Terima kasih Sebul kau sudah berani. Kau membuat orang-orang keren bertengkar elegan ahihi. Kita semua suka dengan pertengkaran ini. Kalau bisa seperti sinetron Tersanjung yang episodenya beratus-ratus.
Biasanya kalau orang keren bertengkar itu semakin sehat literasi di daerahnya, dan baik untuk diamati. Misal, gaya pukulnya pake seni, nangkisnya pake seni, gaya dehemnya juga pake seni: dan memang ini yang diinginkan Sebul.
Gara-gara Kang Budi nulis tentang Sebul, saya jadi kepo apa inti permasalahannya. Emang masalah?
Berani-beraninya Si Sebul, baru lahir udah nonjok komunitas yang duluan lahir. Ini revolusioner banget seperti Karl Marx berbeda pandangan dengan Hegel. Walaupun pasti Karl Marx terpengaruhi oleh pemikiran Hegel, dan Sebul juga pasti terpengaruhi pemikiran Wak Farid, Tum Hadi, atau Kang Sidik. Hayo ngaku, Bul: kamu terpengaruhi oleh siapa?
Lucu juga saya baca-baca tulisan yang merespons Sebul. Ada yang b aja, ada yang haha-hihi, ada juga yang marah-marah. Tapi, kenapa kita harus marah sih dengan ucapan Sebul yang nyebut “Babak Baru Budaya Literasi Purwakarta”?
Apa karena kita sudah beberapa kali ngadain acara tapi merasa gak di-notice dan dianggap nihil? Terus Sebul dianggap gak menghargai sejarah? atau kita ingin dianggap istimewa dan disebut sama Sebul?
Kenapa kita harus marah karena dianggap tidak membaca dan menulis? Harus gak sih membela atau klarifikasi untuk menjaga marwah komunitas kita? Gimana coba kalau ini akal-akalan atau siasat Sebul aja supaya kita-kita jadi pada rajin nulis? Kalau iya Sebul ingin itu, dan tentu saja keinginan Sebul sudah terkabul. Sesuai namanya, SElalu terkaBUL.
Saat Sebul menganggap Kopel gak menghasilkan karya menulis (karena gak akan abadi walaupun kaderisasi, bikin video, YouTube, pokonya yang abadi itu menulis kata Sebul), yang satu lagi dianggap tidak ada hikmahnya ber-Nyimpang, karena dianggap monoton mungkin; hanya menulis, ngopi + ngaroko dll. padahal mah gak gitu, bro. Semuanya berjihad di medan juangnya masing-masing!
Mau cerita boleh? dulu pas awal-awal Kopel berdiri, saya juga ikut berpartisipasi, kok. Kadang kumpul di Alun-Alun bersama Tum Heru Otong, Tum Hadi, Kang Budi, Bu Yay, Wak Farid, dan istimewanya sempat dimasukkan grup oleh tum Hadi, tapi kenapa ya sekarang saya gak dimasukkin?
Oke ngomongin Kopel & Nyimpang.
Kopel, komunitas yang berlandaskan Kaderisasi juga, selalu ada rekrutmen anggota baru, kontribusi kader, ada fokusan di lensa juga. Ya, programnya bedah film, untuk tulisan ada di daridesa.com, lomba film se-Jabar. Iya, Kopel tuh yang kata Wak Farid gak pernah ngajak Nyimpang kolaborasi.
Urusan nyimpang.com ini ya saya hormat juga, yang selalu istiqomah~ Nyimpang kalo berbicara literasi ya dia ahlinya. Seperti menghidupkan listerasi di situs nyimpang.com yang cita-citanya mau menyaingi mojok.co katanya, belajar menulis ada kelas yang 5 menit bisa nulis juga ada, membaca, bedah buku (yang harus di ingat apapun bedah bukunya, narasumbernya Wak Farid haha).
Wak Farid ini mencoba selalu konsisten, dan selalu memiliki harapan untuk selalu hidup untuk dunia literasi di Purwakarta, dan selalu berusaha menghidupi. Keliatannya seneng banget nolong orang, Wak?
Saya ingin berdoa seperti yang sudah diajarkan oleh sanghyang Mugni di buku perpustakaan kelamin, doa untuk orang-orang menghargai dan selalu hormat terhadap penulis buku, penulis kitab, yang mencintai peradaban, yang menciptakan peradaban, yang merawat tradisi literasi.
Semoga sehat selalu, berkah selalu, rizqinya berkah. Amin.
Terakhir, kita harus mengapresiasi Sebul serta hal-hal baru lainnya.
Harus dibahas dan dijawab juga tulisan kKang Budi perihal pemilu-voting dengan literasi, kayanya pemilu-voting gagasan Cak Nun banget, deh. Tapi kenapa ya Kang Budi kayanya gak pernah menyebutkan itu gagasan Cak Nun?
Pantun dulu atuh,
Ti Plered ka Sindangkasih (Cakeup!)
Sekian dan terimakasih.