Kisah Cinta Sri-Mulyono: Malam Pertama APBN

Bagian sebelumnya baca di sini.

 

“Badanmu kurus terus.” kataku meledeknya sambil menggodanya bercanda

“Tunggu kiris?” katanya sendiri

Dia hanya tertawa, dan dari ujung-ujung bibirnya, garis senyumnya menggandakan kulit yang sudah keriput itu, tapi oh tampannya masih ada.

“Aku kan sudah bilang, kalau mau pergi bekerja kamu harus pakai masker, tahi kayunya masuk lewat hidungmu lho, Mul! Nanti paru-parumu rusak,” aku mendadak perhatian.

Ya, itu jurusku mengingatkan padanya bahwa di masa muda yang buncah itu kami pernah jatuh cinta. Kemudian seperti biasa, tanpa mampu ngomong, ia tersenyum-senyum saja sambil menaruh kedua lengannya di meja seperti tangan-tangan para jemaah Katholik beribadah.

“Ya … ya … ya …” katanya mengangguk-angguk canggung

“Kenapa? Kau takut istrimu, Mul?” tanyaku sambil menyeruput kopi dan meletakkan lidahku di gigi-gigi supaya gak ada yang nyangkut di sana

Ndak … Aku ingat ketika menghabiskan malam bersamamu saja.”

Deg. Kali ini ia yang menggodaku. Sungguhan, deh! Aku kira aku akan terlihat menjadi yang paling gatal menggaruk-garuk masa lalu, ternyata dia juga!

“Malam yang mana?” alis kuangkatkan dengan sengaja

“Semua malam yang kau bingungkan,” katanya semakin menggodaku

“Ada banyak, Mul.”

Kali ini ia membetulkan kerah tangannya dan mulai menyeruput kopi.

“Tahun 2006, kau meneleponku. Telepon rumahku berwarna merah, biasanya dipakai untuk jual beli kursi, meja, dan lemari.” katanya mengingat-ingat

“Flu burung?”

“Ya,”

“Ah, itu sih bukan aku, Mul.” kataku membela diri dengan mata runcing dengan nada sedikit ngambek “Dana itu kan seharusnya memang harus dibelikan Tamiflu.”

“Ya, aku ingat kamu bilang begitu di telepon.”

“Betul! Dan kau malah membercandai Tamiflu? Obat apa itu? Kedengarannya kok kaya mobill-mobilan buat anak cowok,” aku mengikuti gaya bicaranya waktu itu baut menenangkanku “Lalu kamu sendiri yang jawab,”

“Tamiya.” dia nyengir lagi

“Sudah, kan? Cuma malam itu doang aku bingung.” aku sombong sedikit

Lho, ndak … 

“Yang mana lagi?”

“Pemulihan habis tsunami,”

“Ah, itu sih kerjaan orang-orang bau anyir. Kau kan tahu sendiri. Selebihnya pasti aku tidak pernah bingung.”

“Ah, kamu ini.”

Kali ini, ia mencolek jariku. Aku terkejut. Ada beberapa orang mengawasi kami dan bisa-bisa salah kaprah. Bukan apa-gimana, kami kan dua orang yang sangat dikenal, bahkan sekelas dunia mengenal kami. Aku yang salah tingkah sekarang.

“Ya … orang baca quran pun quran-nya dikorupsi. Lalu, jalan di Sumatra Barat.”

“Ah, ya. Omong-omong Sumatra Barat. Bagaimana dia?” kataku mengalihkan pembicaraan

“Biasa saja, tidak ada yang perlu dikhawatirkan.” kata Mul menenangkanku sambil menggapai jemariku. Kami melakukan salaman itu seolah-olah itu adalah salaman saling menguatkan. Padahal di dalam hatiku (atau kami) aku yakin

“Kau tahu, kan?”

“Tidak seberbahaya itu, tapi … ”

“Tapi apa?” kataku penasaran

“Kau tahu kan dia orangnya siapa?”

“Tentu tahu!” aku mempertegas yakin.

Aku yakin siapa yang mengomandoi orang itu. 

“Berhati-hati saja, kita tak tahu kapan SYL membuka baju kita,” Mul mengingatkanku dengan seksama “Apalagi orang itu sekarang dekat dengan … ”

“Ya, aku tahu! Dia dekat dengan orang gila. Orang gila yang gak berhenti terobsesi sebelum keinginan jadi presidennya terkabul.”

“Tapi tenang, dia ndak akan berani. Kalau sampai macam-macam, aku akan membangun negara sendiri di Solo.”

Nah, ini baru semangat mudanya yang bergelora!

“Kau yakin menantunya itu bukan masalah?” aku kembali bertanya

“Sama sekali bukan,”

“Tapi setiap kali dia pulang ke rumah orang itu dia tahu ada satu polisi berjaga shift seperti satpam pabrik di setiap rumah orang-orang DPR!” aku sedikit berteriak “Perempuan kecil itu pun tahu kalau tak ada satupun diantara kita yang punya BPJS! Kita selalu memakai nama supir kita, keponakan supir kita, tukang taman kita, atau bahkan orang bengkel yang tidak kita kenal biar pajak bangunan kita gak berkali lipat!”

“Sri, tenanglah… ” kali ini ia menggenggam tanganku sebelah

“Kau sepertinya lelah dan terlalu banyak bekerja. Malam ini sibuk?”

Aku menggeleng sambil melipat bibirku.

Kami berpisah. Ia bangun dari kursinya meninggalkan aku yang masih marah dan kesal dengan ancaman-ancaman kecil seperti gerimis.

Aku kembali ke rumah jam 7 malam. Aku pusing sekali. Kepalaku pening.

Kali ini aku merebahkan diriku dan bersiap mandi.

Mul betul, setiap kali terjadi sesuatu, dia adalah orang pertama yang kuhubungi. Selalu seperti itu sejak dulu. Lalu, sebuah telepon mengejutkanku.

“Bu, ada meeting mendadak membahas APBN di hotel Hooman Santuy di Bandung.” setelah basa-basi yang panjang, sekretarisku memberitahuku hal intinya.

“Mendadak sekali ini.”

“Perintah Pak Mulyono, Bu.”

“Oh, baik. Saya bersiap dan berkemas dahulu.” aku langsung bersemangat.

 

 

Author

  • Arini Joesoef

    Menulis puisi, prosa, melukis, dan bermusik tipis-tipis. Bukunya sudah 4, As Blue As You (2022), Jayanti (2023), Notes of The Lost Sheep (2024). dan Yusuf dan Sapi Betina (2025). Suka pamer dan suka bikin pameran.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You might also like