Di 2 bulan pertama di tahun 2023, aku udah mulai ngerasa hidup kok begini-begini aja, ya?
Gak sesuai rencana, ga sesuai dengan resolusi yang dibikin sejak awal pergantian tahun, padahal masih anget, loh. Ya resolusi semacam lulus kuliah tahun ini, konsisten nulis dan publikasi minimal 2x sebulan, olahraga 2x seminggu, gak begadang kalo ga perlu-perlu amat, baca buku 10 lembar perhari, dan minimal jadi proplayer Magic Chess se-Cibiru-eun (btw sekarang udah top-5 lokal).
Tapi toh selama 2 bulan lalu, aku masih begadang meski ga perlu-perlu amat, gak nulis selama kurang lebih 3 bulan, baca buku itu juga kalo lagi mau, olah raga masih tapi kaya gak serius, terus gimana dengan rencana lulus tahun ini? ya jawabnya antara yakin dan tidak yakin, “Semoga”.
Waktu itu aku jadi mikir, ini letak salahnya di mana? Rasanya kok berat banget menjalani hari-hari yang sesuai dengan resolusi yang udah kita bikin. Resolusi yang kita bikin hampir setiap tahun (meureun), terkadang hanya sedikit terlaksana atau bahkan gak sama sekali. Ujung-ujungnya ditumpuk lagi, ditumpuk lagi.
Kalau dibilang resolusiku gak realistis, ah ya kali baca buku gak realistis? Aku gak bilang pingin punya mobil, punya rumah atau bahkan nikah sekarang-sekarang (kecuali dikasih mah ya gak bakal nolak). Terlebih lagi, karena aku seorang akademisi. Witwiw. yang tentu jha kewajibanya main, main, dan main (maksudnya eksplor sambil belajar).
Jadi kurang realistis apa, coba?
Aku suka menulis, terlebih kalau hasil tulisanku bisa dinikmati banyak orang lewat publikasi, senang bukan main. Aku meyakini, jika kita menjalani sesuatu karena senang atau merasa puas kita akan dengan senang hati menjalaninya.
Kalo gitu, kenapa harus ngerasa payah, ya? Lagi-lagi jawabannya ya karena praktik gak semudah ngomongnya. Hadeuh…
Apa yang membuatku vakum nulis kurang lebih 3 bulan? Mungkin karena sebelumnya aku ngerasa gak pede dengan tulisanku. Apalagi setiap kali nemu tulisan orang lain yang kita anggap lebih bagus, di sisi lain membuatku terinspirasi, tapi kadang ngerasa insecure. Begitulah naluri ambis setelah terbiasa ngerjain makalah yang ngebosenin dan nulis pun buat disimpen sendiri.
Tapi, cukupkah berhenti hannya berhenti di situ-situ aja? Gak kayanya.
Di saat-saat dilema kaya gini, yang terpenting betul kata A Farid, “Pintar-pintar buat mencari celah.” dan celah yang saat ini bisa ku manfaatkan adalah dengan cara memecah aksi yang besar ke aksi yang lebih kecil. Sebab, aku masih ngerasa kalau harapan yang kubuat sendiri masih terasa berat, jadi dibuat lebih mudah ya agar lebih konsisten.
Aksi-aksi kecil yang kulakuin belakangan ini, contohnya: (1) 10x push-up setiap kali pergi mandi; (2) baca buku saat hp di-charge; (3) menulis ide saat itu juga, sebelum pada akhirnya ide itu raib; (4) berhenti ngobrol kalo dirasa udah gak penting; (5) nonton anime, karena itu satu diantara sumber inspirasiku.
Dari situ, aku baru sadar kalo perencanaan itu penting. Ti mana atuh ujang nembe ayeuna?
Oleh karena itu, harapan atau resolusi harus disertai dengan perencanaanya juga. Mulai membuat langkah-langkah besarnya kemudian memecahnya menjadi bagian-bagian aksi yang lebih kecil bahkan lebih kecil lagi.
Terakhir, sebagai penutup dari curhatku yang panjang lebar ini, aku mau bilang
Bahwa masalah itu perlu dialami, sama halnya kegagalan. Pencapaian yang didapat dengan mudah dan instan, tidak akan mengasah proses kreatif dalam diri seseorang. Jujur terkadang yang membikin permasalahan itu semakin rumit adalah persepsi kita sendiri, salah satunya takut gagal atau takut salah. Padahal kesalahan maupun kegagalan bukanlah aib yang malu-maluin amat (Intinya mah ga perlu ngerasa rendah diri). Bahkan aku menganggap jika kegagalan atau kesalahan dalam berproses itu mulia, sebab kita menjalankan fungsi manusia dengan baik sesuai fitrahnya.
Kita ini makhluk berkekurangan, gak etis bila dituntut serba sempurna. Jadi jangan biarkan standar-standar kesempurnaan yang kita bentuk sendiri atau berdasarkan standar yang ditetapkan orang lain, justru membuat kita malu buat berproses.