Kota Taring
Di kota ini, langit biru merupakan taring
Menyipitkan bola mata.
Kota ini menumbuhkan beribu Ibu
Sebuah labirin yang menyesakkan dada
Berliku, bernafas geram, bergerigi tajam.
Bising kota mengubah laut menjadi asap knalpot
Tak ada identitas di sana
Semua telah menjadi taring yang menari
Melupa, dan menguap di lampu merah.
Terkadang kami berpikir,
Mengapa segala hal serba lipstik?
Kota kian lama kian bertaring dan kami hanya sibuk
Menyusun rencana-rencana.
Kota ini terkadang seperti sarung tinju. Tak ada bunga di sana,
Ia keringatku, menjadi bunga taring, menjadi asap taring,
Menjadi makan malam bertaring; menu patriarki.
Kecemasan kami disimpan rapat dalam kaleng khong guan.
Rumah dan atapnya hanya impian bertaring.
Kasur tempat kami bernyenyak juga bertaring.
Apakah kita mengenal bahasa diwakilkan oleh bahasa bertaring?
Apakah kamu merasakannya?
Ia di sana, mengintai, menunggu waktu yang tepat
Untuk membisikkan suara penuh keinginan bertaring.
Barorka, Mei 2024
Les Sempoa
Kita pernah mengenal sempoa
Diajarkan oleh rotan dan hukuman-hukuman kecilnya.
Kita pernah sengaja tenggelam
Saat les berenang.
Karena tak mampu menahan beratnya sendiri.
Ingatkah kau saat bermain bianglala
Atau masuk ke dalam kids corner
Bermain boom-boom car.
Menabrakan diri ke orang lain
Hingga tersisa hanyalah kecemasan berlebihan.
Karena tak ada seorang pun di sana yang kan bernyanyi
Lagu lain untukmu
Dalam kemarau panjang musim sempoa.
Barorka, Mei 2024
Epitaf Arkaik
Matahari hanya sisa inskripsi kekosongan
Yang diinterupsi oleh cat-cat merah pada langit tembaga.
Aubade pohon natal melintas dalam interval gerimis
Dengan tentengan kota-kota silam yang sekarat kaleng-kaleng bahasa.
Aku mengaung nama Anelis dalam jarik yang paling pekik
Sebagai batu-batu hutan yang terbelah sepasang bulan dan dua payudara
Juga seekor kucing yang menembus dingin kata-kata.
Siapa yang peduli atas nama nasib ini, sedang KAU
Memilih dan memilah sampah, tanpa tau hanyut di laut yang mana.
Kutang penyair ibukota melulu menghujani alam dengan interupsi yang singkat,
Satu, dua, tiga, detik pecah dalam sajak-sajak yang meringkas habis kata cinta.
Lupakan derita, kita hanya manusia plastik, yang menggarisi kata dengan mistar basi
Peluru-peluru tengik yang bersarang dalam kepala tentara, hanya umpatan yang mengharapkan Negara untuk bangun, mandi, dan menyikat gigi.
Tapi kota tetap berisi peperangan-peperangan besar saja
Di mana Tuhan menitahkan Adam untuk bersenggama.
Siluet profan menggerus sepotong jejak kesunyian,
Waktu adalah pintu rumah yang dibanting dengan api cakrawala
Biarkan tangismu mengeras dalam lereng-lereng cakram itu, Ibu!
Sebab Matahari hanya sisa inskripsi kekosongan
yang kita mainkan dengan orkestra pemakaman.
Barorka, Mei 2024.