Kisah Cinta Sri-Mulyono: Kopi Senayan

Di gedung setinggi ini di Senayan, terasa sekali aku bukan siapa-siapa. Begitu kecil di hadapan ruas-ruas bangunan yang menjulang.

Aku telah memesan matcha di sebuah tempat kopi yang puluhan tahun masih berdiri saja. Eksklusif sekali. Aku ngopi di lantai dasar entrance gate menara ini. Keren~

Aku bukan keluarga ningrat, sih … tapi bisa dibilang aku termasuk orang terpandang di Semarang, kota asalku. Orang tuaku orang pintar dan dihormati. Maka aku sudah terbiasa berkelakuan menak.

Meskipun tidak banyak uangnya, tapi seperti para pemuka agama lain yang dihormati karena ilmunya, makanan di rumahku tak pernah habis waktu aku kecil. Selalu ada saja. Padahal bapakku bukan kiai, tapi ya … mari kita sepakat saja menyebutnya guru.

Sebab bapakku orang terpandang itu lah kami selalu mendapat banyak rezeki. Makanan setiap hari pasti ada, butuh pergi ke mana-mana pun semua orang ngantre untuk mengantar bapak dan ibuku. Begitupun kebutuhan lain seperti buah-buahan, radio, cermin, bumbu, tembakau, lemari, perabotan, sampai barang-barang antik. Semua hal diberikan oleh orang yang mengaku mendapat banyak ilmu dari Bapak. Jadi, Bapak tidak terlalu membutuhkan uang karena ya itu tadi, semua kebutuhan selalu ada dan uang Bapak utuh terus.

Aku membetulkan dandananku. Rambutku yang biasanya hanya di atas bahu seperti setelan Polwan kini kupanjangi sedikit sampai kena bahu, dan aku geraikan. Aku menyentuh ujung rambut, memutarnya, kadang memasukkan lagi ke bagian belakang telinga. Aduh, bibirku terlalu gak, ya?

“Aduh Sri, menor sekali gincunya! Tipis saja …” kata Ibuku waktu pertama kali aku belajar menggunakan gincu (yang lagi-lagi) pemberian murid Bapak.

Ah! Betul juga! Apa yang tidak diberikan oleh murid Bapak? Sebuah set meja dan bangku jati saja diberikannya. Halaman rumah kami waktu itu bahkan tak bisa menampungnya sampai akhirnya Bapak membeli tanah tepat di depan rumah kami untuk menyimpan hadiah dari murid Bapak di Solo.

Waktu itu, aku sedang mempersiapkan diri untuk merantau menjadi mahasiswi ke Jakarta. Iya, Jakarta. Menjadi mahasiswi perguruan tinggi nomor 1 di Indonesia. Ya! Betul! Universitas Indonesia.

Saat puluhan orang menurunkan meja jati itu, aku sedang membaca koran di dalam rumah. Ada beberapa tetangga kami yang membantu, tapi beberapa orang lain aku tidak tahu tapi yang satu cukup menarik perhatianku,

“Sri!” seseorang itu memanggilku.

Lamunanku berhenti tepat saat ia memanggilku.

“Mul?!” senyumku canggung membalas panggilannya.

Aku lantas berdiri menyambutnya memasuki ruangan ber-AC di kedai kopi ini.

Ia masuk dengan kemeja putih dan celana hitamnya. Dua warna yang selalu ia kenakan sejak dulu. Tubuhnya pun kurus segitu-gitu saja. Jidatnya cenderung jenong dan rambutnya yang tipis tak bisa menyembunyikan itu. Matanya sipit dan hampir membuatku jatuh cinta lagi. Ia kemudian menyodorkan tangan kanannya.

Aku melihat tangan kanannya. Sudah ada cincin kawin di sana. Aku pun sama. Tak masalah. Aku menyambut dan tangan kami berayun ke atas-ke bawah. Salaman kerja sama saja.

Baca Lainnya: Menangani Patah Hati

“Sri, Sri … “ ia tersenyum dan mengangguk-angguk malu

“Mulyono …” aku juga menggodanya dengan menyebut namanya.

Maklum, menyeberangi dua jalan besar ini, kami adalah kolega dan saling memanggil dengan atribut “Ibu” atau “Bapak”. Hanya di sini kami bisa dengan santai mengobrol dengan nama kami yang sebenar-benarnya.

“Silakan, pesan dulu.” aku menyilakan ia untuk memesan minuman meskipun aku tahu ia akan memesan

“Jus kedondong,” aku dan Mulyono menyebutnya berbarengan sambil melirik ke arah si Pramusaji

Si Pramusaji otomatis tersenyum, sedangkan aku dan Mul jadi ge-er dibuatnya.

“Boleh kami bantu ya, Pak. Bapak mau kopi atau non-kopi?”

“Dia suka kopi, Mbak.” kataku antusias menjawab

Alis Mul kemudian mengangkat kulit-kulitnya wajahnya sampai ke jidat sambil tertawa kecil melihatku. Aku tahu dia semakin ge-er dan deg deg ser dibuatnya

“Dia suka single origin. Kopi favoritnya Gunung Puntang. Di sini ada?” aku menggodanya semakin tajam.

Aku ingin membuktikan padanya bahwa aku mengingat semua tentangnya, dan tentu aku berharap kalau dia,

Anu, kalau dia kopi favoritnya kopi fermentasi, Mbak. E … e … apa … “ Mul menjawab dengan suaranya yang medok khas Solo dan terbelit ujungnya “Apa Sri? Pasar Santa, ya? Anu … yang kamu suka beli di situ … e … “

Aku kembali menggodanya dengan kalimat, “Yo ndak tau, kok tanya saya?”

Kami bertiga tertawa.

Menulis puisi, prosa, melukis, dan bermusik tipis-tipis. Bukunya sudah 4, As Blue As You (2022), Jayanti (2023), Notes of The Lost Sheep (2024). dan Yusuf dan Sapi Betina (2025). Suka pamer dan suka bikin pameran.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You might also like
Yuk Berkawan

Bareng-bareng kita berkarya dan saling berbagi info nongkrong di grup whatsap kami.

Promo Gack dulu, dech Ayooo Berangkat!