Komunikasi Kepala Babi

Komunikasi pemerintah lewat humor justru bikin blunder.

“Udah dimasak aja!” begitulah komentar Hasan Nasbi, Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (21/3/25).

Pernyataan tersebut muncul setelah redaksi Tempo menerima paket kepala babi dengan kuping terpotong (19/3/25). Teror itu ditujukan ke salah satu wartawan investigasi mereka, Francisca Christy Rosana alias Cica.

Seperti rutin terjadi belakangan ini, komentar dari pejabat Istana bukannya bikin reda, malah membarakan isunya. Setelah dicecar publik, Hasan Nasbi lantas mengklarifikasi. 

Katanya, ia cuma menyitir candaan Cica di media sosial X yang minta sekalian dikirimin daging babi. Hasan mengaku “tersihir” dengan komentar Cica yang mampu menumpulkan efek teror, layaknya yang warganet ramai-ramai lakukan pasca Tragedi Bom Sarinah 2016 silam.

Terus, kalau cuma mengutip humor Cica, kenapa Hasan malah dicerca?

Hak Cica sebagai Korban untuk Berhumor

Jawabannya simple: Hasan Nasbi—juga pejabat publik lainnya—tidak berhak membercandai peristiwa tersebut. Sebaliknya, Cica punya hak penuh karena humornya merupakan bentuk mekanisme pertahanan diri (defense mechanism) atas ancaman untuknya.

Menurut bapak psikoanalisis, Sigmund Freud, defense mechanism merupakan proses psikis seseorang untuk melawan kecemasan (anxiety). Aplikasinya bisa beragam, dari menyangkal hingga memendamnya begitu saja. Bisa juga dengan mengubahnya jadi humor, yang merupakan mekanisme pertahanan diri yang tertinggi atau tercanggih (The Psychology of Humor: An Integrative Approach – Martin & Ford, 2018, h.40).

Sebagai korban, Cica wajar cemas. Intimidasi terhadap jurnalis bukan hal baru di negeri ini. Data dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat 101 kasus kekerasan pada jurnalis terjadi di 2023 dan 73 kasus setahun berselangnya. 

Bahkan di medio 80-an, redaksi harian Suara Indonesia pernah mendapat paket dari orang tak dikenal berisi bagian tubuh manusia termutilasi. Teror itu datang setelah redaktur pelaksana mereka, Peter Rohi, getol mengangkat hasil liputan tentang petrus (penembak misterius). 

Di sisi lain, Tempo, media Cica bernaung, juga pernah mengalami represi dan dikekang kebebasan persnya. Pemerintah Orde Baru membredelnya sebanyak dua kali: tahun 1982 dan 1994. Mirisnya, hanya tiga hari berselang setelah paket kepala babi, Tempo mendapat kiriman lagi. Kardus yang ini isinya enam ekor tikus dengan kepala terpenggal (22/3/25). 

Intimidasi ala Orde Baru untuk membuat jurnalis merasa diawasi, diteror, hingga akhirnya memilih untuk bungkam betul-betul sedang direka ulang.

Dengan tekanan atas keselamatan diri dan keberlangsungan profesinya, maka candaan Cica justru krusial. Sebagai korban, humor menjadi sarananya untuk melepaskan ketegangan sambil mengelola emosi yang tidak nyaman. 

Berhumor gelap (biasa disebut dark humor atau gallows humor) adalah hak para korban yang tidak punya daya untuk menyelesaikan masalahnya sendirian serta dalam sekejap. Biasanya, humor gelap juga memuat keputusasaan sekaligus serangan buat status quo.

Maka, wajar jika dalam sejarahnya, humor macam ini kerap dilontarkan orang-orang yang berjuang melewati langit mendung, dari penghuni kamp konsentrasi Nazi sampai warga negara yang dikontrol rezim otoriter. Cek saja buku kumpulan humor Mati Ketawa Cara daripada Soeharto oleh Rakyat Indonesia (1998).

Tapi Tidak Lucu kalau Hasan Nasbi

Bukannya mau pilih kasih, tetapi dari sononya, humor memang tidak bisa dilepaskan dari faktor siapa penuturnya. Ini merujuk pada empat unsur humor, MAPP: Material, Audience, Performer, dan Purpose (Comedy Writing Secrets – Helitzer & Shatz, 2005, h.40).

Hasan Nasbi, walau menggunakan “materi yang sudah teruji” dan disampaikan ke audiens yang sama yakni masyarakat Indonesia, bukanlah performer yang sama dengan Cica. 

Hasan bukan korban, melainkan perwakilan Istana—perpanjangan lidah Presiden Prabowo lagi. Ia punya power dan akses ke alat negara untuk menindak. Ialah status quo, bagian dari pemerintahan berkelanjutan yang seharusnya tetap melindungi warga negaranya seperti tertuang dalam Pasal 28I ayat (4) UUD 1945.

Jurnalis dan kita seluruh warga Indonesia berhak untuk hidup aman, tanpa penyiksaan, termasuk terlindungi dari ancaman, dan perlakuan yang merendahkan martabat.

Begitu pula saat ditinjau dari aspek purpose, kelakar Hasan yang menyuruh “dimasak aja ” ke publik tidak jelas intensinya. Kalau niatannya untuk menghibur, “materi” itu tidak cukup menyenangkan; justru merisaukan karena sifatnya punching down—menonjok yang sedang menderita. 

Apakah sejalan dengan klaimnya, yang ingin menguatkan moral publik seperti pasca Tragedi Bom Sarinah?

Itu juga kurang sesuai. Sebagai Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, harusnya ia memimpin dengan empati—berpihaklah pada yang terdampak! Humor dari pejabat justru hal yang paling tidak dibutuhkan di situasi ini. Apalagi di tengah kepercayaan publik yang menurun kepada otoritas, sikap yang lebih tepat dan bisa mendorong moral publik justru dengan menjamin terlaksananya amanat UUD 1945 seperti tertera di atas. 

Oh, atau mungkin kita yang salah mengerti. Kelakar nir empati Hasan Nasbi itu justru plot twist dari komedi tergelap di depan mata kita: negara yang mentertawakan kehancurannya sendiri secara perlahan.

Peneliti Institut Humor Indonesia Kini (IHIK3) dan pionir Certified Humor Professional AATH di Indonesia.

Related Post

No comments

Leave a Comment