Sudah sekitar 2 hingga 3 bulan saya menjalani hidup dengan gaya baru. Sebutlah ke mana-mana diantar, makan tinggal am, healing tinggal pilih tempat (meskipun harus curi-curi waktu juga), dan permasalahan hidup saya paling berat hanya berkutat di kemacetan dan salah jalan saja.
Sabtu-Minggu kemarin saya akhirnya full rebahan di rumah yang masih saya cicil di daerah Cikampek. Sempat berpikir jalan dan pulang ke Bandung, saya malah terjangkit bapil dan memilih menggambar wajah kekasih yang malah seperti avatar biru.
Ada satu hal yang luar biasa saya rasakan: panas bumi sekarang udah gak ngotak.
Sejak bangun tidur di jam 7 saja, saya mulai merasakan panas, lalu 1 jam kemudian saya mulai keringatan. Oh iya, rumah saya di Cikampek itu rumah subsidi tok. Belum direnovasi sepenuhnya, belum pasang AC pula. Sebetulnya se-gak bisanya saya kena AC, saya pasti akan memilih pasang AC di daripada mati kepanasan.
Tapi karena duit saya masih sedikit, jadi ya udah lah nanti lagi aja pasang ACnya.
Menuju di jam 1 siang adalah puncaknya. Saya sudah mandi 2x sejak bangun sampai jam 1 siang. Sisanya, saya keringatan lagi.
Sejak bangun tidur (kebangunnya juga karena panas) sampai di jam 3 sore, saya betul-betul merasakan betapa buruk hidup saya. Meskipun, sebetulnya hidup saya gak segitu buruknya karena saya masih punya pekerjaan, masih bisa beli rumah sendiri meskipun nyicil, masih bisa makan dan yang utama: beli rokok. Yang ini jangan diikuti.
Setelah merasakan simulasi neraka itu, saya baru menyadari bahwa selama ini saya sudah tidak memikirkan climate change lagi. Gimana bisa?!
Hidup Saya yang Serba Mudah ini Justru Menjauhkan Saya dari Kepekaan
Selama ini kalau tidak di rumah Cikampek, saya tidur nyenyak menggunakan AC sampai kesiangan, ke mana-mana saya pakai mobil, saya juga sudah lama meninggalkan masakan rumahan, saya sudah tidak pernah memasak. Semuanya menjadi mudah.
Saya juga sudah lama tidak membaca, buku terakhir yang saya baca adalah buku-buku terkait ekspansi bisnis, daftar kajian literatur terkait produk kimia dan segala inovasinya, lalu beberapa majalah Pertamina.
Sepanjang hari hidup saya dipenuhi pertemuan, pekerjaan, dan penjualan. Saya lalu sadar. Hidup saya yang serba mudah ini justru menjauhkan saya dari kepekaan.
Tulisan ini mungkin gak akan saya tulis kalau saya tidak full rebahan di rumah, mungkin gak akan saya tulis kalau saya tidak kembali menyelah motor buat mengantre bensin si hijau itu dan merasakan panasnya matahari.
Saya lalu mendapat kesimpulan bahwa orang menengah ke atas (singkat saja orang tajir) tentu gak akan peduli-peduli amat sama krisis iklim. Kecuali mereka-mereka yang aktivis lingkungan dan berfokus pada isu yang overlapping, ya.
Gerah dikit? Masuk rumah nyalain AC. Mau nongkrong ke luar sama teman? Monggo dipilih mau pakai mobil yang mana. Lapar? Mau makan? Pesan saja, Ndoro. Mobil belum diisiin bensin malas ngantri? Minta tolong ke supir.
Kesimpulannya, krisis iklim adalah masalah kelas menengah dan kelas bawah! Orang tajir gak bakal relate! Gak ada orang tajir ngerasain gak ada air, anjir.
Pemerintah Indonesia Meneladani Rasul
Iya, mungkin sejak beberapa tahun lalu KLHK (atau Kemenperin gitu saya lupa), aktif menyurati perusahaan yang masih menggunakan energi batubara. Isi suratnya anjuran untuk mulai beralih ke PLTS. Tapi sampai sekarang, surat tetap surat, anjuran tetap anjuran. Industri yang pakai batubara ya masih ada, kadang ada yang didenda, kadang ada yang lolos saja.
Apa ada yang sampai berhenti beroperasi karena masih pakai batubara? Belum tahu. Lalu, kalau pasang PLTS-nya harus izin siapa? PLN (kalau yang on grid, ya), dan untuk skala besar pasti on grid, sih.
Semua perusahaan wajib untuk mulai menggunakan PLTS. Iya, PLTS yang sekarang lagi dibangun tuh di BIC. Kan sekarang Indonesia kerja sama dengan Cina buat bikin kaca panel surya itu, yang pasirnya ngambil dari Rembang.
Bukan main Indonesia ini. Naluri berniaganya sangat diresapi hingga ke dalam jiwa seperti lagu Isyana. Mari kita berpositif thinking saja, mungkin memang pemerintah Indonesia ini sedang berupaya meneladani Rasul, atau merasa mereka Rasul atau entahlah. Gak jelas.
Di tengah ancaman krisis iklim, bukannya mikir gimana caranya memperbaiki, pemerintah melalui Bahlil, atau Bahlil melalui pemerintah(?) malah menjajaki bisnis baru. Sangat inovatif. Aku cinta uang! Uang uang uang! Mwah! Mungkin ini yang dimaksud yang kaya makin kaya, yang miskin makin Arin.
Tapi saya merasakan betul hidup yang mendadak berubah ini. Kepekaan saya perlahan-lahan hilang, dan saya sedang meraba-raba kembali diri saya yang rajin menggerutu.
You’ll Never Understand until It Happens to You
Saya lalu berpikir: Apakah itu alasan orang high class kebanyakan gak peka? Karena selalu sibuk sama duit? Selalu sibuk berpikir bagaimana caranya menjual? Mikir gimana jalanin bisnis? Dipikir lagi, saya dulu sering banget menggerutu tentang jalan berlubang.
Lalu saya ingat lagi, 2 bulan ke belakang, saya sekarang udah gak pernah menggerutu soal itu, sebab sekarang saya sudah gak ngerasain lagi jalan berlubang. Knalpot brong juga.
Saya lantas ngerti, masalah-masalah seperti ini memang cuma bisa dirasakan masyarakat kelas menengah dan bawah.
Maka gak heran ketika saya bikin konten soal Papua, teman saya bilang: “Tapi kan itu bagus loh buat pertumbuhan ekonomi. Sekarang juga kan jalan ke Papua bagus. Orang-orang jadi punya kerjaan. Itu kan pertumbuhan, loh.”
Ketika saya bahas IKN juga kurang lebih banyak yang ngomongin hal yang sama.
Meanwhile, yang ngomong gitu adalah orang yang semiskin-miskinnya dia masih punya 2 buah mobil. Yang bukan suku adat, yang terbiasa hidup dengan segala kemudahannya, yang bukan marjinal, yang dengan mudah mendapat akses pendidikan, yang kalau punya keresahan sedikit bisa upload story.
Jadi tentu za ketika kita bicara krisis iklim, banyak (mungkin gak semua tapi banyak) orang yang gak relate. Makanya saya salut banget sama orang-orang tajir yang punya kepekaan tinggi, yang care, yang punya simpati dan empati.
Mulai sekarang, saya gak mau kehilangan kepekaan lagi. Sesibuk apapun saya, saya masih mau keren dan menjadi ekofeminis. Setajir apapun saya (atau pasangan saya. wkwkwk) saya mau jadi teteh down to earth dan saya mau tetap makan Indomie sambil menggerutu jalan berlubang. Senyaman apapun hidup saya, saya tetap mau jadi Satpol Epep bersama Mpi dan kawan-kawan!