penuh daki. Dapat diraba. Dapat dibuktikan keberadaannya. Kehampaan total tanpa bentuk itu seperti ketakutan terhadap pocong di toilet masjid kampus tengah malam: kau tidak tahu harus lari ke mana karena tidak ada yang dapat kau lihat.
Maka dia bernyanyi. Bukan untuk sembuh. Bukan untuk melanjutkan hidup. Tetapi untuk memastikan lukanya tidak mengering. Tetap basah. Tetap dapat dirasakan. Bukti bahwa dia masih ada. Masih hidup. Walau hanya sebagai wadah penderitaan. Walau hanya sebagai saksi bagi kehancurannya sendiri.
Yang paling keji dari lagu ini adalah cara kerjanya terhadap pendengar. Ini bukan lagu yang langsung memukul kepalamu dengan pentungan Brimob. Ini lagu yang menginfeksi. Perlahan-lahan. Seperti virus yang masuk melalui luka kecil di jari yang hampir tidak terlihat. Lalu menyebar ke seluruh tubuh tanpa kau sadari. Sampai suatu hari kau bangun dan menyadari ada yang salah. Tetapi tidak dapat menjelaskan apa. Tidak dapat menunjuk di mana.
Roland Barthes menyebutnya grain of the voice. Dimensi fisik dari suara yang langsung menembus ke sistem saraf. Tanpa melalui otak. Tanpa meminta izin dari rasio. Suara Rice bukan komunikasi. Itu invasi. Penjajahan, antek aseng. Dia tidak mengetuk pintu. Dia menjebolnya seperti debt collector. Duduk di sofa. Lalu tinggal di sana selamanya. Mengklaim ruang dalam dadamu sebagai miliknya.
Keindahan lagu ini adalah keindahan bangkai sapi di pinggir Jalan Pantura. Mengerikan tetapi menghipnotis. Kau tidak dapat berhenti menatapnya. Seperti kecelakaan di tempo hari yang membuat macet karena semua orang melambat. Bukan untuk membantu. Tetapi untuk melihat. Untuk merekam video dan mengirimnya ke grup WA. Untuk memastikan bahwa kehancuran itu nyata. Bahwa ada orang lain yang juga hancur.
Tidak ada katarsis di sini. Katarsis membutuhkan pelepasan. Membutuhkan pembersihan. Rice dengan tegas mengatakan: tidak ada yang akan dibersihkan. Lagu berakhir tetapi tidak selesai. Berhenti di tengah kekosongan. Meninggalkan keheningan yang lebih menyiksa daripada apa pun yang sudah dikatakan. Seperti kalimat yang saat pacarmu berkata “Kau terlalu baik buat aku” Seperti napas yang tertahan dan tidak pernah dilepaskan. Seperti pertanyaan yang tidak pernah mendapat jawaban tetapi terus berdengung di kepala sampai pagi.
Nietzsche mengatakan keindahan sejati adalah yang menolak dijelaskan. Yang tidak dapat dijinakkan menjadi pelajaran moral. Yang tidak dapat disederhanakan menjadi caption Instagram Story yang akan hilang dalam 24 jam. Maka keheningan di akhir lagu ini adalah bagian paling kejam. Dia memaksamu duduk dalam ketidaknyamanan. Tanpa memberikanmu remote untuk mengganti saluran. Tanpa janji bahwa ini akan berakhir. Tanpa jaminan bahwa ada makna di balik semua ini.
Adorno dengan konsep negative dialectics-nya berbicara tentang estetika yang menolak sintesis. Yang membiarkan kontradiksi tetap terbuka dan berdarah. Yang tidak menyembuhkan tetapi justru menjaga luka tetap segar. Supaya kebenaran tidak hilang ditutup perban Tensoplast palsu. Supaya kita tidak melupakan bahwa ada hal-hal dalam hidup yang tidak dapat diselesaikan dengan baik.
“The Blower’s Daughter” adalah manual instruksi dari filosofi itu. Lagu ini tidak memberikan penutupan karena kehidupan juga tidak pernah memberikan penutupan yang rapi seperti ending drama Korea. Luka tidak sembuh sempurna. Dia hanya menjadi diam. Dingin. Permanen. Sampai kau lupa pernah ada waktu ketika kau tidak terluka. Sampai luka itu menjadi bagian dari identitasmu. Sampai kau tidak dapat lagi membayangkan dirimu tanpa luka itu.
Epilog
“The Blower’s Daughter” adalah monumen untuk semua orang yang terus jatuh ke lubang yang sama. Di jalan yang sama. Pada waktu yang sama. Terus bangun dengan lutut berdarah. Terus kembali lagi besok pagi sambil berkata “Mungkin kali ini berbeda.” Padahal tahu tidak akan pernah berbeda.
Ini lagu untuk mereka yang tahu persis lubangnya di mana. Yang sudah menghafal kedalamannya. Yang tahu persis jatuh akan sakit seperti kemarin dan kemarin lusa. Tetapi tetap melompat. Karena hidup tanpa drama itu seperti makan nasi Padang tanpa rendang. Secara teknis masih makan. Tetapi untuk apa?
Rice tidak menjual harapan palsu seperti sales Prudential di depan ATM. Dia tidak mengatakan “ini akan berlalu” atau “kau akan menemukan yang lebih baik.” Dia mengatakan dengan kejujuran yang menohok seperti pisau tumpul yang harus digergaji berkali-kali untuk menembus: ini tidak akan berlalu sampai kau mati. Kau tidak akan menemukan yang lebih baik karena masalahnya bukan pada dia. Masalahnya ada padamu. Pada cara kau mencintai. Pada cara kau merusak segala yang kau sentuh.
Dan satu-satunya pilihan adalah belajar hidup dengan rasa sakit ini. Sampai kau tidak dapat lagi membedakan mana dirimu. Mana lukumu. Mana jaringan parut yang tumbuh di atasnya. Sampai semuanya menjadi satu. Sampai kau adalah lukamu.
Nietzsche mengatakan penderitaan adalah satu-satunya hal yang tidak dapat dipalsukan. Tidak ada versi KW Super-nya yang dijual di Glodok Tidak ada tiruannya di ITC Mangga Dua. Rice merekam hal itu dengan kejujuran yang membuat telinga berdenging. Seperti notifikasi grup keluarga di jam dua pagi yang tidak bisa kau matikan bahkan tidak mungkin untuk keluar group.
Kita sering mengatakan ingin sembuh. Ingin melanjutkan hidup. Ingin menjadi versi yang lebih baik seperti testimoni di iklan obat diet. Bohong semua! Yang sesungguhnya kau inginkan adalah rasa sakit yang familiar. Yang sudah kau kenal nama dan wajahnya. Yang dapat kau peluk tengah malam ketika insomnia datang seperti teman lama yang tahu semua rahasiamu.
Rasa sakit yang membuktikan kau pernah merasakan sesuatu. Sesuatu yang cukup kuat untuk membuatmu hancur total. Tanpa rasa sakit itu, siapa kau? Hanya boneka yang berjalan dan makan di warteg dan tidur dan bangun tetapi tidak pernah benar-benar ada. Hanya bayangan yang bergerak tanpa meninggalkan jejak.
Ketika lagu ini berhenti (bukan berakhir, tetapi berhenti, seperti angkot mogok di tengah Jalan Tuparev sore tadi) tidak ada rasa lega. Tidak ada perasaan “sudah selesai”. Yang ada hanya keheningan. Keheningan yang terasa seperti ruangan kosong yang seharusnya ada seseorang di sana. Tetapi orangnya sudah pindah. Tanpa memberitahu. Meninggalkan utang wifi bulan lalu dan bau rokok yang menempel di dinding kosanmu.
Di keheningan itu kau menyadari sesuatu yang mengerikan: Rice tidak memberikan lagu untuk didengar sambil memasak Indomie goreng tengah malam. Dia memberikan penyakit kronis untuk dibawa pulang. Ditaruh di lemari seperti obat resep dokter yang tidak pernah habis. Lalu dikeluarkan lagi setiap kali kau merasa terlalu bahagia. Setiap kali kau hampir lupa. Setiap kali kau membutuhkan pengingat bahwa hidup itu pada dasarnya tragedi dengan intermeso komedi sesekali. Dan komedinya pun tidak pernah benar-benar lucu.
“The Blower’s Daughter” tidak berakhir. Dia hanya berhenti. Dan bedanya, kalau kau pikirkan sambil menatap langit-langit kos-kosan jam tiga pagi dengan suara karaoke tetangga masih terdengar samar, sangat signifikan. Sangat menyebalkan. Sangat brutal.
Karena berakhir berarti ada penutupan. Ada kesimpulan. Ada makna yang dapat diambil. Tetapi berhenti hanya berarti tidak ada lagi yang dapat dikatakan. Tidak ada lagi yang perlu dikatakan. Hanya ada keheningan. Dan kau. Dan luka yang tidak akan pernah benar-benar sembuh. Yang akan kau bawa sampai kau mati. Yang mungkin saja akan kau bawa bahkan setelah itu.
Sumber Bacaan
Adorno, T. W. (1970). Aesthetic Theory.
Barthes, R. (1977). Image–Music–Text.
Camus, A. (1942). Le Mythe de Sisyphe.
Kristeva, J. (1980). Powers of Horror: An Essay on Abjection.
Nietzsche, F. (1872). Die Geburt der Tragödie.
Nietzsche, F. (1887). Zur Genealogie der Moral.
Sartre, J.-P. (1943). L’Être et le Néant.