Aku harus pergi dari tempat ini, karena Ali telah membuatku berjanji sehari sebelum ia mati. Namun tidak ada hal yang benar-benar dapat kujadikan kompas untuk perjalananku. Kota tujuanku adalah sebuah nama kota yang baru saja dipaksa bangun, justru setelah penemunya mati.
Kota itu bernama Madinah Al-Ghaibiyah. Berdasarkan apa yang pernah Ali tulis, itu adalah kota tempat para arwah yang kehilangan arah bermukim. Tempat semua kenangan buruk berlarian dari satu dinding ke dinding gedung-gedungnya dalam suara bisik-bisik. Mereka yang pergi ke sana karena suatu nasib buruk, tidak akan pernah kembali lagi.
Kuraba saku jubahku, memastikan amplop itu masih di sana dan aman. Jaga-jaga kalau saja nasib membuat benda ini raib. Entah dicopet orang tolol atau terjatuh di suatu tempat karena keteledoranku. Benda ini benar-benar harus sampai ke tangan ibunya.
“Cuma kamu yang ngerti, pentingnya surat ini untuk ibuku.”
Aku mengangguk dan membalas genggaman lemah tangannya di lenganku dengan satu genggaman sama ringan di lengannya. Tidak ada daging dalam genggamanku. Tulang dan kulit saja. Bahkan denyutpun tak kurasakan di sana. Kematian sudah sejak lama di dalamnya. Membakar semua hal yang ada perlahan-lahan seperti semua hal yang menyebalkan.
Begitu sore tiba, kubayangkan matahari memerah perlahan. Sisa-sisa cahayanya menimpa selang infus dan tabung oksigennya. Seorang petugas kebersihan di rumah sakit tertegun mengamati bagaimana daun-daun kering bergelimpangan diburu angin dari sapu di tangannya. Seorang pegawai lainnya terheran-heran mengapa ia bisa terjebak dengan orang yang selalu lupa menyiram air seni dari kloset bertahun-tahun.
Sore tadi Ali mati. Kami semua, para santri dan asatidz membaca yasin dan salat ghaib untuknya. Sementara di dalam ruang itu, neraka tuntas membakar Ali. Kubayangkan hal menyenangkan tentang apa yang terjadi di sana. Di antara kerumunan para santri senior dan Ustaz Adil, melewati proses talqin dengan lancar lalu mengembuskan napasnya dengan sangat tenang.
Tidak ada lagi rasa sakit, tidak ada lagi rasa takut. Semuanya sudah selesai bagi Ali. Tapi tidak bagiku. Cuma itu yang bisa kubayangkan dari perpisahan kami. Andai saja aku ada di detik-detik terakhirnya yang seperti itu. Tapi mungkin lebih baik tidak di sana melihatnya meregang nyawa.
Sungguh mudah membayangkan itu semua yang terjadi pada Ali daripada sebaliknya. Kau tahu, Tuhan menerima setiap taubat bahkan jika nyawamu sepersekian detik hampir melampaui tenggorokanmu. Tapi tidak ada yang berhak mengadili apapun yang akan didapatkan seseorang di akhirat.
Lalu, plop! nyawamu coplok seperti seseorang membuka botol orson begitu adzan maghrib terdengar di kejauhan. Dan semua orang di sekitarmu hanya bisa menduga-duga apa yang kau lihat dibalik mata dan napasmu yang kosong. Benarkah semua pintu ada di dalam sana? benarkah kau dapat melihat dan mendengar semua hal yang ada di sekitarmu, tapi kau kehilangan semua daya tubuhmu? kau tidak akan tahu. Tapi Ali, sekarang sudah tahu.
***
Sekilas, Sule tampak seperti seorang pemulung sedang bekerja. Pemulung itu mengais sampah-sampah dapur di lemarinya. Caranya mengatur lemari benar-benar buruk. Jika kau menitipkan sesuatu di lemarinya, pasti akan hilang, itulah sebabnya kami menyimpan peralatan nge-teh di lemarinya. Lagipula siapa sih yang mau ghosob peralatan nge-teh?
Kalau bukan karena apa yang terjadi hari ini, aku pasti sudah menendang pintu lemarinya untuk membuatnya kaget. Tapi ini bukan waktu yang tepat untuk bercanda. Betapapun aku ingin melakukan itu untuk meregangkan keruwetan di kepalaku. Aku mendekatinya, mengingatkan bahwa geng sudah lama menunggunya di mujaffaf utara.
Tapi yang kudapati adalah pemandangan aneh. Ia seperti sedang meraung-raung, menggulung kepalanya di antara surban India dan gulungan baju yang entah kotor atau bersih di lemarinta. Tampak jelas pula punggungnya yang besar bergetar.
Bagaimanapun, itu bukan cara menangis yang bagus. Meski aku tidak pernah melihat hal yang bagus dari orang yang menangis. Tidak ada bedanya. Kesedihan adalah kesedihan.
Ia menjadikan pintu lemari kecil itu untuk menutupi setengah tubuhnya. Seperti pertama aku menemukannya sedang membaca komik, bersembunyi dari para munawwibin*.
“Sul.”
Tubuh orang yang dipanggil tampak terkejut, kemudian bergerak terburu menarik kepalanya dari gulungan baju. Mungkin menyembunyikan apa yang baru saja jebol dari matanya. Aku turut duduk di sampingnya, menyandar di lemari sebelahnya. Lemariku sendiri.
Ia melongok dari pintu lemarinya.
“Eh, dimakamkan di daerah sini, atau dibawa pulang?” Ia tidak berhasil menyembunyikan kehilangan dari suaranya yang serak. Matanya juga sembab, aku hanya membalas tatapannya sekilas dan mengangkat bahu. Aku tidak tahu. Ia terdiam sejenak dan kembali menimbun kepalanya lagi ke tumpukan baju di lemarinya. Kali ini dapat kudengar ia terisak. Aku tahu semua orang dalam geng Ashabul Syimal sedang sedih. Tapi Sule menjadi yang paling cengeng.
Merasa tidak enak karena membuang-buang air mata seperti itu, Sule langsung meraih perangkat teh dan sebungkus biskuit dari lemarinya. Kami ke markas mujaffaf* utara.
“Semua barang ini berat sekali sekarang.” Ia menyerahkan teko dengan isi gelas di dalamnya, “Satu orang pergi dan peralatan nge-teh kita ini bukannya tambah ringan.”
Aku mengerti semua ini pasti menyebalkan.
Catatan:
*Munawwibin: semacam OSIS. Para santri senior yang dipercaya mengurusi beberapa hal soal ketertiban dan kedisiplinan di pesantren.
*Mujaffaf: Bahasa Arab utk. jemuran.